Mongabay.co.id

Hutan Mangrove Teluk Bintuni, Paru-paru Dunia yang Terluka

 

 

 

 

Muhami Refideso  mengurangi laju perahu dan menepi. Moncong longboat berbahan fiber itu dia arahkan ke batang mangrove yang tegak sebagai tambatan. Roy Marthen Masyewi berdiri di bagian depan, sigap mengikat badan perahu bermesin dua ini agar tidak hanyut terbawa arus sungai.

“Lihat itu. Menganga seperti lapangan bola di tengah hutan,” kata Roy, pemuda adat Wamesa Teluk Bintuni, Papua Barat, sembari bergegas turun menuju hutan mangrove yang gundul, 9 Desember lalu.

Mereka melihat sekeliling. Pepohonan bakau di hutan itu tinggal tunggak yang mulai mengering. Lokasi ini masuk dalam blok tebangan rencana kerja tahunan (RKT) 2021 PT Bintuni Utama Murni Wood Industries (BUMWI) di Pulau Amutu Besar, Distrik  Babo, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat.

Tak kurang dari lima kali luas lapangan sepak bola hutan mangrove gundul di areal itu. Tak terlihat pohon tegak, meski hanya sebesar betis orang dewasa.  Tampak tanah lumpur bekas alat berat menumbangkan sampai dan mengumpulkan kayu-kayu tebangan. Potongan tali baja terputus berserakan.

Kalau menggunakan tenaga manusia, kata Refideso, lazimnya tebang pilih pohon mangrove. “Sejak dua tiga tahun terakhir, mereka membawa masuk alat berat ke lokasi penebangan,” katanya.

Pepohonan mangrove terbabat,  namun di lokasi dengan titik koordinat -2o34’27”, 133o31’56” ini tak terlihat penanaman kembali bibit pengganti pohon yang ditebang. Padahal, penanaman kembali bibit mangrove sebagai ganti pohon yang panen merupakan kewajiban perusahaan. Itu tertuang dalam izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam (IUPHHK-HA) yang terbit dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sebagai eks karyawan BUMWI bagian persemaian, Refideso paham benar bagaimana proses rehabilitasi di lahan bekas pemanenan ini. Sebelum penebangan, ada tahapan kegiatan tebang pilih tanam Indonesia (TPTI) termasuk inventarisasi tegakan tinggal (ITT). Hal ini, katanya, bagian dari teknik sistem silvikultur yang banyak digunakan di HPH.

 

 

Inventarisasi tegakan tinggal ini, adalah pencatatan dan pengukuran pohon serta permudaan alam pada areal tegakan tinggal untuk mengetahui komposisi jenis, penyebaran dan kerapatan pohon, jumlah dan tingkat kerusakan pohon inti. Maksud dari ITT, katanya, untuk mengetahui jumlah, jenis dan mutu pohon inti maupun permudaan yang rusak. Juga untuk mengetahui lokasi dan luas areal terbuka pada petak kerja setelah penebangan.

Menurut Refideso, hasil dari ITT itu kemudian jadi dasar menyiapkan berapa banyak bibit harus ditanam sesuai luas lahan dan jarak tanam. Bila praktik sesuai petunjuk pelaksanaan, maka hasil akan sesuai, dan efek yang ditimbulkan sangat sedikit menyebabkan kerusakan.

“Tapi kalau dari yang torang saksikan di lokasi ini, sangat mungkin tidak ada ITT. Penanaman kembali juga tidak ada. Kelihatan jelas sekali,” ujar Refideso.

Indikasi tidak ada penanaman kembali di areal bekas penebangan mangrove terlihat di Pulau Amutu Kecil. Dari sejumlah lokasi bekas tebangan Petak 376, penanaman bibit mangrove sebagai pengganti tegakan hanya di jalan masuk ke lokasi.

Pada koridor selebar 10 sampai 20 meter yang jadi akses keluar gelondongan batang bakau, terlihat bibit mangrove ditanam teratur. Ketika masuk ke lokasi, yang terlihat hanyalah bibit mangrove yang tumbuh di sela-sela akar pohon induk.

“Ada tumbuh kecil-kecil terlihat, itu pertumbuhan alami. Kalau penanaman dari perusahaan, jarak diatur sesuai program. Kalau tidak beraturan itu alam,” kata Refideso.

 

Tunggak kayu mangrove yang tersisa di lokasi Blok Tebangan RKT Tahun 2021 PT BUMWI di Pulau Amutu Besar, Distrik Babo Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Foto diambil pada Jumat, 9 Desember 2022.. Foto: Tantowi Djauhari/ Mongabay Indonesia

 

Jimmy W. Susanto, Kepala Bidang Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Dinas Kehutanan Papua Barat mengatakan, perusahaan yang tak reboisasi di areal bekas pemanenan bisa masuk kategori pelanggaran UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).

Sulfianto Alias,  Ketua Perkumpulan Panah Papua, menyayangkan,  penebangan mangrove di Pulau Amutu Kecil. Dia perkirakan, penebangan BUMWI ini rentang Februari-Juni 2018 dan berlanjut hingga kini.

Dia mengatakan, hal ini jauh dari cita-cita pemerintah pusat dan daerah melindungi kawasan pesisir dan pulau kecil  di Papua Barat melalui kebijakan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K).

Apalagi, kata Sulfianto, Amutu Kecil, masuk pulau kecil. Dia bilang, ada sekitar 13.000 pulau di Indonesia, hanya 0,2% pulau besar. Yang masuk kategori pulau kecil, kata Sulfianto, adalah daratan kurang dari 200.000 hektar. Pulau Amutu Kecil luas sekitar 1.161 hektar. Penebangan mangrove di Amutu Kecil, katanya, rawan abrasi dan bisa menghilangkan pulau.

Data Global Forest Watch, pada 2018,  di Pulau Amutu Besar dan Amutu Kecil– operasi BUMWI–, muncul peringatan kehilangan tutupan pohon sebanyak 3.858 pohon.

“Seharusnya BUMWI tidak memilih Pulau Amutu Kecil untuk pemanfaatan mangrove. Masih banyak areal lain yang cukup luas untuk dimanfaatkan,” katanya.

 

Tunggak kayu mangrove yang tersisa di lokasi Blok Tebangan RKT Tahun 2021 PT BUMWI di Pulau Amutu Besar, Distrik Babo Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Foto diambil pada 9 Desember 2022. Foto: Tantowi Djauhari/ Mongabay Indonesia

 

BUMWI punya izin HPH atau sekarang disebut perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) seluas 82.120 hektar di Teluk Bintuni. Perusahaan ini memproses kayu mangrove jadi chip kayu untuk memenuhi kebutuhan pasar pulp & paper di Asia.

Selain produksi serpihan kayu, BUMWI disebut juga mendorong konservasi dengan memastikan habitat spesies dilindungi, seperti kuskus gray (Phalanger orientalis) dan walabi dusky (Thylogale brunii), terjaga.

Konsesi BUMWI merupakan bagian dari sekitar 257 ribuan hektar hutan mangrove di Teluk Bintuni. Hutan mangrove di daerah ini sekitar 52% dari luas hutan mangrove Papua Barat  sekitar 2,25 juta hektar, atau 8,92% mangrove di Indonesia.

Mengutip www.globalforestwatch.org, dalam kurun waktu 2000-2022, Teluk Bintuni kehilangan 41,1 hektar pohon atau mengalami penurunan 2,1% atau pelepasan 32,6 Mt emisi CO2.

BUMWI, sebagai konsesi perusahaan hutan alam pertama di Papua yang menerima sertifikasi forest stewardship Councilc (FSC). Ia merupakan pengakuan pengelolaan hutan lestari dari lembaga internasional. Dari 31 konsesi hutan di Indonesia, yang mengantongi sertifikasi penuh FSC sekitar 2.028.655 hektar, enam area hutan bersertifikat control wood seluas 2.695.840 hektar.

“Ini konsesi hutan pertama di Papua yang mendapatkan sertifikasi itu,” kata Muljadi Tantra, Deputi Direktur BUMWI kepada media awal November 2015.

Kaharuddin, staf BUMWI,  tak bisa menjelaskan ketika ditanya mengenai kondisi di lapangan, termasuk tak ada penanaman kembali di area bekas tebangan dan sepinya aktivitas di tempat persemaian.

BUMWI, katanya,  menghentikan operasional sejak Juni 2022, karena alasan pasar tak ekonomis.  Perusahaan merumahkan sebagian karyawan, termasuk tenaga teknis.

Operasional perusahaan, kata Kaharuddin, mulai meredup sejak 2020. Kendati demikian, PT Sarbi International Certification (Sarbi), Lembaga Penilai Independen asal Bogor yang mengaudit kinerja BUMWI, memberikan predikat baik dengan total nilai kinerja 88%.

“Sekitar 70% karyawan dirumahkan, setelah pengiriman (wood chip) terakhir,” kata Kaharuddin, saat dihubungi 12 Januari 2023.

 

Lokasi persemaian bibit mangrove di Base Camp PT BUMWI yang sudah kosong, tidak ada aktivitas. Foto diambil pada 23 November 2022. Foto: Tantowi Djauhari/ Mongabay Indonesia

******

 

Exit mobile version