Mongabay.co.id

Indriani Agustina, Penggerak Peduli Sampah dari Banggai

 

 

 

 

 

Berawal dari keresahan Indriani Agustina, melihat sampah di Desa Paisubuloli, Batui Selatan, Banggai, Sulawesi Tengah,  banyak terbuang sembarangan akhirnya mulai menggagas pengelolaan sampah.

“Bau busuk mulai tercium. Jelas ini bisa memancing sumber penyakit. Tak bisa dibiarkan, harus dicarikan solusi,” kata perempuan berkacamata ini belum lama ini.

Indri bersama suami, Rudy, mulai mengidentifikasi satu per satu sampah di desa. Setelah itu mengklasifikasikan agar bisa diolah atau jual kembali.

“Banyak yang kami olah dari sampah, salah satunya jadi ecobrik,” kata Rudy, suami Indri.

Setelah sebulan berjalan, masyarakat mulai melirik  dan tertarik dengan aktivitas Indri. Warga desa perlahan berpartisipasi. Mereka mulai memilah sampah dari rumah lalu menjualnya.

Dia sadar, aktivitas itu perlu dukungan berbagai pihak agar keberlanjutan terjaga.

Indri berinisiatif mendatangi perusahaan yang beroperasi di Desa Paisubuloli agar terlibat dan peduli soal sampah. Juga pemerintah desa, untuk mempromosikan gagasan agar dapat menggalang dukungan.

Dia berencana bikin bank sampah. Ide itu akhirnya diterima. Keinginan Indri terkabulkan. Perusahaan bekerjasama dengan mereka melalui program tanggung jawab sosial dan pemerintah desa menghibahkan sebidang tanah.

Pada 2019, bank sampah terbentuk. “Saya menggagas membuat bank sampah. Tanah yang dihibahkan desa itu akan kami bangun kantor bank sampah,” katanya kepada Mongabay.

Setelah mendapat dukungan, Indri berkunjung ke jejaring komunitas peduli lingkungan. Dia berbagi model pengelolaan sampah melalui bank sampah.

 

Adalah Indriani Agustina, sedang memberikan penyadartahuan soal pengelolaan sampah. Foto: Zulkifli Mangkau/ Mongabay Indonesia

 

Gerakan ini tak bisa dikerjakan seorang diri. Dia mengumpulkan warga desa, dari anak-anak muda sampai orang dewasa Indri ajak bergabung di bank sampah.

“Yang terjaring 12 orang. Semua relawan, yang mau bekerja untuk penyelamatan lingkungan hidup di desa,” katanya.  Dia dipercaya jadi direktur bank sampah saat itu.

Akhirnya,  12 orang ini bersepakat dan mau menggerakkan bank sampah kemudian memberi nama “Bank Sampah Montolutusan.” Montolutusan diambil dari Bahasa Saluan, berarti persaudaraan.

Bank sampah ini pun mulai aktif membeli sampah plastik, kertas, kardus, hingga sisa makanan berupa sayur-mayur. Plastik dan kardus dijual lagi. Sampah sayur-mayur jadi kompos atau untuk maggot.

Kantor bank sampah mereka bangun dengan ecobrik buatan sendiri.

Bagi warga yang menyetorkan sampah tercatat sebagai nasabah dan mendapat buku tabungan. Nasabah ini bisa mengambil tabungan sampah berupa uang atau barang (bahan pokok).

“Selain uang dan barang seperti kebutuhan bahan pokok mereka juga menabung. Kami juga ada program menabung emas,” kata Indri.

 

 

 

Indriani Agustina (berkaos coklat), bersama para relawan bank sampah. Foto: Zulkifli Mangkau/ Mongabay Indonesia

 

Penanganan buruk

Sebelum itu, sampah di Desa Paisubuloli, tak terkelola dengan baik. Sampah berserakan atau menumpuk hingga menggunung mengeluarkan bau tak sedap. Sarana pembuangan sampah pun minim.

Warga menuding pemerintah desa tak mau pengadaan bak sampah di desa hingga banyak buang sembarangan, termasuk aliran sungai jadi sasaran alias sebagai ‘tong sampah berjalan’.

“Kita buang sampah sembarang. Mau di mana lagi, tak ada tong sampah dan sungai jadi sasaran,” kata Efsuin Batukahon, warga Paisbuloli yang ditemui Mongabay.

Dia sebenarnya resah karena kepedulian warga minim soal sampah tetapi tak tahu harus berbuat apa atau melapor ke mana.

“Solusi yang hadir dengan membakar sampah yang sudah banyak di depan rumah atau belakang rumah. Itu yang kami pahami saat ini,” kata Efsuin.

Redmon Samadwy, Kepala Desa Paisubuloli, mengatakan, pemerintah desa ingin mencarikan solusi soal bak sampah, tetapi terhalang warga desa.

“Ada warga yang tidak mengizinkan halaman rumah dibuatkan tong sampah. Kami juga kesulitan di situ,” katanya saat dihubungi via telepon.

Dia mengatakan, masalah besar bukan hanya terletak di desa tetapi pada induk atau bagian hulunya.

“Yang saya maksud hulu itu di wilayah kecamatan. Sampai saat ini di Kecamatan Batui Selatan belum ada tempat pembuangan akhir. Ini juga masalah yang harus dipikir,” katanya.

Dia khawatir,  kalau sampah mulai dikumpulkan hanya akan berakhir di tempat pembuangan sampah tetapi TPA belum tersedia.

Kegelisahan Redmon dan Efsuin ini yang membawa mereka bertemu dengan Indri dan akhirnya terbentuklah bank sampah.

Dengan kehadiran bank sampah, kata Indri,  setidaknya mengurangi volume sampah di desa. Kegelisahan warga pun sedikit terjawab sembari menanti TPA tersedia.

 

Indriani Agustina (berbaju orange), tergerak mengelola sampah setelah melihat banyak sampah terbuang sembarangan. Foto: Zulkifli Mangkau/ Mongabay Indonesia

 

 Gerakkan anak muda

Indri merasa, kegiatan ini perlu melibatkan banyak anak muda untuk aktif dan mau berbuat terhadap kerja-kerja penyelamatan lingkungan di desa mereka.

“Menggaet anak muda saya rasa perlu, karena mereka ini generasi selanjutnya setelah kita. Mereka juga perlu tahu dan terlibat,” ucap Indri.

Lowongan relawan pun dibuka lagi. Banyak anak muda desa terpanggil. Naldi, salah satunya.

“Saya suka bergabung dengan bank sampah ini karena banyak aktivitasnya. Bayangkan, mereka bisa memberikan kami pengetahuan bagaimana mengolah sampah jadi bernilai untuk dijual,” katanya di kantor bank sampah.

Meskipun begitu, kata Indri, tak mudah menggerakkan  anak muda terlibat. Walau awal-awal semangat, belakangan ada yang mulai berkurang keinginan jadi relawan. Indri bilang, salah satu penyebab karena mendapat cibiran dari keluarga terdekat. Keluarga, meragukan nasib mereka ke depan.

“Percuma sekolah tinggi tapi pulang ke desa bergelut dengan sampah. Tidak menjanjikan masa depan,” kata Indri, menirukan cibiran yang sering dia dengar.

Namun, katanya, sebagian anak muda yang lain tetap semangat. “Mereka yang bertahan ini terus kami asah semangatnya dan jadi contoh bagi keluarga,  kalau bank sampah juga bisa bermanfaat.”

 

Bank smapah yang digagas Indriani Agustina, Warga bisa jadi nasabah, dan menabung sampah. Nanti, bisa diambil denagn sembako atau uang. Foto: Zulkifli Mangkau/ Mongabay Indonesia

 

Berkah

Bank Sampah Montolutusan mulai dikenal banyak pihak. Masyarakat desa yang jadi nasabah sudah 300-an orang. Kabar ini juga menyebar ke beberapa desa tetangga hingga antar kecamatan. Pengelolaan bank sampah Indri  pun dilirik banyak pihak, termasuk pemerintah daerah.

Selain sampah terkelola baik bagi lingkungan, kata Indri, juga membantu pendapatan ekonomi warga.

Kalau lihat data buku tabungan, kebanyakan orang menukar sampah dengan kebutuhan bahan pokok berupa minyak, telur, beras, kopi, dan gula.

“Nasabah kami paling jauh itu ada di Kota Luwuk, kebanyakan rumah makan. Kami mengambil sisa sampah makanan mereka untuk jadi pupuk atau kebutuhan maggot,” katanya.

Efsuin, perlahan mulai tersenyum. Kehadiran Indri dan bank sampah  bisa bantu memenuhi kebutuhan keluarga. Biaya sekolah anak Anak bisa dari hasil jual sampah.

“Awalnya menjual, belum jadi nasabah. Lama kelamaan jadi nasabah dan terlibat jadi pengurus di bank sampah.”

Dia bilang, jarang orang punya kepedulian tinggi soal sampah. Indri, katanya,  berani dan punya dedikasi tinggi.

Redmon juga memuji Indri. Indri, katanya, sudah berbuat banyak untuk lingkungan di desa, terutama soal  membangun kesadaran masyarakat tak lagi membuang sampah sembarangan.

Kini, Indri terus bergerak menyebar virus kebaikan ke sekolah-sekolah dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Dia ingin mengedukasi anak-anak bahwa menjaga lingkungan adalah tanggung jawab bersama.

“Zaman sekarang, sampah plastik yang menjadi dampak buruk bagi bumi, bahkan banyak dampak yang sangat berbahaya buat anak cucu ke depan, termasuk anak saya yang akan mewarisi lingkungan.

“Masalah sampah ini kalau tidak kita tangani sekarang, lalu harus menunggu siapa lagi yang bergerak?”

 

*****

 

Exit mobile version