Mongabay.co.id

Menjaga Hutan Adat Teringkang

 

 

 

 

Pepohonan rapat di Hutan Adat Teringkang kontras dengan area sekitar yang berkeliling kebun sawit. Ada juga sebagian lahan pertanian lain. Polanya,  kebun sawit bak sulur tanaman yang merangsek ke arah hutan adat, namun terhenti di dekatnya. Hutan itu teguh, tak tersentuh. Hijau pekat bak hutan tak terjamah.

Tajuk pohon makin rapat ke tengah, mendukung ekosistemnya yang masih terjaga. Hutan adat ini terletak di Dusun Seberuak, Desa Gunam, Kecamatan Parindu, Sanggau, Kalimantan Barat.

“Kami tak pernah masuk ke sana jika tidak ada keperluan adat,” kata Tumonggong Hayo, Ebetus Pius Onomuo Et, ketika dihubungi Mongabay. Dia memastikan, hutan itu sudah terjaga sejak ratusan tahun lalu.

Sedari kecil, dia sudah mendengar mengenai aturan larangan terkait hutan adat Teringkang. Sebagaimana budaya lisan Dayak, pengetahuan turun melalui kisah dari tetua kepada generasi lebih muda.

Sejak dulu, tak ada yang berani sembarangan memasuki hutan adat itu. “Bukan masalah berani atau tidak, jika tidak ada keperluan kita tidak akan ke sana,” katanya.

Masyarakat Dayak Hibun, meyakini, di dalam hutan dihuni mahluk lain alam. Mahluk itu mereka sebut bunyik. Bunyik itu sebutan untuk mahluk halus.

Tumonggong menyakini, hutan itu merupakan tempat tinggal kaum bunyik. “Sudah ratusan tahun berdampingan hidup dengan manusia,” katanya.

Hutan di Kalimantan Barat mengalami beberapa fase aturan pengelolaan. Alih fungsi hutan pun tak luput dialami Desa Gunam. Desa ini saksi perubahan kawasan hutan untuk industri kayu, sampai perkebunan sawit. Meskipun begitu, hutan adat Teringkang tak mengalami perubahan berarti.

Parindu,  termasuk kecamatan paling awal masuk perkebunan sawit. Ada perkebunan milik badan usaha pemerintah di sana.

Sedang di Sanggau, perkebunan sawit sudah mulai sejak 1979. Berdasarkan analisis Global Forest Watch, dari 2002-2021, Sanggau kehilangan 68.700 hektar hutan primer basah, menyumbang 16% dari total kehilangan tutupan pohon dalam periode sama.

Area total hutan primer basah di Sanggau, Kalbar, berkurang 32% dalam periode waktu ini. Sebelumnya, pada 2000 sebesar 68% dari Sanggau merupakan hutan alami.

Kini, di kabupaten ini, perkebunan sawit mewakili jenis perkebunan terbesar. Wilayahnya mencakup 310.000 hektar atau 24% dari luas lahan.

Sanggau,  merupakan satu dari empat kabupaten terluas di Kalimantan Barat, seluas 12.857,70 km2 , setelah Ketapang, Kapuas Hulu, dan Sintang. Badan Pusat Statistik 2018, Sanggau memiliki penduduk 457.701 jiwa tersebar di 15 kecamatan.

Etnik yang mendiami kabupaten ini sangat beragam, antara lain etnik Dayak, Melayu, Banjar, Bugis, Jawa, Batak, Padang, Ambon, Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Tionghoa.

Salah satu subsuku Dayak di kabupaten ini adalah Dayak Hibun atau Dayak Ribun, seperti mayoritas penduduk di Desa Gunam.

Sub etnik ini tersebar di Kecamatan Parindu, Tayan Hulu, Tayan Hilir, Bonti dan Kembayan, meliputi 95 kampung di lima kecamatan ini.

Berdasarkan jurnal ilmiah Arkanudin dan Rupita, dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura, terbitan Agustus 2021, secara historis, nenek moyang etnik ini dari perbatasan Kalbar dan Malaysia, yaitu,  di Nekan Entikong.

Daerah itu dikenal dengan Tembawang Hibun. Ia berada di Dusun Kerunang, Desa Kampuh, Bonti.

 

Tumonggong Hayo, Ebetus Pius Onomuo Et (baju adat). Foto: dokumen Valens Andi

 

Taat adat

“Kami memegang aturan-aturan adat. Aturan ini sebelumnya tidak tertulis namun diingat oleh para pemuka adatnya,” kata Tumonggong.

Aturan ini pula yang masih digunakan untuk beberapa kegiatan di masyarakat. Penentuan masa panen, memulai penggarapan lahan, ritual penyembuhan, dan lain-lain.

Kebudayaan Dayak sebagai bagian dari sastra lisan, terekam dalam adegan-adegan pada ritual adat di desa.

Tumonggong cukup sulit mencari pengganti para pemuka adat di desa. “Yang tua banyak, cuma yang paham adat dan punya keahlian itu masih jarang,” katanya.

Luas Hutan Adat Teringkang 22 hektar. Tumenggong tak tahu pasti kapan hutan itu jadi hutan adat. Diperkirakan sejak nenek monyang mereka hijrah dan menempati kawasan itu.

Tumonggong bilang, ada beberapa aturan hutan adat seperti antara lain larangan menebang pohon. Apabila, ada yang menebang pohon di hutan adat, tak hanya terkena sanksi adat juga akan demam, atau dalam taraf tertentu menyebabkan gangguan jiwa dan hilangnya nyawa.

“Kalau dianggap mitos, tapi ada kejadiannya. Orang sakit, susah sembuh. Lalu meninggal.”

Kejadian ini tidak hanya sekali, beberapa peristiwa serupa terjadi, di masa orangtua Tumonggong masih ada, hingga saat ini.

Siapa pun dilarang membuka hutan untuk kepentingan berladang di hutan adat. Warga juga dilarang berburu atau mengambil satwa dan tumbuhan dari hutan adat. Larangan termasuk pula tidak buang air kecil dan besar di hutan itu.

Masyarakat juga dilarang membakar makanan yang mempunyai bau menyengat, misal, terasi atau ikan asin. Untuk memasuki hutan adat, tidak sembarangan, katanya, tetua adat harus melakukan ritual.

“Waktu itu pernah ada kunjungan tamu untuk melihat hutan adat, tetapi tiba-tiba hujan lebat. Padahal sebelumnya cerah,” kata Tumonggong.

Warga tidak meninggalkan adat dalam kehidupan sehari-hari. Bagi mereka,  adat istiadat merupakan bagian dari tata kehidupan.

Dia contohkan, memulai pekerjaan baru mereka akan membuat ritual atau persembahan ke tiga pedagi.

Pedagi adalah sesembahan berupa patung menyerupai manusia terbuat dari batu atau kayu. Pedagi diyakini merupakan tempat roh leluhur masyarakat yang bertugas menjaga kawasan dan penghuninya.

Ketiga pedagi letaknya berbeda-beda. Luciana Inez, petani perempuan di Desa Gunam mengatakan, yang paling sering dikunjungi adalah pedagi di dekat pintu masuk desa.

“Ada pedagi di dekat sungai,  terakhir pedagi di dekat hutan adat,” katanya.

Dalam bercocok tanam pun mereka mencari hari paling baik menurut adat setempat.

Mereka punya budaya gotong royong yang disebut pengari. Setiap keluarga, harus membantu berladang keluarga lain setelah dewasa.

“Kalau kita kerja di ladang si A lima hari, si A kerja di ladang kita lima hari juga,” katanya.

Kalau tidak, katanya, ganti hari atau tenaga pada proses bercocok tanam selanjutnya. Misal, ketika berhalangan dua hari saat menugal, maka hari kerja diganti saat panen dengan jumlah hari sama.

Budaya ini yang membuat masyarakat tetap guyub dan rukun termasuk yang berkaitan dengan perlindungan alam.

 

Hutan adat teringkang. Foto: dokumen M Darto/SPKS

 

 

***

Mayoritas penduduk Gunam adalah petani sawit. Mereka berladang hanya sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Bagi orang Dayak, menanam padi selalu utama. Selain tak perlu membeli beras, beberapa jenis beras ditanam untuk keperluan ritual adat.

Untuk persembahan ke pedagi, perlu beras ketan putih. Beberapa jenis beras lokal pun ditanam sesuai ritual adat.

Ines bilang, beberapa jenis padi berfungsi beda dan khusus ditanam pada areal sawah tertentu.

“Sawah dibagi dua, basah dan kering. Tapi tidak semua jenis padi ditanam dalam satu musim tanam yang sama,” katanya.

Untuk jenis padi ketan, ada dua jenis yang sering ditanam, padi lobok atau padi payak, dan padi dois.

Sedangkan padi biasa, namanya cukup unik. Ada padi cantik, ntabai, serawai, angkong, lop, kahata atau padi selasih dengan bulir merah. Pengetahuan dan pengenalan jenis-jenis padi ini didapat turun menurun secara lisan.

Bisa jadi, generasi setelah Ines tak lagi mampu mengenali jenis-jenis padi ini. Hanya sedikit yang tertarik bercocok tanam. Terlebih desa mereka berdekatan dengan perusahaan sawit.

“Namun, kebanyakan warga desa masih menyisakan lahan untuk sawah,” kata Albertus Darius, Ketua Serikat Petani Kepala Sawit Sanggau. Tak

Tak hanya itu, lahan tembawang (kebun buah), hutan bawas (hutan untuk kebutuhan pemukiman serta makanan) masih tetap terjaga.

Sesuai adat, perburuan tidak dilakukan dengan racun. Biasanya, warga memasang jerat. Begitu juga di sungai, pantang bagi warga menggunakan racun.

Menurut Darius, upaya ini bentuk perlindungan masyarakat dalam menjaga ekosistem. Bisa dikatakan, petani sawit bukanlah penyumbang deforestasi.

Komitmen warga menjaga hutan perlu mendapatkan dukungan kuat. Darius bilang, SPKS Sanggau kini menginventarisir hutan-hutan adat di desa-desa yang banyak sawit rakyat.

Hutan- hutan ada ini kebanyakan berada di areal non hutan. Selain Teringkang, ada pula hutan adat lain seperti Rimba Besar, Rimba Sagu, Rimba Pusat Damai, serta hutan adat Desa Engkunyit.

Iskandar, dosen Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, mengatakan, pendekatan adat oleh masyakat dalam menjaga hutan juga dilakukan di beberapa daerah lain.

“Masyarakat Ot Danum di hulu Sungai Melawi juga melakukan hal sama,” katanya. Begitu juga di daerah Ketapang, Sintang, serta Kapuas Hulu.

Masyarakat, katanya, perlu dampingan menguatkan penetapan hutan adat mereka tetap terjaga. “Paling tidak dalam bentuk surat keputusan bupati,” katanya.

Masyarakat adat mampu mengelola hutan bukan kayu untuk memberikan manfaat ekonomi. Hasil hutan non kayu mencukupi keperluan masyarakat secara keberkelanjutan seperti sumber makanan, obat, atau perumahan. Kalau hutan hilang, mereka tak bisa menikmati itu lagi.

Dampingan organisasi masyarakat sipil untuk mendorong penetapan hutan adat oleh legislatif dan eksekutif sangat penting mengingat terdapat beberapa instrumen yang tergolong mutakhir untuk masyarakat awam.

“Misal, pendampingan pengukuran hutan, tata guna lahan, atau inventarisir satwa dan tumbuhan di dalamnya.” Termasuk pula mendampingi agar hasil hutan non kayu selain untuk kebutuhan sehari-hari, dapat memberikan nilai tambah ekonomi.

Namun, katanya, penting diingat para pendamping masyarakat dan pemerintah agar benar-benar mengukur skala kebutuhan nilai tambah ekonomi di masyarakat.

“Bisa jadi mereka tidak butuh dalam skala besar. Warga mungkin cukup puas dengan tambahan tertentu, bukan menciptakan industri di desa,” katanya.

Misal, kerajinan rotan atau tenun. Sumber daya dan bahan baku bisa jadi terbatas, hingga belum bisa memenuhi permintaan pasar besar. “Biar saja, jangan dipaksa. Justru mahalnya di situ. Mereka menganyam rotan atau tenun di sela-sela kegiatan sehari-hari,” katanya.

Kalau dipaksakan, bisa jadi merusak tatanan kehidupan masyarakat. Begitu pula dengankegiatan  lembaga pendamping masyarakat. Dia berharap,  agar program bisa realistis dan berkelanjutan hingga masyarakat bisa mandiri ketika program dampingan berakhir.

 

Hutan adat Teringkang. Foto: dokumen SPKS

********

 

Exit mobile version