Mongabay.co.id

Ditemukan Tinggal Tulang Belulang, Menyoal Kematian Harimau Surya Manggala

 

 

 

 

Awal Maret lalu, harimau Sumatera, Surya Manggala ditemukan sudah mati tersisa tulang belulang dan sebagian kecil kulit di  luar Taman Nasional Kerinci Seblat, dengan GPS collar masih melingkar di tulang leher.

Sampai pertengahan Maret, tak ada informasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan soal kematian harimau yang lahir di Suaka Barumun, Padang Lawas, Sumatera Utara ini walau bangkai sudah ditemukan awal Maret.

Anak-anak muda menamakan diri The Wildlife Whisperer Of Sumatra ini membongkar kebisuan kabar kematian harimau Sumatera yang baru lepas liar ke Taman Nasional Kerinci Seblat delapan bulan lalu ini.

Mereka memposting di Instagram tentang kabar duka kematian harimau Sumatera diberi nama Surya Manggala itu. Kabar duka ini mengejutkan banyak pihak. Terlebih lagi, saudara harimau Surya ini, Citra Kartini lahir di tempat sama dan lepas liar di Kerinci Seblat juga mati tak sampai dua bulan pasca lepas liar.

Surya dan Citra, lahir di Suaka Satwa Barumun di Padang Lawas, Sumatera Utara. Citra bersama saudara sedarahnya, Surya Manggala lepas liar di TNKS. Keduanya merupakan anak Monang, harimau korban jeratan di Desa Parmonangan, Tapanuli Selatan dan induk, si Gadis juga korban jeratan pemburu. Satu kaki Gadis harus diamputasi.

 

Baca juga: Cerita Harimau: Mati di Agam, Lepas Liar di Kerinci Seblat

 

Anak-anak muda menamakan diri The Wildlife Whisperer Of Sumatra ini membocorkan informasi Surya mati karena menilai jajaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyembunyikan kematian satwa terancam punah itu.

Arisa Mukharliza, Creative Campaign Director of The Wildlife Whisperer of Sumatra, mengatakan, ketika pelepasan sepasang harimau Sumatera yang lahir di eksitu ini, dipertontonkan dengan hiporia sukacita.

Ketika harimau tewas,  begitu senyap.

Dia bilang, pemerintah bisa bungkam tetapi alam bersuara dan bekerja. Ketika kabar ini tersebar, KLHK merasa kebobolan, maka harus intropeksi.

“Zaman makin berkembang, generasi muda sudah banyak yang meninggalkan diam. Masyarakat pun sudah lebih bijak dalam bersikap.”

Mereka ingatkan KLHK agar setop diam kalau ada kematian satwa.

“Jangan pernah takut salah. Setop memilih menghindar dan menutupi kematian satwa liar, apalagi ini satwa liar prioritas Indonesia. Jika di level pemerintah merasa ini kegagalan, libatkan scientist, jangan dicekal. Libatkan mitra berpotensi dan berpengalaman di bidangnya, hindari mendahulukan kekuasaan. “

Dalam World Wildlife Day 2023, Indonesia sepakat menjalankan kerjasama untuk konservasi satwa liar sesuai pesan hari besar konservasi dunia itu. Artinya, konservasi satwa liar bukan hanya pemerintah yang berhak bersuara dan mengambil keputusan.

“Seharusnya KLHK dan BKSDA bijak menyikapi kabar duka satwa liar. Bijaklah sebagai pemerintah untuk merespon isu dan pendapat publik, khusus suara-suara anak muda. Bosen dinilai salah terus? Jangan diam,” katanya kepada Mongabay 12 Maret lalu.

 

Baca juga: Kala Gadis Lahirkan Tiga Bayi Harimau, Berikut Videonya

 

Harimau Surya tinggal tulang. Foto: BBTNKS
Surya, tinggal tulang belulang saat ditemukan. Foto: BBTNKS

 

***

Hasil kajian The Wildlife Whisperer of Sumatra terkait kematian Harimau Surya berdasarkan temuan foto bangkai sesuai data BBTNKS dan keterangan pergerakan GPS collar yang terpasang dan aktif. Bangkai Surya ditemukan di luar taman nasional atau area penggunaan lain,  sekitar 250 meter dari taman nasional.

Arisa bilang, penjelasan BBTNKS dari pantauan titik koordinat GPS collar aktif, Surya terpantau menjelajahi puluhan kilometer sebagian besar di TNKS.

Seharusnya, kata Arisa, kematian Surya bisa jadi bahan kajian bagi KLHK, misal, harimau pakai GPS collar berarti ada alat pendeteksi untuk monitoring pergerakan dan aktivitas satwa. Kemudian, dari data digital GPS collar itu juga bisa melihat pola ruang jelajah (home range) harimau.

“KLHK harusnya bisa mendalami data GPS collar ini. Berapa luas total daya jelajah yang dikuasai oleh Surya selama berada di TNKS?”

Semestinya, KLHK berani mengumumkan kematian Surya ini dengan pesan pósitif dan membangun edukasi kepada publik. Misal, dari data digital itu bisa terlihat di mana Surya menghabiskan waktu berhenti lama, apa yang dilakukan di titik koordinat itu.

“Mengapa Surya ada di lokasi itu.  Kemana lagi Surya melanjutkan jelajahnya? Dari tiap pergerakan titik koordinat GPS collar pun dapat memberi informasi pola aktivitas Surya selama berada di kawasan hutan.”

Dari temuan fisik harimau Surya oleh BBTNKS pada 1 Maret lalu, kondisi tinggal tulang belulang.  Informasi dari BTNKS, data digital GPS collar memperlihatkan pergerakan Surya 20 Februari 2023, ada yang aneh, Gerakan melambat, dan jarak pendek-pendek.

Dari pantauan titik koordinat GPS collar, Surya hanya bergerak belasan meter. Setelah hari berikutnya,  titik koordinat kembali memberi informasi kalau gerakan Surya tak ada perubahan signifikan.

Diamati dari kondisi fisik, BBTNKS memperkirakan Surya sudah mati selama kurang lebih 10 hari dengan masih meninggalkan bau menyengat dan tulang, sebagian kulit di area leher, pundak dan kepala.

Kalau dilihat dari keterangan gambar beserta GPS collar masih terpasang di leher.

“Pertanyaannya,  pergerakan Surya yang melambat ditemukan pada 20 Februari itu, mungkinkah sebenarnya Surya sudah mati?  Bagaimana jika kondisi fisik ini dikaji atau diteliti dari medis? Sepuluh hari harimau mati, secepat itukah tubuh terurai? Jika Surya dimakan satwa liar lain dalam keadaan mati, ini pun bisa jadi studi untuk KLHK menganalisis ekosistem hutan TNKS,” katanya.

 

Baca juga: Belum Lama Lepas Liar di Kerinci Seblat, Harimau Citra Ditemukan Mati

Senja bersama Gadis, bersama dua anaknya, Surya dan Citra di BNWS. Kini, Surya dan Citra, sudah tewas setelah lepas liar di TN Kerinci Seblat.  Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Jika tubuh Surya habis karena bakteri dan mikroba, selain turut dipengaruhi kadar kelembaban tanah dan lingkungan, dokter hewan, praktisi mungkin bisa menjawab ini soal fisik terurai menyisakan tulang dan sebagian kulit dengan kematian yang diprediksi  sekitar 10 hari.

Haidirr, Kepala BBTNKS ketika dikonfirmasi 14 Maret mengatakan, selama berada di TNKS, pergerakan Surya terus dipantau. Dari pemantauan GPS collar di lehernya, terlihat pergerakan cukup dinamis keluar masuk taman nasional.

Selama delapan bulan pasca lepas liar, Surya terpantau telah membuat pola jelajah sendiri. Baru pada 20 Februari 2023,  tim yang memantau GPS menditeksi pergerakan predator puncak ini makin melambat sampai 24 Maret makin melemah.

Dia memutuskan membentuk tim dan mengecek ke lokasi. Pada 28 Februari 2023,  tim bergerak ke titik koordinat GPS Surya lalu 1 Maret tim menemukan Surya sudah mati tinggal tulang belulang serta GPS collar masih terpasang di leher.

Tim membawa bangkai Surya ke Kantor BBTNKS.

Untuk penyebab kematian, kata Haidir, masih menunggu hasil nekropsi tim medis. “Kita masih menunggu hasil nekropsi tim dokter hewan. Belum diketahui penyebab kematiannya, nanti ada pemeriksaan lebih lanjut. Seluruh bangkai ini sudah kita bawa ke kantor dan disimpan di sana untuk pengembangan lebih lanjut, ” katanya.

 

Harimau Surya, saat lepas liar di TNKS. Foto: dokumen BBTNKS

 

Jadi pembelajaran

Harray Sam Munthe,  Direktur Eksekutif Yayasan Alam Liar Sumatera, mengatakan, kematian Citra dan Surya,  anak harimau Sumatera yang lahir di Barumun ini karena ketidaksiapan rilis.

Citra tewas tidak sampai dua bulan setelah lepas liar. Harimau betina ini memiliki ruang jelajah sempit atau teritorial terbatas dibandingkan harimau jantan.

Surya punya ruang jelajah cukup luas dan mampu bertahan lebih lama sekitar delapan bulan di Taman Nasional Kerinci Seblat. Nasibnya tragis juga ketika ditemukan tinggal tulang belulang dan  sebagian kecil kulit masih ada.

Kalau dikaji dari bangkai,  mustahil Surya mati kurun 10 hari. Karena tinggal tulang belulang,  estimasi kematian antara empat atau lima bulan lalu.

“Ini disebabkan karena ketidakmampuan bertahan hidup, banyak faktor untuk itu. Selain itu,  ketidaklayakan rilis juga faktor lain.”

Dia pernah berkunjung ke Barumun dan mendapat informasi kalau kedua harimau ini belum pernah menjalani beberapa fasilitas atau penyediaan pelatihan untuk penilaian apakah layak lepas liar atau belum.

 

Tengkorak Surya. Foto: BBTNKS

 

Dia mempertanyakan para ahli yang menangani kedua harimau ini.  “Apakah sudah pernah melihat langsung di alam liar bagaimana proses mulai dari breeding hingga melahirkan anak harimau yang kuat dan mampu bertahan di habitat aslinya.”

Kegagalan lepas liar ini, katanya, harus jadi pembelajaran bagi banyak pihak terutama para ahli,  akademisi dan pihak-pihak lain yang merekamendasikan dan menjamin kedua anak harimau Sumatera ini bisa bertahan hidup di alam liar.

Saat ini,  kata Harray, ada dua lagi anak harimau lahir di Barumun. “Segeralah buat pelatihan meskipun dianggap terlambat.”

Fasilitas-fasilitas harus dibangun, katanya, hingga harimau tidak ditempatkan di dalam ruang terbatas atau pelatihan tidak maksimal.

Jangan sampai saat harimau rilis ke alam liar, katanya, kejadian serupa seperti menimpa Citra dan Surya,  terulang.

KLHK, katanya, harus mengulang kajian soal harimau Sumatera yang lahir di eksitu dan akan lepas liar ke alam.  “Tidak hanya melibatkan ahli dan para akademis perguruan tinggi saja tetapi orang-orang yang berpengalaman nyata melakukan kegiatan di alam. Ini penting agar ke depan pelepasliaran harimau eksitu bisa sukses.”

 

Gadis, induk Citra dan Surya, usai bermain di kolam. Kolam ini diberi ikan hidup, guna menjaga naluri alam harimau ini. Foto: Ayat S Karokaro

 

 

*******

 

 

 

Exit mobile version