Mongabay.co.id

Konflik Manusia dengan Buaya Sering Terjadi di Sumatera Barat, Peneliti Ingatkan Polanya

 

 

Sepanjang Januari 2023 Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Barat menerima sembilan pengaduan konflik manusia dengan buaya.

Ardi Andono, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Sumatera Barat mengatakan, pengaduan konflik banyak melalui call center dan media sosial.

“Sebagian besar konflik berupa kemunculan buaya di sungai-sungai yang bersinggungan dengan aktivitas masyarakat. Bahkan, ada kejadian serangan buaya terhadap masyarakat pencari lokan/kerang, penambang pasir, atau yang beraktivitas di sungai,” terangnya baru-baru ini.

Kejadin tersebut direspon dengan menurunkan Tim WRU BKSDA Sumatera Barat. Sembilan kasus itu terjadi di lokasi:

  1. Desa Marunggi, Kecamatan Pariaman Selatan, Kota Pariaman
  2. Korong Pasir Baru Nagari Pilubang, Kecamatan Sungai Limau, Kabupaten Padang Pariaman
  3. Nagari Sungai Buluh Utara, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman
  4. Nagari Sungai Buluh Selatan, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman
  5. Nagari Lubuk Pandan, Kecamatan 2 x 11 Kayu Tanam, Kabupaten Padang Pariaman
  6. Sungai Bt. Lampah Kampung Maringging Jorong Bungo Tanjuang Nagari Malampah, Kecamatan Tigo Nagari, Kabupaten Pasaman
  7. Nagari Katiagan, Kabupaten Pasaman Barat
  8. Nagari Sungai Liku Pelangi, Kecamatan Ranah Pesisir, Kabupaten Pesisir Selatan
  9. Nagari Campago Selatan, Kecamatan V Koto Kampung Dalam, Kabupaten Padang Pariaman

 

Sembilan konflik tersebut memakan dua korban meninggal di Kinali Kabupaten Pasaman Barat dan satu orang luka. Selain itu, dua ekor buaya dievakuasi.

Baca: Sering Terjadi, Konflik Manusia dengan Buaya di Bangka Belitung

 

Buaya muara merupakan predator puncak yang tangguh dan mudah beradaptasi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sementara itu, pada Februari, BKSDA sudah empat kali mengevakuasi buaya.

“Di Kinali, Padang Pariaman dan Pasaman, Tigo Nagari. Total empat ekor,” jelas Ardi.

Di Jorong Muara Putus Nagari Tiku V, Kecamatan Tanjung Mutiara, Kabupaten Agam, enam ekor buaya ditangkap warga dan diserahkan ke BKSDA.

Konflik juga terjadi di Pantai Sasak Kabupaten Pasaman Barat. “Ini habitat buaya juga,” jelas Zulmi Gusrul, selaku satuan tugas polisi hutan BKSDA Sumbar.

Ardi mengimbau masyarakat agar menghindari aktivitas di wilayah potensial sarang buaya.

“Januari hingga Maret biasanya masa bertelur dan mengeram, buaya akan lebih sensitif.”

Baca: Kebiasaan Unik Buaya Muara, Mempelajari Pola dan Gerakan Mangsanya

 

Buaya muara [Crocodylus porosus] yang memiliki pola mempelajari kebiasaan mangsanya sebelum menerkam. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Perhatikan pola

Erlinda C Kartika selaku Phd candidate di Departemen Wildlife Ecology and Conservation Wageningen University, menganalisis kejadian tersebut.

Secara ekologi, buaya bersarang dan bertelur pada Januari hingga April. Buaya akan menuju pinggir sungai. April-Juni merupakan periode menjaga telur sampai menetas dan di fase ini buaya lebih ganas.

“Jangan mendekati buaya kalau ada sarang dan telurnya, lebih baik menghindar,” jelasnya.

Erlinda menekankan pencegahan. Masyarakat dialihkan dan diarahkan untuk tidak beraktivitas dekat sarang. Tujuannya, agar buaya dan manusia dapat hidup berdampingan.

“Ketika tahu polanya, manusia tidak harus beraktivitas di lokasi itu. Bisa di tempat lain yang tidak ada buaya atau dibuat larangan, hingga buaya selesai menetaskan telurnya.”

Faktor lain seperti kerusakan lingkungan karena ekspansi sawit terutama di Pasaman Barat dan ekspansi tambak di Agam juga berpengaruh.

“Penyebab paling utama ya berkurangnya habitat,” katanya.

Baca juga: Ada Peran Unik Buaya Muara, dalam Budaya Masyarakat Gorontalo

 

Buaya muara merupakan jenis paling buas jika dibandingkan jenis lainnya. Foto: Wikimedia Commons/Djambalawa/Public Domain

 

Manusia terlalu jauh merambah habitat satwa

Pakar lingkungan hidup Universitas Andalas Ardinis Arbain, mengatakan ada beberapa penyebab mengapa angka konflik tinggi.

Pertama, terganggunya habitat buaya. Bisa dikarenakan meningkatnya pencemaran air atau berkurangnya mangsa sehingga buaya memperluas areal pencarian.

“Untuk kedua dugaan tersebut perlu diperhatikan dan diteliti kualitas air beserta ketersediaan pakan alami di habitatnya.”

Kedua, manusia terlalu jauh merambah kawasan yang sejak awal habitat buaya. Bentuknya, bisa jadi pengembangan infrastruktur sungai seperti pembuatan bendungan, pengalihan aliran air, dan lainnya sehingga terjadi pengurangan debit air.

“Secara umum, terjadi perubahan kualitas habitat karena intensitas manusia meningkat,” paparnya.

 

Exit mobile version