Mongabay.co.id

Menakar Pajak Karbon

Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan terhadap pembelian barang yang mengandung karbon atau kegiatan yang menghasilkan emisi karbon. Sementara perdagangan karbon (carbon trading) adalah kegiatan jual beli kredit karbon (carbon credit), dimana pembelinya adalah pihak yang menghasilkan emisi karbon yang melebihi kuota atau target emisi yang ditetapkan, baik oleh Pemerintah atau ditetapkan sendiri secara sukarela.

Satu unit kredit karbon setara dengan pengurangan emisi 1 ton karbon dioksida (CO2). Kedua instrumen tersebut kini telah menjadi trend baru di banyak negara untuk mengendalikan tingkat emisi gas rumah kaca (GRK), dan pada beberapa kasus untuk memperoleh tambahan pendapatan bagi pemerintah.

Bulan lalu, tepatnya tanggal 22 Februari 2023, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meluncurkan peraturan baru tentang perdagangan karbon untuk subsektor pembangkitan tenaga listrik. Untuk tahun 2023 ini, perdagangan karbon akan meliputi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berkapasitas di atas 25 MW. Dengan peraturan ini, setiap PLTU yang termasuk dalam katagori ini akan diberikan sejumlah kuota emisi yang disebut Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi untuk Pelaku Usaha (PTBAE-PU) sesuai dengan rencana emisi masing-masing PLTU dan acuan yang ditetapkan.

 

Jual Beli Emisi Karbon di PLTU

Jumlah PTBAE-PU ini akan menentukan tingkat emisi GRK paling tinggi yang dapat dilepaskan setiap unit PLTU dalam suatu periode tertentu, dalam hal ini tahun 2023. Di awal tahun 2024, PLTU tersebut kemudian harus menyerahkan kembali PTBAE-PU sejumlah realisasi emisi yang dilepaskannya pada tahun 2023.

Artinya, PLTU yang operasionalnya “kotor” alias tidak efisien akan kekurangan PTBAE-PU dan harus mencari tambahan dari luar. Sebaliknya, PLTU yang “bersih” alias lebih efisien akan punya kelebihan PTBAE-PU yang dapat dijual. Maka akan terjadi perdagangan karbon yang pada prinsipnya memberikan disinsentif buat PLTU yang “kotor” dan insentif bagi PLTU yang “bersih”.

baca : Implementasi Pajak Karbon di Tahun 2022, Antara Rencana dan Tantangan

 

Kompleks PLTU I Indramayu, Jabar yang asap batubara dari operasionalnya berdampak negatif terhadap pertanian dan kesehatan warga setempat. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Sistem perdagangan karbon seperti ini telah cukup dikenal dan diterapkan di banyak negara, diawali oleh Uni Eropa pada tahun 2005. Indonesia adalah negara Asia Tenggara pertama yang menerapkan sistem ini dalam kebijakan nasionalnya. Di Asia, kita bisa melihat sistem serupa telah diterapkan, khususnya di China dan Korea Selatan. Di Korea Selatan, sistem serupa tidak hanya mencakup pembangkit tenaga listrik tetapi juga beberapa sektor industri dan penerbangan domestik.

Kebijakan ini menempatkan Indonesia dalam klub jurisdiksi yang telah menerapkan instrumen kebijakan nilai ekonomi karbon (NEK) yang menurut laporan Bank Dunia (2022) telah mencapai 68 instrumen kebijakan, dan melingkupi 23% dari emisi gas rumah kaca global.

Kita patut memberikan apresiasi bahwa pendekatan inovatif dan berbasis pasar seperti ini sekarang dapat diterapkan pemerintah pasca diterbitkannya Peraturan Presiden No. 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Namun perlu dicatat bahwa tujuan sebenarnya bukan sekedar jual beli karbon tetapi mendorong pelaku usaha untuk lebih efisien dan bersih dalam melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi GRK.

Bagi masyarakat yang peduli dengan dampak perubahan iklim bagi keberlanjutan perikehidupan generasi mendatang, inisiatif Kementerian ESDM telah memberi angin segar bahwa pemerintah sekarang tidak lagi menganggap emisi GRK sebagai angin lalu yang bisa dilepaskan semena-mena sehingga harus dianggap serius oleh pelaku usaha karena emisi GRK sekarang punya nilai ekonomi dalam operasional perusahaan.

Di tahap awal ini kita tidak perlu menjadi obsesif dengan berapa harga yang akan terbentuk, jumlah perdagangannya, dan sebagainya. Kita cukup bersyukur bahwa sinyal yang tepat telah diberikan Pemerintah untuk mengendalikan tingkat emisi GRK dan berharap perbaikan terus menerus ke depannya dapat dilakukan tanpa segan.

baca juga : Mencermati Peluang dan Tantangan Pajak Karbon di Indonesia

 

Panorama di sebuah kawasan industri dengan asap pekat emisi karbondioksida yang mengotori udara. Foto : shutterstock

 

Quo Vadis Pajak Karbon

Di hari yang sama dengan terbitnya Peraturan Presiden No.98/2021, terbit pula Undang-Undang No.7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Salah satu yang diatur Undang-undang ini adalah pajak karbon. Dengan lantang, pasal 13 ayat 1 UU No.7/2021 tersebut menyatakan bahwa pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Tarif pajak karbon batas bawah pun ditetapkan sebesar Rp30.000 per ton karbondioksida.

Lebih lanjut dalam pasal 17 dinyatakan bahwa ketentuan pajak karbon ini mulai diberlakukan pertama kali terhadap badan yang bergerak di bidang PLTU batubara dengan tarif Rp30.000 per ton karbondioksida per tanggal 1 April 2022. Namun entah mengapa, semua tahu bahwa mandat tersebut belum dilakukan oleh Pemerintah dan ditunda sampai waktu yang belum ditentukan.

Kami tidak akan berpura-pura menjadi ahli hukum tata negara yang mungkin dapat dengan mudah memahami mengapa amanat undang-undang kok tidak dilakukan oleh pemerintah. Namun ijinkan kami berpura-pura mewakili masyarakat yang peduli akan dampak perubahan iklim bagi keberlanjutan kehidupan generasi mendatang, dan ingin menyemangati Pemerintah agar dapat lebih serius melaksanakan kebijakan pajak karbon.

baca juga : Pajak Karbon dan Harapan Pembangunan Indonesia Berkelanjutan

 

Ilustrasi. Rambu pajak karbon. Foto : shutterstock

 

Nikmat apa lagi yang kau dustakan

Mengingat jadwal dan pendekatan pelaksanaan pajak karbon untuk PLTU sudah tercantum jelas-jelas dalam batang tubuh dan penjelasan UU No.7 tahun 2021, logika non ahli hukum kami berbisik mungkin tidak diperlukan berbagai aturan turunan yang jelimet untuk mandat yang terang benderang ini, cukup aturan ad hoc untuk PLTU batubara. Tarifnya sendiri relatif rendah, lebih rendah dari yang diterapkan di Chile, Kolombia, dan Argentina misalnya. Kewajiban pajak bisa pula dikurangi dengan keikutsertaan dalam perdagangan karbon. Bagi calon wajib pajak karbon, nikmat apa lagi yang kau dustakan?

Sekali lagi, tidak perlu menjadi obsesif dengan detil seperti berapa pendapatan pajak yang akan didapat, dampaknya terhadap ongkos produksi listrik, dan sebagainya, apalagi dampaknya terhadap ongkos operasional Ditjen Pajak. Masyarakat tidak akan peduli bilamana ternyata beban pajak karbon bagi PLTU setelah memperhitungkan perdagangan karbon yang dilakukan ternyata sama dengan nol. Yang penting sinyal menuju efisiensi yang telah ada dapat terus ada bahkan diperkuat. Yang penting kita tidak malu dan segan untuk melakukan perbaikan kebijakan ke depan.

Semoga!

 

 

*Doddy S. Sukadri. Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau. Tulisan ini merupakan opini penulis

 

 

Exit mobile version