Mongabay.co.id

Cara Desa Adat Guwang Kelola Sumber Air

 

 

 

 

 

Satu mobil dengan para turis asing masuk area obyek wisata petualangan sungai dan tebing Hidden Canyon Guwang, Gianyar, Bali.  Dari depan sudah ada pengumuman obyek wisata sedang tutup sementara.  Sopir sudah melihat papan penutupan namun mencoba konfirmasi ke pengelola. Benar saja, area tutup sementara untuk turis.

Hujan deras pada 23 Februari lalu itu membuat aliran Sungai Tukad Wos di Desa Guwang,  deras dan berwarna cokelat. Pengelola obyek wisata petualangan menyusuri sungai dan tebing Hidden Canyon Guwang. Mereka  harus menutup lokasi wisata alam alternatif di Sukawati, Kabupaten Gianyar ini sementara.

Pengelola tak mengizinkan masuk sungai karena dari hasil pengukuran air dan deras arus, dinilai tidak aman. Situasi ini kerap terjadi, pengelola pun harus selalu mengecek kondisi air sungai setiap saat. Kalau ditutup, akan disampaikan di akun medsos.

Walau sedang tak bisa menelusuri sungai, pengunjung bisa mengamati dari sejumlah titik yang disiapkan seperti kebun dan restoran Hidden Garden. Sebelum memasuki kawasan hijau dengan banyak pohon besar dan taman ini, kita akan menikmati panorama sawah dan gugusan gunung. Berjalan kaki di jalur tracking tengah sawah.

Di kawasan ini terlihat sumber mata air utama Beji Guwang yang menghidupi warga. Warga jadikan kawasan ini sakral dengan membangun pura sekitar sumber air, dinamakan Pura Beji Guwang. Beji adalah istilah untuk lokasi sumber air yang disucikan, misal, untuk sarana sembahyang tirta, tempat penyucian, dan lain-lain.

Beberapa tahun ini, sumber air Beji Guwang ini juga jadi pasokan air bersih melalui program pengelolaan air berbasis masyarakat ke sejumlah rumah penduduk yang belum terakses PDAM dan diolah untuk jadi air minum galon dan kemasan.

 

Air Toya Beji yang dikelola Desa Adat Guwang, Bali. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Jalan setapak menuju pancuran sebelas atau pancoran solas tidak terlihat karena air sungai meninggi. Dari seberang sungai,  Pura Beji ini nampak indah. Ada satu pura berdampingan dengan tempat melukat (pembersihan) di pancuran. Area ini di kelilingi pepohonan hijau di tebing sungai.

Air keluar dari bawah tanah, terus menerus, hingga pancuran terus mengeluarkan air. Air yang tidak dimanfaatkan ini langsung masuk sungai. Pancuran inilah yang jadi penanda volume air di Beji ini.

Ketut Karben Wardana,  pemimpin Desa Adat Guwang (Bendesa Adat), mengatakan,  mulai 2017 pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KPUPR) menyarankan pemanfaatan sumber air untuk kebutuhan lebih luas. Karena selama ini hanya untuk kebutuhan yadnya atau kegiatan spiritual di pancuran atas dan mandi di pancuran paling bawah.

Air bersih dinilai banyak terbuang dan bisa dimanfaatkan. Akhirnya,  dinaikkan ke atas, lalu diolah jadi air minum yang bisa dibeli dengan galon isi ulang atau dikemas botolan. Setelah itu, desa adat memutuskan menyediakan infratruktur distribusi ke rumah-rumah warga.

Untuk memasarkan air isi ulang dari Pura Beji ini, desa adat bersiasat meyakinkan warga dengan penjualan air dan galon murah Rp20.000.

Kualitas air, katanya,  juga dicek rutin oleh jasa laboratorium. Hasil uji ini dipasang di depan Unit Pengolahan Toya Beji, jenama air isi ulang ini. Hasil pemeriksaan per 9 Maret 2022 menilai, unsur fisika termasuk bau, warna, total zat padat terlarut, kekeruhan, rasa, suhu.

“Sangat bermanfaat selain sumber tirta juga air minum karena murah. Kami akan melestarikan karena juga dibeli warga luar desa,” kata Karben soal pengembangan unit usaha Badan Usaha Desa Adat ini.

Cara pelestarian, katanya,  dengan menjaga kebersihan dan kerindangan tutupan karena dipakai melukat, air minum, dan mandi di pancoran bawah. Otomatis, hal ini dilakukan pengelola Hidden Canyon karena di areal sama.  Para pemandu memastikan tak ada sampah plastik setiap hari dan ada penanaman pohon.

Juga ada penelitian debit air, untuk memastikan keberlanjutan. Menurut Keben, secara kasat mata tidak pernah habis karena pancuran terus mengeluarkan air. Namun, pernah terjadi pancuran minim air saat kemarau panjang sekitar 2020.

Mereka menempuh cara niskala dengan ritual, upacara agama Mendak Nuntun Toya agar air kembali mengalir deras. Dia mengatakan, setelah ritual, beberapa hari kemudian pancuran kembali menumpahkan air.

 

Sumber air utama Pura Beji Guwang. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Endapan material vulkanik

Ada juga Hidden Canyon, obyek wisata lain di desa ini. Ia mulai dicari turis setelah seorang warga Perancis mempublikasikan video hasil petualangan menyusuri bibir sungai, tebing-tebing yang indah, dan bebatuan besar menutup sebagian sungai.

Dia membuat judul Hidden Canyon untuk menunjukkan ngarai tersembunyi nan indah yang berhasil dilaluinya. Warga desa juga tertarik menyusuri karena sebelumnya lokasi ini diyakini tenget, istilah di Bali untuk daerah yang tidak boleh diusik. Ini bisa disebut kearifan lokal melestarikan alam agar tidak tereksploitasi manusia.

Salah satu simbol tenget ini adalah Batu Keled, merujuk dua batu besar yang mengapit sungai, hingga sulit dilalui manusia. Hanya pemancing bernyali, berani ke area ini.

I Made Yoga Antara, Manajer Hidden Canyon mengatakan, wisata petualangan Hidden Canyon ini mulai disiapkan 2015. Tidak ada perubahan lansekap, hanya disiapkan pemandu warga sekitar, manajemen pengelolaan, dan jasa layanan. Kehadiran pemandu dinilai sangat penting karena mereka yang mengetahui jalur, area berbahaya, berbagi informasi, dan titik-titik menarik seperti kolam a la jaquzi di tebing sungai.

 

Tebing menyempit di aliran Sungai Tukad Hidden Canyon Guwang. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Pemandu, semua warga desa ini awalnya bekerja sukarela, sampai akhirnya jadi staf Hidden Canyon makin populer dan ada tarif masuk khusus. Mulai 2023, tarif Rp240.000 utuk warga negara asing (WNA), ada potongan 25% untuk WNI jadi Rp180.000 perorang. Turis mendapatkan minuman selamat datang, handuk, pemandu, dan makan siang.

Rata-rata kunjungan saat low season antara 30-40 orang, pada high season lebih 50 orang per hari. Berkah alam ini, katanya,  memberikan dampak langsung pemberdayaan ekonomi warga lokal, kontribusi ke desa, desa adat, kelompok subak, dan edukasi DAS.

Para peneliti dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral meneliti kawasan ini dan membuktikan DAS  ini adalah jalur erupsi Gunung Batur yang pernah tiga kali meletus hebat selama hampir 30 ribu tahun. Gunung ini masih aktif.

Sisa material erupsi 29 ribu tahun lalu masih nampak di sejumlah lokasi seperti di tebing DAS Guwang atau lokasi Hidden Canyon, juga di hulu seperti di Air Terjun Tegenungan, sampai hilir Pantai Ketewel.

Rute penelusuran Hidden Canyon mulai dari Pura Beji dan susur sungai sekitar 700 meter ke utara. Di sini, ada tiga ngarai, salah satunya jalur kering ke arah sawah. Total rute panjang sekitar 3,7 km, bisa ditempuh dalam dua jam. Kalau hendak memperpendek jalur, juga ada rute lebih pendek. Menelusuri kawasan yang bisa ditempuh sekitar 20 menit dari Kota Denpasar ini cukup lengkap, bisa menikmati ekosistem berbeda seperti sungai, sawah, dan hutan.

Tantangan mengelola sungai adalah memastikan kebersihan dan kemanan. Pengelola juga mengajak memilah sampah agar sungai tak lagi jadi halaman belakang tempat buang sampah. Mereka juga membuat biopori dan menyebar eco enzym ke aliran sungai.

 

 

 

 

*********

 

Exit mobile version