- Warga Desa Kasieh, Maluku, khawatir hutan adat tergusur jadi pertambangan marmer. Mereka pun merazia dan menghentikan aktivitas pekerja. Foto-foto dalam berita ini memperlihatkan hutan bertutupan lebat terbelah.
- Sejumlah pekerja termasuk operator alat berat, PT Gunung Makmur Indah (GMI) beserta alat beratnya warga minta keluar dari hutan. Mereka meninggalkan hutan adat. Aksi ini dipimpin Raja Negeri (kepala desa), saniri (BPD), serta para tetua adat Desa Kasieh, 10 Maret lalu.
- Sehari sebelum razia ke hutan adat, ratusan warga Desa Kasieh mendatangi rumah kepala desa. Massa terdiri dari anak-anak hingga orang dewasa ini protes di depan rumah Kepala Desa Kasieh, 9 Maret lalu. Aksi unjuk rasa ratusan warga ini sempat diwarnai kericuhan karena menginginkan kepala desa hadir di hadapan warga.
- Safi Masihoi, Tetua Adat Desa Kasieh mengatakan, aksi itu merupakan akumulasi kekecewaan terhadap pemerintah, dan protes yang dilayangkan semata-mata untuk membela hak ulayat mereka.
Khawatir hutan adat tergusur jadi pertambangan marmer, warga Desa Kasieh merazia dan menghentikan aktivitas pekerja. Sejumlah pekerja termasuk operator alat berat, , PT Gunung Makmur Indah (GMI) beserta alat beratnya diminta keluar dari hutan. Mereka meninggalkan hutan adat. Aksi ini dipimpin Raja Negeri (kepala desa), saniri (BPD), serta para tetua adat Desa Kasie, 10 Maret lalu.
Rombongan langsung mendatangi lokasi tambang di Petuanan Gunung Kasieh, Kecamatan Taniwel, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku. Aksi ini menindaklanjuti rapat bersama masyarakat yang digelar di Balai Desa Kasieh, 9 Maret lalu.
Sebelumnya, kedatangan mereka ke lokasi tambang sempat dihadang sejumlah aparat TNI dan polisi. Meski demikian, rombongan kepala desa ini tetap merazia dan menghentikan aktivitas para pekerja.
Saat tiba di lokasi, warga juga menemukan sejumlah alat berat yang sedang menggusur hutan untuk jalan dan camp perusahaan.
Warga langsung meminta operator alat berat menyetop aktivitas karena lahan yang digusur merupakan perkampungan leluhur. Hutan yang digusur juga berdekatan dengan perkampungan mereka.
Meski terlihat banyak aparat, namun warga bersikeras alat berat setop beroperasi.
Alhasil, berkoordinasi dengan perusahaan dan aparat keamanan, penggusuran hutan Kasih dihentikan. Sejumlah alat berat langsung meninggalkan lokasi penggusuran lahan.
Warga beri palang dan terus mengawasi lokasi penggusuran.
Asri Latulumamina, Kepala Desa Kasieh, mengatakan, peninjauan lokasi sesuai hasil musyawarah dengan masyarakat 10 Maret pagi. Dalam rapat, dia dituntut menghentikan aktivitas perusahaan di hutan adat Kasieh.
Menurut warga, kata Asri, perusahaan telah menyerobot lahan Desa Kasieh hingga mendekati petuanan kampung lama leluhur mereka.
Untuk itu, atas kesepakatan musyawarah dengan masayarakat, bersama dengan tokoh Adat dan BPD, Asri langsung turun ke lokasi penggusuran lahan hutan adat milik Desa Kasieh dan menghentikan aktivitas perusahaan yang tengah membongkar kawasan hutan adat milik mereka.
Setelah meninjau lokasi dan menyetop operasi alat berat di Petuanan Desa Kasieh, kata Asri, pihak desa meneruskan msalah ini ke pemerintah kecamatan sampai kabupaten.
Safi Masihoi, Tetua Adat Desa Kasieh mengatakan, aksi itu merupakan akumulasi kekecewaan terhadap pemerintah, dan protes yang dilayangkan semata-mata untuk membela hak ulayat mereka.
“Kami meminta pemerintah melihat masalah di sini. Pemerintah seakan mengabaikan kita selaku pemilik hak ulayat di Seram Bagian Barat. Dengan ada gunung marmer ini seakan-akan kita ditindas,” katanya.
Dia bilang, perusahaan tambang menyerobot hutan adat jadi mereka terpaksa melawan dengan razia dan mengusir pekerja beserta alat beratnya. Perkampungan leluhur, batu keramat, serta situs sejarah mereka pun di sana.
Masyarakat juga khawatir bencana longsor dan banjir karena aktivitas tak jauh dari perkampungan. Belum lagi, katanya, masyarakat hidup bergantung hutan, yang juga tempat kebun pangan warga di luar wilayah keramat.
Sebelumnya, dalam rapat, 14 September 2022, pemerintah desa dan BPD serta masyarakat Desa Kasieh bersepakat persoalan marmer dianggap selesai dan tak perlu diperbincangkan karena perusahaan tidak lagi beroperasi di Kasieh. Ternyata, perusahaan mulai buka jalan.
Datangi rumah kades
Sehari sebelum razia ke hutan adat, ratusan warga Desa Kasieh mendatangi rumah kepala desa. Massa terdiri dari anak-anak hingga orang dewasa ini protes di depan rumah Kepala Desa Kasieh, 9 Maret lalu.
Aksi unjuk rasa ratusan warga ini sempat diwarnai kericuhan karena menginginkan kepala desa hadir di hadapan warga.
Dari pantauan Mongabay di lokasi, warga melempari rumah kepala desa. Aksi ini untuk melampiaskan kekesalan mereka kepada kepala desa yang dinilai tak bertanggung jawab atas aktivitas tambang marmer di hutan adat Desa Kasieh.
Mereka protes kepala desa dan BPD karena dinilai lalai mengawasi perusahaan tambang hingga masuk ke hutan adat mereka.
“Kami menginginkan raja (depala desa) berkordinasi dengan perusahaan menghentikan seluruh aktivitas pertambangan marmer di hutan adat Negeri Kasieh,” kata seorang warga.
Warga kesal karena perusahaan tambang PT Gunung Makmur Indah masuk dan menyerobot hutan adat mereka.
“Desa Hulung hanya jadi pintu masuk menggusur jalan saja, tapi di dalam GPS itu terlihat jelas itu Kasieh bukan Desa Hulung. Jadi mereka semua menipu kita dan menerobos masuk sampai di hutan Batu Kasie,” kata Ucok.
Aksi makin memanas setelah Komandan Rayon Militer 1502/03 Taniwel mencoba membubarkan massa. Dengan suara lantang membubarkan warga di depan rumah kepala desa.
“Sapa (siapa) yang mau serang Hulung, sapa? Sapa yang jago di sini? Bubar samua,” kata Danramil sambil membawa sepotong kayu untuk membubarkan warga.
Merasa terintimidasi massa sontak mendatangi Danramil. Mereka meminta Danramil menarik omongan yang menyatakan warga mau menyerang.
“Jangan jadi provokator untuk adu domba masyarakat. Kami tidak menyerang saudara kami Desa Hulung. Kami hanya mencari Ketua BPD Desa Kasieh karena tdsak hadir dalam pertemuan ini,” kata seorang warga di hadapan Danramil.
Danramil di hadapan warga langsung meminta maaf.
“Maaf ini hanya salah paham, ” kata Danramil kepada warga.
Tak berselang lama, kericuhan terjadi di depan rumah warga. Seorang anggota BPD nyaris dihajar massa. Warga emosi karena menduga staf desa itu bersikukuh dukung perusahaan tambang. Staf desa diamankan pihak keamanan. Kericuhan berakhir.
***
GMI adalah perusahaan yang kini eksplorasi batuan marmer di Kecamatan Taniwel, Seram Bagian Barat dengan izin seluas 2400,15 hektar. Ia berlokasi di tiga wilayah, yakni Taniwel, Kasieh, dan Desa Nukuhai.
Dilansir dari Titastory.id, Bupati Seram Bagian Barat, M. Yasin Payapo mengeluarkan surat rekomendasi dengan nomor 543/035/251.1/2020/ tertanggal 22 Januari 2020 kepada Gubernur Maluku. Kemudian, Gubernur Maluku mengeluarkan surat keputusan persetujuan wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) Nomor: 93/2020 tertanggal 17 Februari 2020.
Dari situ, Gubernur Maluku mengeluarkan surat keputusan Nomor 93/2020, dan bupati mengeluarkan surat rekomendasi juga tertanggal 17 Februari 2020 tentang wilayah izin usaha.
Atas rekomendasi itulah, pada 12 September 2020, Masyarakat Adat Negeri Nukuhai dan Negeri Kasieh rapat negeri dan menggalang petisi dukungan kepada masyarakat adat soal penolakan pada GMI.
Dalam sidang analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) oleh Dinas Lingkungan Maluku, perwakilan Desa Taniwel dan Nukuhai tegas menolak pertambangan marmer. Perwakilan Desa Kasieh, saat itu dihadiri pejabat desa yang menerima tambang marmer.
********