Mongabay.co.id

Biang Kerok Banjir dan Longsor di Batam, Bagaimana Benahinya?

 

 

Banjir dan longsor melanda Kota Batam, Kepulauan Riau, awal Maret lalu menyebabkan satu orang meninggal dunia. Longsor dan banjir ini dinilai makin parah. Data Pemerintah Kota Batam menyebutkan, titik banjir pun terus bertambah. Sementara penyebab utama banjir di Batam, disebutkan dari perubahan tutup lahan akibat pembangunan, kesadaran membuang sampah hingga akibat air pasang laut.

Pada 4 Maret lalu, Amir sedang asik memancing di bawah tebing di belakang gedung perusahaan di Batam. Seketika tanah dari tebing itu runtuh dan menimbunnya. Dua jam baru Amir bisa dikeluarkan dari tanah longsor. “Dalam perjalanan ke rumah sakit meninggal dunia,” ujar Mori, warga Batam.

Pada 2 Maret lalu, longsor juga terjadi di Kavling Tanjung Buntung Baru, Kecamatan Bengkong, Batam. Kala itu hujan melanda dua hari berturut-turut. Warga kaget tanah di tebing yang berdekatan dengan rumah warga bergerak.  Tanah bekas bukit dipotong ini longsor sekitar 21 meter.

“Dulu ini bukit, setinggi tower itu ada bukitnya, pohon semua, sejak beberapa tahun belakangan dikeruk,”  kata seorang warga.

 

Banjir di Batam. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Dalam waktu sama longsor terjadi di beberapa titik lain, termasuk menyebabkan jalan utama di Pulau Galang Batam terputus, begitu juga di Bukit Kemuning Tanjung Piayu, belakang SMA 21 Batam, maupun di Jalan S Parman Tanjung Piayu.

Sejak beberapa tahun belakangan, longsor belum pernah separah ini di Kota Batam. Titik juga tak sebanyak pada akhir Februari lalu. Selama ini,  hanya titik-titik banjir yang menggenangi jalan dan perumahan warga kalau hujan.

Yumasnur, Kepala Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Batam, kepada Mongabay

mengatakan, sekitar 50 lebih titik banjir di Kota Batam. “Setiap tahun kita update, memang ada pertambahan (titik banjir),” katanya.

Untuk data titik longsor,  katanya, ada di Dinas Perumahan Rakyat, Permukiman dan Pertamanan Kota Batam.

Batam tidak memiliki Dinas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Melihat banyak kejadian bencana, katanya,  pemerintah bergerak cepat bikin peraturan daerah (perda) untuk membentuk BPBD.

 

Warga menyaksikan banjir yang mengenangi jalan utama mereka. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Penyebab banjir

Yumasnur mengatakan, ada tiga penyebab banjir di Kota Batam. Pertama, perubahan tata guna lahan. Dulu, di lahan itu ada hutan, kemudian jadi industri dan perumahan sesuai perkembangan kota.

“Dulunya, daerah resapan kemudian kita bangun, tentu air hujan di daerah resapan air ini akan meluncur kemana-mana,” katanya.

Dia berharap, ke depan perusahaan yang membangun menyiapkan sistem drainase supaya tak menimbulkan dampak lingkungan seperti banjir. “Batam ini ada pembangunan, tentu ada dampak, kita tidak melarang membangun, pemerintah, pengembang dan masyarakat harus sama-sama menjaga,” katanya.

Kedua, kurangnya kesadaran masyarakat membuang sampah. Masih banyak buang sampah sembarangan hingga drainase tersumbat. “Begitu juga kesadaran masyarakat yang  menutup drainase, seperti ditutup untuk membangun jalan masuk ke rumahnya. Tidak apa-apa buat jalan masuk, tapi jangan semua ditutup, harus tetap dibuka agar air drainase tetap mengalir.”

Ketiga,  Batam merupakan daerah kepulauan hingga rawan terdampak pasang surut air laut. Banjir besar di Batam awal Maret juga karena air hujan tidak mengalir ke laut, karena saat bersamaan air laut sedang pasang.

“Ada kawasan di Batam ini dataran rendah, air laut masuk ke darat, ya back water-lah, air darat tidak bisa mengalir laut, air laut naik ke darat, itulah kondisi umum di Batam, kita harus sama-sama menjaga,” katanya.

 

Seorang warga menerjang banjir yang terjadi di Batam beberapa waktu lalu. Foto: Yogi Eka Sahputra/ Mongabay Indonesia

 

Yumasnur mengatakan, Pemerintah Kota Batam mempunyai kewajiban mengatasi masalah banjir ini. Apalagi,  Dinas BMSDA yang memiliki alat berat sudah berupaya keras menangani banjir dengan cara normalisasi drainase. “Alat berat kita sekarang ada 12, kalau banjir semua turun.”

Pemerintah Batam, katanya, selain normalisasi drainase, juga akan akan membangun kolam retensi. “Kolam yang sudah ada kita pertahankan,” kata Yumasnur.

Pemerintah Batam juga mempertimbangkan bikin biopori. Merujuk di beberapa daerah membangun biopori di bawah jalan raya hasilnya tak efektif. Malahan membuat konstruksi pondasi jalan jadi lemah dan rusak.

Namun, katanya, tak tertutup kemungkinan biopori jadi solusi. Saat ini,  Pemerintah Batam terus mengevaluasi langkah ke depan mencari solusi banjir ini.

Teguh Paripurno,  Koordinator Program Studi Magister Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional Nasional (UPN) “Veteran” Yogyakarta mengatakan, pemerintah bisa membuat biopori, membangun embung, hingga kolam retensi untuk mengatasi masalah ini. Selain itu, terus berupaya memperbaiki alam yang rusak.

Membangun biopori, katanya,  tidak perlu di lahan khusus tetapi bisa di bawah lapangan parkir atau di halaman yang luas. Tentu perlu perhitungan matang terkait volume air yang akan diresapkan. “Harus seimbang, air yang dikeluarkan atau air yang akan diteruskan ke dalam biopori.”

Melihat kondisi Batam, kata Teguh,  tampak alam tidak sanggup lagi menampung air hujan.  Untuk itu, harus ada upaya teknis seperti membuat biopori tadi, begitu juga dengan membangun embung, kolam retensi, dan lain-lain.

Dia juga memberikan solusi terkait banjir yang disebabkan air laut pasang. Salah satu solusi, katanya,  pemerintah harus membangun tembok di sepanjang sungai yang mengalirkan air darat ke laut.

Sungai itu, katanya,  dibangun menyesuaikan agar air dari darat turun ke laut lebih tinggi dari air pasang. Jadi, meskipun volume hujan besar dan berbarengan dengan air pasang, air tetap mengalir ke laut. “Semua itu perlu kajian khusus,” katanya.

 

 

 

*******

Exit mobile version