Mongabay.co.id

Buku: Potret Persoalan Agraria di Pesisir Madura

 

 

 

 

Tambak  udang skala besar muncul dalam beberapa tahun belakangan ini menguasai pesisir Pulau Madura, lahan-lahan yang  menjadi ruang hidup masyarakat.  Warga melawan dan mempertahankan lahan pesisir mereka.Persoalan agraria muncul.

Konflik agraria yang bermunculan di Madura ini pun A Dardiri Zubairi tuliskan dalam buku kumpulan esai berjudul “Politik Agraria Madura.” Buku ini berisi tentang persoalan-persoalan agraria di Madura, terutama sejak investasi besar masuk mengeksploitasi lahan-lahan pesisir Sumenep.

Dardiri Zubairi, adalah kiai di Kecamatan Gapura, Sumenep, Madura, aktivis pergerakan era Orde Baru ini tak tinggal diam melihat kondisi ini. Dardiri aktif mengajak para kiai lain menolak atau menyikapi eksploitasi lahan di sepanjang pesisir Sumenep hingga menjadi gerakan.

Satu contoh, penolakan tambak udang besar-besaran di Desa Badur, Kecamatan Batu Putih, pada 2019. Hingga kini gerakan-gerakan rakyat itu masih hidup.

Dia juga aktif mengkampanyekan upaya mempertahankan lahan dan lingkungan di berbagai forum resmi atau perkumpulan di Sumenep kala isu  yang mengkhawatirkan muncul, seperti tambang fosfat.

Dardiri mencatat, setidaknya sejak 2016 eksploitasi lahan di Sumenep mulai marak. Pembangunan tambak udang besar-besaran di sepantai pantai Sumenep memarginalisasi masyarakat pantai terhadap lahan mereka.

“Orang yang tak mau menjual lahan, dibujuk dan dipaksa dengan berbagai cara, sampai menutup akses ke lahan-lahan warga,” kata Dardiri dalam bukunya.

 

Baca juga: Lahan di Sumenep Terkapling-kapling dari Tambak sampai Tambang Fosfat

A. Dardiri Zubairi, kiai di Kecamatan Gapura, Sumenep, Madura, aktivis pergerakan era menulis buku berjudul “Politik Agraria di Madura.” Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Satu kasus dia ceritakan,  dua perempuan –(Amma dan Azizah)–di Desa Andulang, Kecamatan Dungkek,  terus bertahan tak mau tidak menjual lahan kepada pengusaha.

Lahan pun terkepung lahan pengusaha yang sudah memborong tanah-tanah warga sekitar.

Dua perempuan itu punya lahan sekitar 1.450 meter persegi. Lahan milik mereka berada di antara 20 hektar lahan pengusaha. Mereka tidak mendapat akses menuju lahan.  Alhasil, lahan tidak bisa ditanami.

Mereka berdua dengan didampingi menantunya berjuang mendapatkan keadilan dengan mendatangi Komisi II DPRD Sumenep.  Mereka menuntut, akses menuju lahan dibuka dan tak tercemar limbah tambak udang.

Kejadian serupa juga terjadi di beberapa desa di Sumenep, seperti di Desa Lapa Daya, Kecamatan Dungkek. Warga kompak menolak kehadiran pengusaha yang menjarah lahan-lahan warga. Aparatur desa pun kompak menolak.

Mereka melawan atas kesadaran tentang pentingnya lahan sebagai ruang hidup mereka dan anak cucu. Kejadian itu pada 2016, dan terus berlangsung hingga kini.

“Jika ada sebagian  tanah lepas ke tangan investor, itu milik orang luar Desa Lapa Taman yang tanahnya ada di Lapa Taman,” cerita Dardiri.

 

Pantai Lombang yang rusak karena tambak. Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Mantan Rois Aam Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama ini bilang, pengusaha yang datang ke Sumenep ini tidak ubahnya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), perusahaan asal Belanda, yang datang ke Nusantara dulu dengan  maksud berdagang namun berakhir menjajah.

Pemerintah yang tak menangani masalah agraria dengan baik, katanya,  hingga makin memperburuk keadaan. Bahkan, pemerintah membuka diri lebar-lebar kepada investor di Madura, kendati telah membuat kerusakan di mana-mana.

Aktivitas penambangan dan tambak ilegal pun tidak ditindak secara tegas, hanya saling lempar tanggung jawab.

Muhammad Al-Fayyadl, pegiat lingkungan di Madura, dalam pengantar buku ini mengatakan, selain garam dan pertanian yang relatif dikenal di Madura, pegunungan kapur juga menyimpan kekayaan mineral yang menjadi arena tambang kecil-kecilan maupun sedang.

Madura, katanya, masuk pada fase neoliberalisasi, seiring pembukaan Jembatan Suramadu dan jalur-jalur perlintasan antar pulau dipermudah.

Penanda fase ini, katanya.  adalah privatisasi, pengalihfungsian sumber daya alam dan sumber-sumber ekonom negara di Madura ke tangan pribadi-pribadi.

“Di mana pun, sekali kapital diberi ruang masuk,  para pemodal tidak akan menyia-nyiakannya. Yang menjadi pertanyaan, tinggal ‘kapan’ dan ‘dimana’,” kata Al-Fayyadl.

 

Pengerukan lahan di Desa Badur, Batuputih, buat dibangun tambak udang. Foto: Moh. Tamimi/Mongabay Indonesia

*********

Exit mobile version