Mongabay.co.id

Bila Geopark Gunungsewu Susut Berisiko bagi Ekosistem Karst dan Kehidupan Warga

 

 

 

 

 

Bukit-bukit terbentang di sepanjang selatan Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Lahan pertanian dari sawah sampai sayur mayur, juga pepohon jati dan tanaman perkebunan lain  terhampar dekat perbukitan. Ada pintu-pintu masuk menuju kampung wisata, gua karst hingga situs geologi.

Suasana perkampungan selepas dari Desa Wonosari menuju Paliyan, Gunung Kidul, sampai Pantai Baron menyusuri jalanan Pantai Selatan Jawa di cukup asri. Pemukiman sejuk dengan pepohonan di pekarangan. Kiri dan kanan tanami beragam bunga, buah, dan pohon-pohon rindang.

Dari pusat Kota Yogyakarta, satu jam lebih pakai sepeda motor melalui jalur lintas di Bukit Bintang. Jalanan berkelok dan menanjak. Hilir mudik kendaraan cukup padat, apalagi saat jelang liburan atau waktu pulang kerja. Bawa kendaraan harus berhati-hati.

Ketika melalui jalan ini terlihat bukit terkelupas dan terpangkas. Resort dan hotel megah sudah tertancap. Pada jalur lain, aspal hitam merekah membelah bukit-bukit batuan karst yang tak lain jalur jalan lintas selatan.

Secara geografis, Gunungkidul berada di bagian selatan Pegunungan Sewu. Sebagian besar berupa perbukitan karst dan tebing curam berbatasan dengan laut selatan Jawa. Dalam bahasa Jawa, sewu berarti seribu atau berarti sebagai jumlah tak terhitung. Istilah “Gunungsewu” menggambarkan banyak bukit berbentuk kubah berjajar sepanjang kawasan ini.

Daerah ini masuk dalam Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gunungsewu. Karst Gunung Sewu punya daya tarik wisata alam nan eksotis. Ia obyek wisata geologi penting yang masuk warisan dunia karena menyimpan kekayaan alam luar biasa. Kini, sebagian besar kawasan lindung ini tengah terancam terpangkas.

Kabar ini bikin Sigit Purnomo, Lurah Karang Asem, di Kecamatan Paliyan, Gunungkidul, cemas. Dia khawatir,  rencana ini berisiko merusak ekosistem di kawasan lindung dan berdampak terhadap sumber-sumber kehidupan warga.

Sigit lebih dikenal dengan nama Wage Daksinagara. Dia lahir dan besar di Gunungkidul. Sebagai warga asli, lelaki berusia 45 tahun ini tahu persis bagaimana kehidupan warga yang memanfaatkan ruang-ruang untuk ladang pertanian dan perkebunan di areal-areal bebatuan karst.

Sudah ratusan tahun warga memenuhi kebutuhan pangan dan beradaptasi dengan ekosistem karst tanpa merusak bentang alam itu.

 

Karst Gunungsewu, yang terancam. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Ladang pertanian dan sumber pangan warga juga bergantung dari pasokan air yang tersedia dari  sungai-sungai bawah tanah ke permukaan dari gua di kawasan karst. Sementara, sebagian warga yang lain juga bergantung pada ekonomi wisata dan gua-gua wisata yang sudah berjalan saat ini.

“Jika kawasan karst ini luas dikurangi, saya khawatir akan banyak ancaman datang. Bukan tidak mungkin sumber air kami akan hilang,,”kata Wage kepada saya pertengahan Januari lalu.

Apa yang dikhawatirkan Wage tidak berlebihan. Kalau melihat peta usulan permohonan peninjauan ulang deliniasi KBAK Gunung Sewu yang diajukan Pemerintah Gunungk Kidul kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Badan Geologi pada 7 April 2022, skala cukup luas dan besar.

Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No.3045/2014 tentang penetapan KBAK Gunung Sewu, luas kawasan lindung geologi 75.835,45 hektar atau 1.001,17 km2.

Pemerintah Gunungkidul usul dipangkas jadi 37.018,06 hektar atau tersisa 48,81% dari luas saat ini.

“Pengurangan sebesar itu untuk apa? Kalau hanya untuk pengembangan ekonomi kita bisa berdaya, tapi dibalik itu kita akan rugi. Sumber air, satwa dan ekosistemnya akan rusak di jangka panjang,” kata Wage.

 

Gua di karst Gunung Sewu. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Sengkarut pengurangan kawasan karst

Rencana pengurangan kawasan karst ini ditolak kelompok masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Pemerhati Karst Indonesia. Mereka menyayangkan, ada upaya pengurangan kawasan karst yang akan mengubah bentang alam warisan dunia ini.

Petrasa Wacana, Ketua Masyarakat Speleologi Indonesia, mewakili koalisi mengatakan, rencana itu akan mengancam fungsi ekosistem karst sebagai kawasan resapan air hingga berpotensi bencana kalau luasan berkurang.

“Jadi, perlu melihat fungsi ekosistem Karst Gunung Sewu. Karena kalau bicara karst itu sangat fisik, mesti bicara batuan, mata air, gua, dan dalam konteks speleologi ini semua kesatuan ekosistem,” katanya kepada saya beberapa waktu lalu.

Dalam konteks pembangunan, pemerintah daerah mesti mengikuti arahan dalam Kepmen No.3045/2014 tentang Penetapan KBAK Gunung Sewu, hingga, kata Petrasa,  perlu dilestarikan dan dilindungi, bukan dikurangi.

Jika merujuk pada Permen ESDM No.17/2012 tentang Penetapan KBAK, pemerintah daerah baik gubernur maupun kabupaten dan kota hanya bisa mengajukan penetapan KBAK kepada Menteri ESDM. Juga tak ada klausul peninjauan kembali dengan tujuan pengurangan luasan KBAK.

“Artinya secara kaidah hukum, proses pengurangan luasan Kawasan Karst Gunung Sewu tidak sesuai aturan berlaku,” kata Petrasa.

Dia bilang, usulan pengurangan KBAK diam-diam. Pemerintah Gunungkidul langsung mengirimkan surat permohonan peninjauan kembali kepada ESDM melalui Badan Geologi pada 7 April 2022. Aksi ini tanpa sepengetahuan Pemerintah Yogyakarta. Padahal muasal penetapan KBAK Gunung Sewu ditandatangani tiga provinsi, Yogyakarta, hanya salah satu.

“Dalan surat permohonan [kepada Menteri ESDM, red] tidak ditembuskan ke Pemerintah Yogyakarta,” kata Dihin Nabrijanto, Biro Pengembangan Infrastruktur Wilayah dan Pembiayaan Pembangunan (PIWP2) Setda DI Yogyakarta kepada Mongabay awal Februari ini.

Pemerintah Yogyakarta baru disurati Pemerintah Gunungkidul pada 21 November 2022 meminta dukungan pengurangan KBAK Gunung Sewu setelah ada rapat koordinasi awal November sebelumnya.

 

Sumber air dan sumber hidup masyarakat dari karst Gunung Sewu. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, Pemerintah Gunung Kidul ajukan peninjauan kembali atau pengurangan KBAK Gunung Sewu dengan beberapa pertimbangan, antara lain, pertumbuhan pemukiman, keberadaan jalur jalan lingkar selatan (JJLS). Juga objek wisata baru; peningkatan permohonan investasi; dan visi Bupati Gunungkidul.

Pemerintah Gunungkidul berdalih pengurangan itu berdasarkan pembangunan pesat di Gunung Kidul hingga perlu kaji ulang KBAK Gunung Sewu perlu dikaji ulang untuk memenuhi kebutuhan ruang dalam pengembangan wisata dan ekonomi daerah.

Eddy Praptono, Plt Kepala Staf Ahli Bupati Bidang Perekonomian dan Pembangunan Kabupaten Gunung Kidul mengatakan, usulan peninjauan kembali atau pengurangan KBAK di Gunung Kidul sesuai surat Sekda Nomor 590/1909 7 April 2022. Pada pokok surat itu tidak menyebut usulan luasan untuk dikurangi.

“Pengurangan agar kegiatan masyarakat seiring dibangun JJLS dapat lebih memadai, utama pada kawasan KBAK yang rentan sensitivitas rendah,” katanya, kepada Mongabay Februari lalu.

Namun, kata Petrasa, pembangunan di kawasan karst tidak mesti menghilangkan fungsi kawasan lindung dari suatu bentang alam apalagi mengorbankan ekosistem dan ruang hidup warga.

“Pembangunan tidak selalu mengorbankan kawasan karst. Pemanfaatan bisa berjalan seiring pemahaman tentang fungsi ekosistem karst itu sendiri,” katanya.

Pemerintah Yogyakarta sudah mengirimkan surat kepada Bupati Gunung Kidul yang ditandatangani Hamengku Buwono X, Gubernur DI Yogyakarta tertanggal 30 Desember 2022.

Dengan merujuk pada Kepmen ESDM No 3045/2014 tentang penetapan KBAK Gunung Sewu, gubernur menyebut “tidak ada klausul tentang peninjauan untuk penambahan atau pengurangan luasan KBAK dalam penetapan KBAK baru.”

Meski begitu, kata Dihin, Pemerintah Yogyakarta akan memberi dukungan apabila Pemerintah Gunung Kidul telah melakukan, pertama, evaluasi dan penyelidikan lapangan terkini berkaitan dengan perubahan pemanfaatan KBAK Gunungsewu di Gunung Kidul.

Kedua, kajian akademik terkini terkait perubahan pemanfaatan KBAK Gunung Sewu di Gunung Kidul secara komprehensif dan partisipatif. Juga, diskusi terfokus hasil kajian akademik dengan melibatkan para pemangku kepentingan terkait dan menyusun berita acara kesepakatan bersama deliniasi terbaru KBAK Gunung Sewu.

Terakhir, ada telaah hukum terkait peninjauan untuk penambahan atau pengurangan luasan KBAK Gunung Sewu terhadap Kepmen ESDM No 3045/2014 tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Gunungsewu.

“Kami meminta, Gubernur Yogyakarta tidak menyetujui rencana itu, [karena] tidak ada urgensi mengurangi kawasan karst Gunung Sewu,” kata Petrasa.

 

Karst Gunungsewu masuk warisan dunia oleh Unesco. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Budi Martono, General Manager Gunung Sewu Unesco Global Geopark juga tak setuju dengan peninjauan ulang atau pengurangan luas kawasan karst.

Bagi Budi, Gunung Sewu, punya keunikan dan nilai ilmiah tinggi karena terdiri dari ribuan bukit berbentuk kerucut tumpul atau terkenal dengan sebutan conical karst hill. Ia hanya dijumpai di negara tropis seperti Filipina dan Jamaica.

“Konsep geopark tidak melarang aktivitas ekonomi yang berada di kawasan itu, asal aktivitas ekonomi tidak bertentangan dengan aturan yang ada, baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun pusat,” katanya.

Pengurangan KBAK Gunungsewu, kata Budi, akan berdampak pada penilaian Unesco terhadap proses evaluasi dan revalidasi tahap II pada 2023 untuk tetap menjaga status Global Geopark Gunung Sewu di mata dunia.

Budi bilang, akan jadi preseden buruk saat revalidasi kedua karena harus memperkecil luas dan mengubah peta karst Gunungsewu.

 

Nasib geopark

Gunungsewu merupakan kawasan karst yang ditetapkan Unesco sebagai Global Geopark Network (GGN) pada 2015. Kawasan ini terbentang dari Pantai Parangtritis, Kabupaten Bantul, disisi barat sampai dengan Pantai Teleng Ria, Kabupaten Pacitan, disisi timur.

Dalam peta KBAK Gunung Sewu, letaknya meliputi empat kabupaten dan tiga provinsi, yaitu, Bantul dan Gunungkidul di Yogyakarta, Wonogiri di Jawa Tengah, dan Pacitan di Jawa Timur.

Kawasan ini memiliki 33 geoarea tersebar di dalam 33 geosite di seluruh kabupaten. Dari jumlah itu, 13 geosite berada di Gunung Kidul, tujuh di Wonogiri, dan 13 di Pacitan.

Dari cakupan wilayah beberapa kabupaten ini, Pemerintah Gunung Kidul yang berinisiatif mengurangi perbukitan karst di segmen Gunung Kidul dengan alasan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Dalam Kepmen ESDM luas KBAK Gunungsewu di Gunungk Kidul seluas 757,13 km2, sedangkan Perda Gunung Kidul No.11/2011 tentang RTRW 2010-2030 seluas 807,04 km2, ada selisih seluas 49,91 km2.

Meski usulan pengurangan hanya kawasan karst bagian selatan di segmen Gunung Kidul, namun Petrasa bilang akan berdampak pada ekosistem kawasan bentang alam secara keseluruhan.

Sari Bahagiarti Kusumayudha, Ketua Pusat Studi Karst UPN Veteran Yogyakarta mengatakan, kawasan karst di bagian selatan merupakan karst sangat baik dan masuk kriteria kelas satu yang wajib dilindungi.

“Ia masih terus bertumbuh,” katanya.

Sari tidak bisa membayangkan kalau yang dihilangkan atau dikurangi justru di bagian selatan. “Di bagian selatan banyak wisata pantai, wisata gua, itu yang jadi daya tarik Gunung Kidul.”

Menurut Sari, lingkungan karst sangat spesifik. Mulai dari sisi fauna maupun flora. Karena begitu spesifik, katanya, banyak biota langka seperti yang hanya terdapat di sungai dan gua-gua.

“Biota karst itu biota langka, karena hanya bisa tinggal, hidup dan berkembang di karst. Kalau kawasan karst itu dikurangi atau dimusnahkan, kemana nanti mereka hidup?” tanya Sari.

Dari data riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berjudul Sejarah Alam Gunung Sewu (2018) yang disusun Cahyo Rahmadi, Sigit Winantoro, dan Hari Nugroho menyebut karst Gunun Sewu memiliki potensi sumber air, habitat flora dan fauna dengan tingkat endemisitas tinggi.

 

Karst Gunungsewu merupakan ekosistem penting antara lain sumber air. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Gunung Sewu juga disebut sebagai laboratorium alam bagi berbagai disiplin ilmu, seperti speleologi, biologi, hidrologi, geologi, dan arkeologi.

Dalam laporan yang sama mengatakan, kawasan karst Gunung Sewu mempunyai bentang alam berbeda-beda. Mulai dari bukit-bukit berbentuk kubah, lembah kering, sungai permukaan, sampai sungai bawah tanah dalam sistem perguaan.

Gunung Sewu memiliki bentang alam karst sangat unik. Ia dicirikan dengan ada fenomena di permukaan (eksokarst) seperti bukit dan bawah permukaan (endokarst) seperti gua-gua yang memiliki stalaktit dan stalakmit serta sungai bawah tanah.

Sari mengatakan,  deretan pegunungan Gunung Sewu terbentuk dari pengangkatan dasar laut sejak 6 juta tahun lalu dan muncul ke permukaan.

Secara sederhana, kata Sari, karst dapat berarti sebagai kawasan berciri dengan ada pelarutan pada batuan oleh air atau disebut proses karstifikasi. Ini salah satu yang membentuk sistem sungai bawah tanah.

“Kalau dikupas, sungai hilang, air mau mengalir kemana? Apa mau banjir?”

Dia nilai, motivasi atau semangat berpikir pemerintah Gunung Kidul mengurangi kawasan karst sebetulnya tidak berkelanjutan dan hanya sesaat.

Eddy berdalih usulan pengurangan KBAK dari Pemerintah Gunung Kidul tidak termasuk dalam 13 geosite yang disebut masuk GGN Unesco. Dia bilang, wilayah usulan pengurangan bukan wilayah sumber air atau resapan air, cagar alam, geosite geopark, dolin dan sejenisnya.

“Saat ini,  kajian sedang dilakukan baik studi literatur maupun studi lapangan bersama Badan Geologi,” katanya.

Petrasa bilang, seharusnya pemerintah itu berpikir bukan mengurangi luas kawasan, tetapi  mengusulkan penambahan.

“Ketika pemerintah berpikir mengurangi luas kawasan karst, harus mempertimbangkan nilai manfaat dan nilai risiko ketika kawasan itu tidak memiliki status atau kekuatan hukum yang dapat melindungi kawasan KBAK,” katanya.

Halik Sandera, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta curiga kalau usulan pengurangan ini ada desakan dari investasi yang masuk di Gunung Kidul. Dia bilang, mulai dengan jalur jalan lingkar selatan, sampai perluasan untuk industri pariwisata di pesisir dan pantai.

Beberapa pembangunan skala besar di Gunung Kidul,  katanya belum punya izin. “Faktanya pemerintah daerah sudah menarik pajak penghasilan dari sana. Artinya,  menarik dari sebuah usaha ilegal. Ilegal karena izin belum kelar.”

Halik menduga pula usulan pengurangan ini ingin memutihkan pelanggaran-pelanggaran ruang di Gunung Kidul.

“Ini bisa jadi sebagai pemutihan terhadap pelanggaran-pelanggaran ruang. Seharusnya, kalau ada pelanggaran ruang itu ditegakkan, dipastikan ruang itu sesuai fungsi yang ditetapkan.”

Menurut Petrasa, jika pengurangan luas kawasan karst terjadi, bukan hanya pariwisata, karena pariwisata hanya jalan masuk sepaket dengan proyek JJLS, tetapi investor industri tambang juga akan mudah.

“Ketika ini diproyeksikan dikurangi, ancaman terbesarnya adalah masuknya investor-investor tambang batu gamping di Gunung Sewu.”

Lantas apa sebenarnya yang cocok kalau tidak mengubah bentang alam karst? Halik berpendapat, kalau melihat dari aspek ruang yang harus dikembangkan adalah sektor pertanian dan perkebunan.

“Seharusnya, dukungan pemerintah itu bagaimana membangun infrastruktur mendukung pertanian dan perkebunan. Kemudian memastikan, hasil produksi pertanian masyarakat itu maksimal.”

Hasil pangan ini, kata Halik, berpotensi menyuplai sektor pariwisata yang sedang berkembang dan sudah berjalan saat ini di Gunungkidul. Hal sama juga diharapkan Wage. Dia bilang, pemerintah mesti memikirkan ekonomi warga, bukan korporasi atau kepentingan sesaat.

“Yang terpenting itu ketahanan pangan, ketahanan air,” kata Wage.

 

 

 

*******

 

Exit mobile version