Mongabay.co.id

Dilema Pengusaha Tahu Rumahan, Pakai Limbah Plastik Sebagai Bahan Bakar Produksi

 

 

Kepulan asap keluar dari cerobong asap setinggi 4,5 meter, di sebuah industri pengolahan di Dusun Klagen, Desa Tropodo, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

Usaha milik Gufron ini adalah satu dari 40 industri tahu rumahan, yang masih bertahan pasca-pandemi COVID-19. Dia meneruskan usaha orangtuanya sejak 10 tahun lalu.

Naiknya harga bahan bakar pemanas ketel uap, berdampak pada biaya produksi tahu. Untuk menghemat pengeluaran, Gufron menggunakan limbah plastik sebagai bahan bakarnya. Sebelumnya, dia menggunakan kayu bakar.

“Sulit mendapatkan kayu dengan harga terjangkau,” ujarnya, awal Maret 2023.

Baca: Sampah Plastik Kemasan, Persoalan Lingkungan yang Harus Diselesaikan

 

Gufron menunjukkan tungku pembakaran berbahan sampah plastik untuk memasak tahu. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Dalam sehari, pengolahan tahu ini membutuhkan satu ton limbah plastik bungkus kopi. Harga satu kilogramnya Rp600, sementara kayu bakar Rp200.000. Namun, saat harga limbah plastik bungkus kopi ini, Gufron beralih menggunakan limbah plastik impor yang dibelinya di Desa Bangun, Kecamatan Prambon, Kabupaten Sidoarjo.

“Sudah delapan bulan pakai limbah plastik impor, tapi saya tetap mencampur dengan kayu bakar yang  lebih bagus panasnya dibandingkan plastik semata,” terangnya.

Gufron bukan tidak mengerti dampak pembakaran plastik bagi kesehatan dan lingkungan. Tidak adanya bahan bakar alternatif yang murah dan mudah dapat, membuatnya bertahan dengan kondisi ini.

“Kami sudah terbiasa dan sehat-sehat saja. Plastik digunakan untuk membuat api cepat menyala,” ujarnya.

Baca: Kurangi Sampah Plastik dengan Membangun Budaya Isi Ulang

 

Biji kedelai yang akan digiling dan diolah menjadi tahu. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Bahan bakar alternatif sebatas tawaran

Tawaran beralih dari limbah plastik ke bahan bakar ramah lingkungan pernah disampaikan kepada para pengusaha tahu di Desa Tropodo. Salah satunya, dari pemerintah yang menawarkan bantuan pengadaan ketel dengan kualitas tungku pembakaran lebih baik.

“Pernah ada musyawarah di balai desa, pemerintah akan membantu separuh harganya dari Rp120 juta. Tapi sampai sekarang tidak ada tindak lanjut. Pernah juga ada pembicaraan penggunaan biogas maupun tungku listrik induksi, namun semua hanya tawaran,” ujar Gufron.

Meski belum ada solusi bahan bakar terjangkau, Gufron masih bisa mendapatkan keuntungan tambahan dari menjual ampas tahu kepada peternak sapi, kambing, hingga bebek di sejumlah daerah.

“Keuntungan dari ampas tahu bisa sampai Rp1.300.000 sehari. Kalau hanya tahu cuma dapat Rp500.000 sehari,” tukasnya.

Baca: Ekspedisi Susur Sungai, Perjuangan Kaum Perempuan Bebaskan Sungai Surabaya dari Pencemaran

 

Proses mencetak tahu sebelum dipotong sesuai ukuran yang dikehendaki. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Stop plastik

Pengajar Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Jember, Anita Dewi Moelyaningrum, mengatakan limbah plastik tidak boleh dibakar sembarang, karena pembakarannya tidak sempurna.

Pembakaran yang tidak sempurna akan menghasilkan bahan berbahaya berupa cemaran gas, asap, dan debu, seperti karbon monoksida [CO], nitrogen dioksida [NO2], benzo a pyrena, polyaromatic hydrocarbon, serta dioksin dan furan.

Dioksin dan furan ini sangat berbahaya. “Sifatnya akumulatif, persisten, dan sangat toksik. Dapat menempel pada media lain di lingkungan, seperti udara, air, baju, dan makanan,” terang Anita.

Selain itu, mikroplastik yang dihasilkan dapat menjadi media pembawa bahan berbahaya lain. Senyawa ini masuk ke lingkungan manusia melalui kompartemen lingkungan, serta melalui rantai makanan.

“Dapat mempengaruhi kondisi kesehatan seseorang, seperti rusaknya saluran pernapasan, memicu kanker, gangguan sistem kekebalan tubuh, syaraf, hormonal, sistem reproduksi, juga mengakibat cacat janin,” papar Anita.

Baca juga: Cerita Aeshnina, ‘Duta’ Anti Sampah Plastik dari Gresik

 

Asap hitam keluar dari cerobong asap milik industri tahu rumahan di Desa Tropodo, Krian, Sidoarjo, Jawa Timur. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Survey kecil yang dilakukan Komunitas Nol Sampah di sebuah pasar moderen di Surabaya barat, menggambarkan jumlah kebutuhan kantong kresek sehari. Dari 145 pedagang, mereka membutuhkan 2 jenis kresek yaitu ukuran besar 964 helai dan ukuran kecil 3.400 helai. Bila dinominalkan, uang yang dikeluarkan itu mencapai Rp7 juta.

“Mengurangi kresek berarti mengurangi biaya yang mesti dikeluarkan, dan para pedagang tidak menyadarinya selama ini,” ujar Hermawan Some, Koordinator Komunitas Nol Sampah.

Hermawan mendorong para pengusaha tahu tidak lagi menggunakan limbah plastik sebagai bahan bakar. Ini dikarenakan dampaknya yang kurang baik bagi kesehatan dan lingkungan.

“Harapannya tidak ada lagi yang menggunakan limbah plastik untuk bahan bakar,” tandasnya.

 

Exit mobile version