Mongabay.co.id

Peluang Meneliti Bajing Kelapa Masih Terbuka Lebar

 

Sebagai mamalia darat yang mempunyai peran penting sebagai penyeimbang dan kesehatan ekosistem hutan, keberadaan bajing kelapa perlu untuk diteliti lebih lanjut. Sebab, referensi satwa yang memiliki nama latin Callosciurus notatus ini masih belum banyak.

Hal itu diungkapkan Anang Setiawan Achmadi, Kepala Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Menurut dia, bajing kelapa merupakan satwa yang mempunyai daya tarik tersendiri baik itu secara fisik maupun populasinya di setiap daerah. Terlebih, masyarakat umum juga masih banyak yang mengira bahwa bajing itu sama dengan tupai (Scandentia).

Padahal, kedua satwa ini memiliki perbedaan yang mencolok. Ditingkatan ordo, bajing dan tupai berasal dari ordo yang berbeda. Bajing kelapa berasal dari ordo Rodentia, sementara tupai berasal dari ordo Scandentia.

Tetapi, corak keduanya yang mirip dan habitatnya yang sama membuat masyarakat awam seringkali menganggap kedua hewan ini sejenis.

baca : Bajing Kelapa, Si Gesit ‘Pembantu’ Regenerasi Hutan

 

Berdasarkan pantauan dari internet, saat ini masyarakat juga mulai banyak yang tertarik ternak atau budidaya bajing kelapa. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Secara morfologi internal, kata Anang, bajing kelapa mempunyai karakter gigi seri yang “tonggos” panjang, modelnya seperti taring.

Selain itu, ciri utama gigi bajing kelapa yaitu rumpang atau bercelah antara gigi seri dan gigi geraham. Sedangkan secara morfologi eksternal, satwa yang masih satu famili dengan tikus ini memiliki karakter kepala bulat, moncongnya pendek dan warna bulu coklat kehitaman.

Sementara pada bulu bagian bawah berwarna coklat orange atau kehitaman. Kemudian ekornya lebat dan tebal.

“Di Indonesia persebaran bajing kelapa ini masih umum dijumpai. Menariknya di setiap daerah itu mempunyai variasi yang berbeda-beda,” terang Anang.

 

Referensi Masih Terbatas

Sejauh ini, lanjut Anang, referensi terkait dengan populasi bajing kelapa juga masih terbatas. Kebanyakannya penelitian dilakukan di hulu belum sampai ke hilir. Artinya, penelitian tentang jumlah populasi, distribusi spasial atau penyebaran secara spasial masih belum ada.

Begitu juga dari sisi ilmu ekologi dan reproduksi behavior rupanya masih belum banyak diteliti. Selain itu, kata dia, berdasarkan pantauan dari internet, saat ini masyarakat juga mulai banyak yang tertarik ternak atau budidaya bajing kelapa. Sehingga aspek domestifikasinya ini menarik untuk dipelajari.

“Jadi, peluang untuk meneliti bajing kelapa ini masih terbuka lebar untuk anak muda, terutama bagi mahasiswa. Belum lagi terkait dengan pemanfaatannya yang berpotensi dijadikan obat,” jelasnya.

baca juga : Mengapa Bajing Endemik Kalimantan Ini Memiliki Ekor yang Aneh?

 

Di alam bajing kelapa mempunyai peran penting sebagai penyeimbang dan kesehatan ekosistem. Namun, keberadaanya juga mengalami tekanan karena perburuan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Bukan hanya itu, menurut Anang, anggapan bajing kelapa sebagai hama juga perlu dibuktikan secara ilmiah. Apakah kondisinya sedang over populasi, ataukah sumber pakannya di hutan sudah banyak yang berkurang.

Kemungkinan ada sebab terganggunya rantai makanan dalam satu ekosistem menjadi tidak seimbang, penyebabnya bisa jadi dari alam atau disebabkan oleh manusia.

“Kalau tidak diatur dengan manajemen yang baik arahnya juga bisa ke kepunahan,” kata Anang.

Sementara itu, Muhammad Nichal Zaki, alumni mahasiswa UIN Yogyakarta yang pernah menulis skripsi tentang Studi Anatomi dan Histologi Organ Urogential Bajing Kelapa Jantan (Callosciurus notatus Boddaert, 1785) saat dihubungi mengatakan, mengingat spesies bajing kelapa ini hanya terdapat di kawasan Asia Tenggara meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand sehingga kajian mengenai organ urogentialnya masih sangat jarang dilakukan.

Ia sendiri merasa kesulitan saat mencari refrensi saat penelitian tentang bajing kelapa. Di Indonesia, terutama di daerah perkebunan hewan ini masih dianggap sebagai hama. Ekspansi lahan, katanya, masih sangat mempengaruhi populasinya.

Sehingga spesies ini menurut International Union for The Conservation of Nature and Natural Resource atau IUCN sudah masuk ke dalam kategori Least Concern.

“Untuk itu, pengkajian tentang struktur anatomi dan histologi organ urogential penting dilakukan sebagai salah satu langkah awal konservasi,” jelasnya, Senin (27/02/2023).

baca juga : Rimbang Baling, Oase Bagi Spesies yang Terancam

 

Bajing kelapa merupakan satwa yang mempunyai daya tarik tersendiri baik itu secara fisik maupun populasinya di setiap daerah. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Belum Prioritas

Saat dihubungi, Dosen Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor, Prof. Ani Mardiastuti mengatakan, ada dua faktor yang menyebabkan mamalia pengerat ini kurang dilirik mahasiswa sebagai bahan penelitian.

Pertama, karena di Indonesia sendiri memiliki banyak sekali flora dan fauna. Untuk satwa bajing saja jenisnya banyak, begitu juga dengan tupai.

Kedua, minimnya penelitian tentang bajing kelapa karena satwa ini belum termasuk spesies prioritas. Meskipun begitu, keberadaan bajing kelapa penting sebagai pendukung ekosistem hutan. Selain itu, berguna juga untuk edukasi. Sehingga menarik untuk diteliti.

“Sejauh ini belum ada mahasiswa saya yang melakukan penelitian tentang bajing. Mungkin isunya juga masih kalah seksi dengan satwa lain seperti harimau, gajah, orang utan,” ujar dia, Senin (13/03/2023).

Sejalan dengan itu, lanjut dia, penelitian tentang satwa-satwa yang status konservasinya sangat kritis itu juga ada pendanaanya. Seperti lembaga di bawah IUCN yang sudah lama membuka peluang pendanaan untuk spesies tertentu yang statusnya sudah kritis.

Itupun tidak banyak yang mengajukan. Walaupun demikian, Prof Ani sangat terbuka jika ada mahasiswanya yang ingin melakukan penelitian tentang bajing kelapa.

baca juga : Satwa Liar Terus jadi Sasaran, dari Jual Hidup, Awetan sampai buat Kerajinan

 

Perburuan bajing kelapa marak karena selain sebagai hewan peliharaan, dagingnya juga dipercaya bisa menjadi obat. Sementara bagian kulit dan kepala dibuang setelah disembelih. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Bagi Prof Ani, karena saat ini masyarakat banyak yang menjadikan bajing kelapa sebagai hewan peliharaan. Sehingga menurutnya aspek perdagangannya ini menarik untuk diselidiki.

“Mari kita pelajari sebelum satwa-satwa yang ada di Indonesia ini punah. Jangan sampai kita berfikiran karena spesiesnya masih banyak lalu kemudian tidak diteliti,” tegasnya.

Sebenarnya, jelasnya, bukan hanya bajing kelapa saja yang kurang dikaji, banyak juga spesies-spesies lain di Indonesia yang juga kurang diteliti.

 

 

Exit mobile version