Mongabay.co.id

Virus Herpes Serang Anak Gajah di Riau? Sudah Dua Mati dalam 2023

 

 

 

 

Dunia konservasi gajah was-was. Dalam  2023 ini, di Riau, sudah dua anak gajah mati. Sebelumnya, Damar, anak gajah usia dua tahun mati terkena virus  herpes (elephant endotheliotropic herpesviruses/EEHV) Januari lalu. Akhir Februari lalu, Ryu juga mati diduga terkena virus sama.

Balai Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), mengumumkan kematian Ryu, anak gajah jinak, lewat akun Instagram resminya, akhir Februari lalu. Kematian begitu cepat dan mendadak itu diduga karena serangan virus EEHV.

Heru Sutmantoro,  Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nillo (TNTN), awal Maret, mengatakan,  masih menunggu hasil pengecekan sampel organ yang dikirim ke Medika Satwa Laboratoris, Bogor. Sedangkan diagnosa penyakit juga masih memastikan hasil analisis Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor (IPB).

Ryu mati sekitar tiga minggu sebelum Balai TNTN mengabarkannya di akun media sosial mereka. Sebenarnya, kata Heru, mereka baru akan informasikan setelah menerima hasil uji laboratorium. Karena banyak pertanyaan dari netizen, kondisi menyedihkan itu pun sampai ke publik.

Dalam postingan di Instagram @btn_tessonilo ada dua foto yang diunggah. Pertama, Ryu dengan kaki kanan depan seperti hendak mencapai kamera. Kedua, Ryu bersama dua orang mahout—pawang—satu bersandar di kaki kanan belakang anak gajah umur dua tahun itu. Ryu sangat disenangi. Sebab itu, tayangan ini dibanjiri ratusan komentar.

“Karena banyak bertanya keberadaan Ryu, kami umumkan saja sambil menunggu sebab kematiannya. Virus EEHV begitu cepat menyerang anak gajah. Tidak ada hitungan hari,” kata Heru, via telepon seluler.

Dia bilang, sebelum mati, Ryu tiba-tiba ambruk ketika pawang hendak memindahn untuk digembala di hutan. Dokter hewan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau pun tidak sempat menangani. Sebelum tim medis beranjak dari Pekanbaru untuk beri pertolongan, Ryu sudah mati.

Ryu lahir dari induk gajah, Lisa, di camp flying squad Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I, Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Pelalawan. Selain Lisa, di sana ada Ria dengan empat anaknya yang jadi gajah latih, yakni, Tesso, Tini dan Harmoni Rimbo.

Paling kecil adalah Domang. Lahir 2 Desember 2021. Pemberian nama itu ditandatangani langsung Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, saat berkunjung, beberapa minggu setelah kelahiran si bayi gajah.

Kata Heru, perlindungan terhadap Domang cukup jadi perhatian, pasca kematian Ryu karena dalam usia rawan atau belum genap dua tahun, Domang tergolong rentang terserang EEHV. Ia pun diberi tambahan vitamin kekebalan tubuh guna melawan virus, termasuk gajah lain.

Perlindungan lain, Balai TNTN membatasi interaksi gajah dengan pengunjung, selain para pawang di camp. Juga menjaga kebersihan kandang gajah. Prioritas saat ini, Balai TNTN akan optimalkan keberadaan dan operasional klinik camp flying squad supaya pemeriksaan maupun tindakan medis terhadap gajah lebih cepat dilaksanakan.

Yuliantoni, Direktur Eksekutif Yayasan TNTN—lembaga non pemerintah fokus konservasi gajah—juga mewanti-wanti kondisi Domang dan berharap anak gajah yang masih beradaptasi itu terjaga dengan baik.

Heru memastikan, Domang terisolasi dari kontak manusia luar, kecuali pelatih gajah di camp.

 

Anak gajah sumatera di Aceh. Anak gajah rentan virus herpes hingga perlu lebih ekstra menjaga kesehatan mereka. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dua anak gajah mati

Tahun ini, sudah dua kali anak gajah mati. Januari lalu, merenggut nyawa Damar, baru memasuki umur dua tahun. Damar lahir dari induk gajah latih Robin dan Ngatini, di Unit Konservasi Gajah Taman Wisata Alam (TWA) Buluh Cina, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau.

Kematiannya juga mendadak tanpa tanda mencurigakan. Malam masih terpantau baik, paginya sudah rebah ketika hendak dipindahkan ke hutan. Sampel lidah, hati, limpa, lambung, ginjal, jantung, paru paru, dan cairan perikardium yang dikirim ke Laboratorium, Bogor, menunjukkan Damar positif EEHV.

“Jenis virus ini sangat susah diprediksi. Gejala tidak terlihat jelas bila hanya melihat dari fisik gajah, namun dapat menyerang dengan cepat pada anakan gajah,” kata Genman S Hasibuan, Kepala BBKSDA Riau, lewat rilis Humas Dian Indriati, beberapa hari lalu.

Selama ini, BBKSDA Riau bekerjasama dengan lembaga pegiat konservasi gajah berupaya keras mencegah dan antisipasi kematian satwa dilindungi itu. Melalui pengecekan medis secara rutin, pemberian obat, vitamin maupun penyediaan makanan yang bernutrisi.

 

Belum ada obatnya

Muhammad Wahyu,  Direktur Veterinary Society for Sumatran Wild Conservation (Vesswic), bilang,  hasil pengamatan mereka belum pernah menemukan kasus kematian anak gajah di Riau karena EEHV. Catatan terakhir, periode 2014-2016, di Tangkahan, Aceh; Aras Napal, Sumatera Utara, dan Pusat Konservasi Gajah (PKG) Way Kambas, Lampung.

Mengutip Kasus Elephant Endotheliotropic Herpes Virus | waykambas.org, kematian di PKG Way Kambas terjadi pada tiga gajah jinak dan satu gajah liar yang baru masuk. Gajah jinak positif EEHV, sebaliknya gajah liar justru negatif. Umur empat gajah kurang dari 10 tahun.

Hingga kini, EEHV masih jadi momok dan mengkhawatirkan dunia dalam menjaga populasi gajah karena paling sering menyerang anak di bawah umur lima tahun. Fenomena penyakit ini sebenarnya masih banyak belum diketahui para ahli. Hingga riset ke arah sana terus dilakukan.

Masih dalam laman waykambs.org, kasus EEHV pertama terdeteksi pada gajah Afrika, sekitar 1970. Gajah Asia pertama terkena virus ini terjadi di kebun binatang, Washington, Amerika, 1995. Dua tahun berikutnya diduga sudah masuk ke Asia. Baru 2006 di Elephant Sanctuary Cambodia. Setelahnya merembet ke Thailand, India, Nepal dan Myanmar. Lalu  menyebar ke Inggris dan Kanada.

Hingga saat ini, kata Wahyu, obat belum ditemukan. Vaksin belum tersedia. Para ahli terus mengembangkan metode perawatan. Meski tingkat keberhasilan relatif masih kecil di dunia, misal, pemberian plasma komvalesen atau cairan plasma yang sudah mengandung antibodi untuk membantu gajah terserang virus.

Virus ini, begitu cepat membunuh anak gajah, terutama yang baru lepas menyusu. Tandanya, diawali diare dan kelemahan umum karena tak mau makan. Lalu pembengkakan pada wajah, diikuti hemoragi atau petechiae pada selaput lendir. Bisa di bibir atau mukosa hidung.

Sejak mulai tertular, tiga sampai 12 jam kemudian langsung mati, terutama untuk EEHV sub tipe 1A. Pawang gajah bahkan dokter hewan sekalipun kerap kecolongan menghadapi situasi ini.

“Itu dari gejala klinis yang sudah ditunjukkan dengan tindakan perawatan. Biasanya cepat sekali, langsung diikuti dengan kematian,” jelas Wahyu, saat dihubungi, 6 Maret 2023, siang.

Para ahli, katanya, juga belum mengetahui pasti model penularan EEHV, sampai sekarang. Ia masih terus dipelajari.

Menurut Wahyu, formula terbaik untuk selamatkan populasi atau generasi gajah masih terus dicari. Karena vaksin belum ada, kapasitas dokter hewan dan pawang gajah untuk deteksi virus perlu ditingkatkan, seperti perawatan cepat atau darurat.

 

Damar, anak gajah yang mati Januari 2023 di Kampar, Riau. Foto: BKSDA Riau

 

Kerugian besar

Yuliantoni menyayangkan kematian anak gajah latih di camp flying squad Balai TNTN.  “Merupakan kerugian besar.”

Menurut dia, tempat latihan gajah jadi kebanggaan dunia konservasi karena berfungsi menambah populasi satwa dilindungi itu terlebih gajah tergolong lambat dalam urusan reproduksi.

Gajah melahirkan cuma satu kali dalam lima tahun. Satu induk betina, katanya,  hanya bisa melahirkan empat atau lima kali dalam siklus hidupnya. “Karena itu, kehilangan satu gajah sangat disayangkan.”

Yuliantoni tidak menampik kematian gajah jinak di TNTN memang banyak menyerang anak gajah. Yayasan TNTN punya pengalaman serupa, ketika anak gajah Vila, mati karena malnutrisi di camp flying squad yang mereka kelola. Vila, anak gajah dari induk Novi dan Dono yang didatangkan dari taman hiburan atau kebun binatang mini, Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara.

Novi dan Dono, sebenarnya gajah Riau. Keduanya ditangkap sekitar tahun 2000-an karena disorientasi. Dua gajah itu lalu dipindahkan ke kebun binatang Tajung Balai Asahan, setelah ada permohonan dari pengusaha, pemilik taman hiburan itu.

Waktu itu, katanya,  masih diizinkan karena populasi gajah Sumatera, khususnya Riau, masih terhitung banyak.

Ketika YTNTN didirikan, pengurus membutuhkan gajah jinak mengisi flying squad yang dibangun satu tahun kemudian, BBKSDA Riau menyarankan mereka mengecek kondisi Novi dan Dono di Tanjung Balai Asahan. Di sana, Novi melahirkan Vila. Namun, kata Yuliantoni, kondisinya waktu itu sangat memprihatinkan.  Gajah tanpa mahout, gembala di semak, bawah pohon kelapa.

Vila baru berumur lima bulan ketika dipindahkan kembali ke Riau dan dititipkan ke flying squad YTNTN bersama induknya. Belum lama beradaptasi, dia mati,  meski telah diberi vitamin dan obat cacing. Kini Dono sudah berumur 45 tahun, Novi 40 tahun.

Meski ditinggalkan Vila, Novi dan Dono memiliki Jambo, anak gajah yang diselamatkan di Desa Sering, bawah jembatan Pangkalan Kerinci, karena terpisah dengan induk.

Yuliantoni menduga, induk Jambo mati. Dua bulan sebelum menyelamatkan Jambo, kini usia 15 tahun, tim patroli YTNTN menemukan bangkai gajah jantan dan betina dewasa. “Jambo diputuskan ditangkap karena masih kecil dan belum survive dilepaskan ke alam liar.”

Catatan Yuliantoni, setelah kematian Vila, hanya ada dua anak gajah latih lagi mati di camp flying squad Balai TNTN. Masing-masing pada Mei dan November 2015. Keduanya berumur kurang dari tiga tahun.

Sejak itu, sebelum kejadian tahun ini, memang tidak ada kematian gajah dalam camp flying squad  kecuali anak gajah liar karena jerat. Secara keseluruhan, Yuliantoni menyimpulkan, lima tahun terakhir kematian anak gajah jinak maupun liar memang terdata nihil.

Sejalan dengan upaya Balai TNTN, Yuliantoni setuju, anak gajah latih di camp flying squad harus steril dari aktivitas manusia luar, jelang mereka dewasa. Sarannya, mahout yang sempat menangani Ryu, sementara waktu tidak kontak dengan gajah lain.

Exit mobile version