Mongabay.co.id

Upiya Karanji, Songkok Mintu Khas Gorontalo

 

 

 

 

 

Hadjirah Abdullah, tengah sibuk memilah tumbuhan mintu . Dia dapatkan tumbuhan ini dari hutan berjarak sekitar lima kilometer dari rumahnya di Dusun Tomula, Desa Pulubala, Kecamatan Tibawa, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo. Tumbuhan ini dia keringkan di bawah sinar matahari seharian untuk jadi bahan baku upiya karanji, songkok khas Gorontalo.

Setelah kering, perempuan 74 tahun ini akan membelah disebut tumbuhan paku hata (nentu) ini menjadi beberapa bagian agar jadi pipih. Usai dibelah, mintu pipih dihaluskan dengan pisau, atau alat dari penutup kaleng bekas yang punya lubang besar sampai kecil.

Setelah saiap, baru dia mulai menganyam. Proses menganyam mulai dengan rotan yang diukur dengan mistar sekitar delapan cm.

“Pengukuran itu sebagai permulaan agar dapat menyatukan rotan dengan mintu. Tapi ukuran itu tidak jadi patokan, karena akan disesuaikan motif dan ukuran yang diinginkan,” kata Hadjirah kepada Mongabay, awal Maret lalu.

Motif songkok didapat dari belahan mintu yang jadi dua bagian. Warna putih dan coklat gelap. Mintu putih dililitkan ke rotan dan mintu coklat gelap akan diputar ke bagian luar hingga membentuk motif.

“Cara ini untuk menimbulkan motif gambar atau tulisan yang sudah didesain. Ada sebagian perajin yang sudah terbiasa tanpa pola, karena mereka sudah mahir membentuk pola atau gambar sendiri,” kata Hadjirah

Dalam satu ikatan kecil mintu, bisa membuat tiga upiya karanji. Dia bilang, harga songkok khas Gorontalo ini bervariasi, mulai Rp150.000 hingga Rp350.000 bergantung kehalusan anyaman.

Satu anyaman biasa dikerjakan sampai tiga hari. Hadjirah, bisa selesaikan hanya satu hari saja karena sudah ahli.

“Saya jadi perajin upiya karanji sejak berumur sembilan tahun,  sekarang 74 tahun.”

Untuk belajar bikin upiya karanji ini tak ada jadwal khusus tetapi perlu waktu dan kemampuan dengan berkeyakinan belajar mandiri.

“Anak saya tiga orang. Mereka semua saya ajarkan cara menganyam mintu jadi upiya karanji.”

 

Songkok Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Warisan

Upiya karanji merupakan peci atau songkok maupun kopiah sudah ada sejak lama. Upiya karanji ini kopiah keranjang atau peci yang identik dengan Suku Gorontalo.

Dalam kebudayaan Gorontalo, upiya karanji seringkali digunakan saat perayaan hari-hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad, Tahun Baru Islam, Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Basri Amin, peneliti sejarah sosial dari Universitas Negeri Gorontalo dalam tulisannya mengatakan, upiya karanji sudah ada sejak abad ke-17. Peci itu kerap digunakan Sultan Eyato,  yang memimpin Kesultanan Gorontalo yang berperan besar dalam islamisasi Gorontalo.

“Sultan Eyato senang memakai upiya karanji dan melalui dia upiya karanji hadir dalam sejarah Gorontalo,” tulis Basri.

Namun, pada abad ke-20, banyak perubahan. Nasionalisme bangkit, organisasi kebangsaan lintas-suku dan kelompok menguat. Pergaulan antar bangsa, terutama di benua Asia dan perjumpaan dengan Eropa juga meluas.

Saat itu, bangsa-bangsa India, Tiongkok, Arab, dan Eropa membawa pengaruh dalam pola berpakaian. Upiya karanji mulai ditinggalkan.

Hadjirah bisa dibilang sebagai pelopor atau orang yang mengabdikan diri melestarikan songkok khas Gorontalo ini.  Dia mulai bikin kerajinan mintu ini sejak 1967 atau sembilan tahun setelah lahir.

Sejak itu, perempuan berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTP) ini meluruskan tekad menjaga songkok khas Gorontalo tetap lestari.

Menurut dia, melestarikan upiya karanji merupakan amanah dari leluhur agar tak punah.

“Almarhum bapak saya yang mengajarkan saya membuat upiya karanji. Bapak saya berpesan, jika kita menjaga songkok khas Gorontalo ini, itu sama dengan dirinya tidak pernah mati.”

 

Hadjirah Abdullah, perajin upiya karanji dari Kabupaten Gorontalo jadi pemenang lomba cipta cenderamata pada 1990. Foto: dokumen Hadjirah Abdullah

 

Berbagi ilmu

Sejak 1976, Hadjirah menularkan ilmu, keterampilan dan pengalaman kepada masyarakat desanya, khusus ibu-ibu rumah tangga dan remaja putus sekolah. Mereka ini dibentuk sejumlah sekelompok hingga menjadi kelompok mitra usaha.

Dengan bantuan pemerintah saat itu, Hadjirah memfasilitasi mitra usaha yang dibuatnya bersama sejumlah masyarakat untuk pemasaran produk, promosi, dan dapat mengikutsertakan dalam pameran-pameran baik di tingkat lokal sampai nasional.

Alhasil, pada 1990, Hadjirah jadi pemenang kedua Lomba Cipta Cinderamata Khas Daerah Sulawesi Utara dengan produk upiya karanji dari Kantor Departemen Perindustrian Sulawesi Utara. Sejak itulah, anyaman mintu itu hidup kembali.

Presiden Abdurrahman Wahid sangat menyukai peci Gorontalo ini. Sebelum populer di kalangan masyarakat luas, Gus Dur sempat datang ke Gorontalo dalam kunjungan pribadi tanpa pengawalan. Kala di Gorontalo bertemu ulama, Gus Dur dapat hadiah upiya karanji.

Karena senang pakai upiya karanji, Gus Dur pesan beberapa melalui utusan istana yang datang ke Gorontalo. Hadjirah adalah orang yang menganyam upiya karanji pesanan Gus Dur.

Lama kelamaan, upiya karanji populer di kalangan santri dan berbagai pesantren di Indonesia. Permintaan banyak, produksinya pun terus meningkat setiap tahun.

Pada 2019, Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menetapkan upiya karanji atau kopiah keranjang sebagai karya budaya dari Gorontalo. Ia jadi warisan budaya tak benda.

Pada 2020, Rusli Habibie,  Gubernur Gorontalo jadikan upiya karanji kelengkapan pakaian dinas pegawai negeri sipil. Hal itu diatur dalam Peraturan Gubernur Gorontalo Nomor 2/2020 tentang Pakaian Dinas dan Atribut di Lingkungan Pemerintah Gorontalo.

 

Hadjirah Abdullah, perajin upiya karanji dari Kabupaten Gorontalo belajar menganyam dari ayahnya sejak usia sembilan tahun. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

Hutan tergerus

Sayangnya, dengan segala kepopuleran upiya karanji ternyata ada masalah cukup serius menghantui songkok khas Gorontalo itu. Ia terancam hilang karena hutan di Gorontalo makin menyusut. Hadjirah sangat dampak hutan perlahan berkurang ini.

Dia bilang, dahulu tumbuhan mintu bisa dicari di dekat rumah. Sekarang, harus menempuh perjalanan cukup jauh ke hutan agar bisa mendapatkan tumbuhan ini.

Bahkan, dia kerap kali harus ke wilayah kabupaten tetangga seperti Boalemo, dan Gorontalo Utara untuk mencarinya. Dia bilang, kondisi Gorontalo yang makin banyak perkebunan, terutama kebun jagung dan pemukiman warga, menjadi penyebab mintu makin sulit.

“Sekarang, sudah cukup kesulitan mencari mintu,  karena hutan juga makin jauh ke dalam,” kata Hadjirah.

Dini Hardiani Has, Dosen Manajemen Hutan di Universitas Satya Terra Bhinneka mengatakan, paku hata sulit karena penjualan kerajinan anyaman ini cukup tinggi, namun tidak diikuti upaya budidaya bahan bakunya.

Dengan begitu bisa sulit memenuhi kebutuhan bahan baku dari dalam hutan Gorontalo. Apalagi, hutan di Gorontalo makin tergerus karena banyak penambangan, pertanian jagung dan lain-lain.

Budidaya paku hata ini, katanya,  memerlukan media air dan di dalam laboratorium sampai fase menjadi bibit lalu mengeluarkan salur barulah pindah ke lapangan. Setelah paku hata bisa hidup di luar ruangan, baru dapat dibawa ke hutan untuk berkembangbiak dalam habitat asli maupun di luar.

“Berbeda dengan tumbuhan lain, paku hata ini memerlukan inang atau benda yang dapat membantu merambat dan hidup,” katanya.

Dalam budidaya ini, katanya, perlu keterlibatan para pihak dari pemerintah daerah,  institusi pendidikan atau universitas untuk mendampingi masyarakat dan memberikan arahan dalam budidaya agar berjalan.

“Diharapkan dengan ada domestikasi paku hata ini dapat jadi alternatif bagi perajin yang biasanya mengambil tumbuhan di dalam hutan hingga bisa mengurangi pemanenan di alam.

 

Upiya karanji, songkok dari tumbuhan paku hata (mintu) khas Gorontalo. Foto: Sarjan Lahay/ Mongabay Indonesia

 

*********

Exit mobile version