Mongabay.co.id

Gurita, Spesies Berumur Pendek Bernilai Ekonomi Tinggi

 

Gurita (Octopus cyanea) adalah komoditas penting bagi produksi perikanan Indonesia dan selalu menjadi komoditas utama untuk ekspor bersama cumi dan sotong. Ketiganya selalu bersaing dengan komoditas andalan lain seperti tuna cakalang tongkol dan rajungan kepiting.

Tiga kelompok komoditas utama ekspor itu, nilai produksinya terus mengalami perkembangan signifikan setiap tahun. Hal itu diungkapkan oleh Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (PDSPKP KKP) Ishartini belum lama ini.

Selain bernilai ekonomi tinggi, Gurita juga menjadi komoditas yang sudah menerapkan tata kelola perikanan dengan berkelanjutan. Namun, jika melihat saat ini, dari semua produk Gurita yang dikirim ke pasar dunia, baru 60 persen saja yang sudah menerapkan prinsip keberlanjutan.

Sisanya, sampai saat ini masih belum menerapkan tata kelola perikanan yang ramah lingkungan. Oleh karena itu, perikanan Gurita yang ada di Indonesia harus mulai berbenah untuk melakukan program perbaikan menuju perikanan yang berkelanjutan.

Walau menjadi komoditas unggulan, Gurita justru masuk dalam kelompok perikanan skala kecil yang ramah lingkungan. Cap tersebut disematkan, karena Gurita adalah hasil tangkapan nelayan yang kemudian dijual kepada pengepul di tingkat desa. Menariknya, Gurita akan ditentukan ukuran besar atau kecil oleh pengepul secara langsung.

Semua hasil tangkapan Gurita biasanya didapat melalui alat tangkap sederhana. Para nelayan yang fokus menangkap Gurita, banyak ditemukan di wilayah pesisir di sekitar Sulawesi. Itu kenapa, Pemerintah Indonesia fokus melaksanakan program perbaikan perikanan (Fisheries Improvement Program/FIP) Gurita di sana.

baca : Gurita dan Tantangan Tata Kelola Perikanan Skala Kecil di Makassar

 

Masyarakat adat Darawa melakukan pengelolaan wilayah tangkap gurita dengan model buka tutup kawasan sementara selama tiga bulan. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Direktur Pengelolaan Sumber daya Ikan KKP Ridwan Mulyana di Bogor, Jawa Barat, belum lama ini mengungkapkan bahwa FIP menjadi salah satu upaya perwujudan praktik dan pengelolaan perikanan berkelanjutan di Indonesia.

“Serta perwujudan kebijakan penangkapan ikan terukur yang menjadi prioritas KKP,” ucap dia.

Menurut dia, perikanan Gurita adalah salah satu komoditas ekspor perikanan Indonesia dan pengelolaannya harus dilakukan dengan tata kelola yang menjunjung tinggi prinsip tanggung jawab dan berkelanjutan.

Itu berarti, perikanan Gurita harus melaksanakan pengelolaan sumber daya ikan (SDI) dengan tidak hanya fokus untuk memenuhi kebutuhan generasi yang sekarang saja. Namun juga, fokus untuk generasi yang akan datang.

Untuk melaksanakan kegiatan FIP, lokasi yang dipilih adalah Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 713 yang meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali; 714 (yang meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda), 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau), dan 716 (perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera).

“Program ini dilakukan untuk mendukung pertumbuhan pasar global untuk makanan laut yang berkualitas tinggi dan berasal dari sumber yang bertanggung jawab atau responsibly sourced,” jelas dia.

baca juga : Berani Sukses Kelola Gurita Seperti Nelayan Wakatobi

 

Seorang nelayan penangkap gurita. Foto : Blue Ventures

 

Dalam melaksanakan kegiatan FIP Gurita, KKP menggandeng lembaga non Pemerintah lokal seperti Yayasan Pesisir Lestari (YPL), Yayasan Alam Indonesia Lestari (LINI), dan Sustainable Fisheries Partnership (SFP). Selain itu, terlibat juga komunitas-komunitas lokal di Sulawesi, bersama dengan peneliti/akademisi dan kalangan industri, terutama eksportir.

Program tersebut akan berjalan hingga 2027 mendatang, dengan harapan perikanan Gurita sudah mencapai tahapan yang diinginkan, yaitu berkelanjutan dan bermanfaat secara ekonomi untuk nelayan dan pelaku usaha.

 

Ekosistem Kritis

Fisheries Lead YPL Indah Rufiati pada kesempatan sama menjelaskan bahwa pentingnya mengelola perikanan Gurita, adalah karena perikanan yang dikelola secara lokal bisa menjadi salah satu upaya yang paling berkelanjutan dalam melindungi ekosistem kritis di laut.

“Seperti terumbu karang. Itu juga sekaligus mendukung mata pencaharian masyarakat luas,” terang dia.

Menurut dia, inisiatif seperti itu menunjukkan bahwa inisiatif yang dipimpin masyarakat bisa juga menghasilkan sesuatu yang positif dan bermanfaat besar karena itu bisa memenuhi standar internasional untuk keberlanjutan bahan pangan dari laut.

Dengan kata lain, masyarakat mengambil langkah sebagai perintis dalam melindungi perikanan Gurita dan mereka dinilai sangat pantas untuk mendapatkan pengakuan pasar serta manfaat jangka panjang yang akan dirasakan mereka sendiri.

Agar kegiatan FIP Gurita bisa berjalan baik, ada rencana aksi yang sudah disiapkan oleh tim. Meliputi penilaian status stok Gurita secara memadai sebagai referensi struktur populasi dan biomassa dengan tingkat kepastian yang tinggi. Hal itu berguna untuk meminimalkan ketidakpastian stok melalui data tangkapan dan upaya tangkap yang valid.

Kemudian, menyusun peraturan dan alat pengendalian pemanfaatan perikanan (harvest control rules and tools) yang kuat sesuai dengan strategi pemanfaatan perikanan yang diadopsi berdasarkan pendekatan Titik Hambatan Rekrutmen atau Point of Recruitment Impairment (PRI).

Selanjutnya, kegiatan rencana aksi meliputi pemantauan habitat untuk mengurangi dampak upaya penangkapan yang memengaruhi habitat dan komponen ekosistem penting. Misalnya, spesies hewan yang langka, terancam punah, dan dilindungi, serta untuk mengusulkan aksi pengelolaan jika diperlukan.

baca juga : Melihat Kesuksesan Sasi Gurita di Minahasa Utara

 

Dawir Muding menunjukkan gurita hasil tangkapannya. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Secara keseluruhan, ada tujuh aksi yang dilaksanakan oleh tim untuk mewujudkan rencana aksi FIP Gurita. Semua rencana aksi tersebut dilakukan untuk mewujudkan tata kelola perikanan Gurita bisa berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Untuk mendukung upaya tersebut, salah satu elemen penting adalah penggunaan alat penangkapan ikan (API). Tim saat ini sudah melakukan penilaian awal (pre assessment) berdasarkan standar penilaian untuk sertifikasi Marine Stewardship Council atau MSC untuk perikanan Gurita di empat WPPNRI yang menjadi lokasi pelaksanaan FIP Gurita.

Di empat WPPNRI tersebut, ada tiga API yang digunakan untuk menangkap Gurita. Keempatnya adalah pancing ulur (line), pemikat (lure), dan tombak (spear). Detailnya, lure dan line digunakan di perairan Sulawesi Tengah (714 dan 715), perairan Sulawesi Selatan (713), dan perairan Sulawesi Tenggara (713/714). Sementara, spear biasa digunakan di perairan Sulawesi Tenggara (713/714).

Lebih detail, Indah Rufiati menerangkan bahwa tata kelola perikanan Gurita pantas untuk diperbaiki, karena komoditas tersebut adalah hasil tangkapan utama nelayan kecil, termasuk perempuan. Menggunakan alat tangkap selektif, spesiesnya berumur pendek dan tumbuh cepat, serta masuk titik pengelolaan perikanan.

baca juga : Meski Eksportir Terbesar, Perikanan Gurita Indonesia Belum Berkelanjutan

 

Dedy, seorang nelayan tradisional penangkap gurita di perairan Pulau Siau, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Sulut. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Direktur Program SFP Dessy Anggraeni mengungkapkan bahwa lebih dari 60 persen ekspor Gurita Indonesia dikirim ke negara dengan permintaan berkelanjutan. Namun, persyaratan keberlanjutan di pasar ekspor sangat menantang bagi perikanan skala kecil.

“Di SFP kami sangat senang melihat dimulainya FIP di perikanan gurita skala kecil, yang merupakan sumber penghidupan dan pendapatan penting bagi banyak masyarakat pesisir,” tuturnya.

Direktur LINI Gayatri Reksodiharjo menyebut kalau pengelolaan Gurita dan konservasi habitat sudah dilakukan oleh kelompok nelayan di Sulawesi sudah sejak beberapa tahun yang lalu dan berdampak positif. Sedikitnya ada 35 proyek pengelolaan perikanan berbasis komunitas di area cakupan hampir 2.500 hektar perairan laut dengan keragaman biota dan terumbu karang.

“Pengelolaan ini menggunakan pendekatan penutupan sementara atau sasi,” papar dia.

 

 

Exit mobile version