Mongabay.co.id

Hari Hutan Internasional, WALHI Sulsel: Deforestasi dan Degradasi Lahan di Sulsel di Tingkat Serius

 

Provinsi Sulawesi Selatan memiliki luas wilayah daratan kurang lebih 5.332.257 hektar. Dari luasan tersebut terdapat sekitar 2.610.060 hektar adalah kawasan hutan. Namun, kondisinya saat ini tidak sedang baik-baik saja. Deforestasi dan degradasi lahan terus terjadi.

Dari deforestasi dan degradasi lahan yang terjadi maka dari tiga daerah aliran sungai (DAS) yang terpenting di Sulawesi Selatan, yaitu: Jeneberang, Saddang, dan Walanae, sudah rusak parah. Tutupan hutan di tiga DAS itu sangat minim, dimana masing-masing tidak mencapai 30 persen dari luas DAS.

Tutupan hutan di DAS Saddang adalah 17,09 persen, Walanae 14 persen, dan Jeneberang 16.82 persen. Kurangnya tutupan hutan di suatu DAS akan meningkatkan bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan.

“Dampak dari kondisi ini, sepanjang tahun 2021 ada banyak bencana alam yang terjadi di ketiga DAS ini. Degradasi di wilayah tutupan DAS ini mengakibatkan daya dukung dan daya tampung tidak bisa memenuhi,” jelas Slamet Riadi, Kepala Departemen Advokasi WALHI Sulsel.

Mengacu data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sejak tahun 2015 – Mei 2021, bencana banjir, tanah longsor, dan kekeringan di Sulawesi Selatan telah mengakibatkan 162 orang meninggal, 251 luka-luka, dan 14 orang dinyatakan hilang.

Selain itu bencana ekologis ini juga merusak 130.716 rumah dan menghancurkan 2.252 rumah, ini belum termasuk berbagai fasilitas umum. Jumlah korban terdampak bencana ekologis selama 5 tahun terakhir mencapai 885.751 orang.

WALHI Sulsel pun menilai PT. Vale merupakan salah satu perusahaan pertambangan nikel yang menjadi pelaku deforestasi terbesar di Kabupaten Luwu Timur. Luas hutan yang hilang di konsesi milik PT. Vale Indonesia Tbk. mencapai 16.138 hektar, terdiri atas 6.031 hektar hutan primer dan 10.107 hektar hutan sekunder selama 1 dekade (2009-2019).

“Laju perubahan tutupan hutan di area konsesi pertambangan nikel adalah seluas 5.475,18 hektar hanya dalam kurun waktu 4 tahun sejak 2016 hingga 2020,” terang Slamet.

Dalam kajian WALHI Sulsel, di Kabupaten Luwu Timur pemerintah telah mengeluarkan izin pinjam pakai kawasan hutan seluas 9.711,77 hektar untuk pertambangan nikel kepada PT. VALE, PT. Citra Lampia Mandiri dan PT. Tiga Samudra Perkasa.

 

Banjir bandang di wilayah Walmas Kabupaten Luwu 3 Oktober 2021 lalu menyebabkan kerusakan yang cukup parah, mengakibatkan 4 orang meninggal dunia, 771 kepala keluarga atau 3.084 jiwa terdampak kerugian materiil. Dok: WALHI Sulsel

Baca juga: Hutan Sulsel Terancam Illegal Logging, Tambang dan Tata Kelola yang Buruk

 

Kajian Spasial Hutan Tersisa di Sulsel

Berdasarkan kajian peta digital spasial  tutupan hutan Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh tim JURnaL Celebes. Di tahun 2019 tutupan hutan tersisa adalah 1.342.058 hektar, terbagi atas 540.110,49 hektar hutan primer dan 801.947,79 hektar hutan sekunder.

“Data ini menunjukkan, meskipun wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan hutan mencapai 2,6 juta hektar, ekosistem yang masih berupa hutan hanya separuhnya, 1,3 juta hektar,” ungkap Direktur JURnal Celebes Mustam Arif.

Hasil kajian spasial juga menunjukkan bahwa 65 persen atau 868.026,91 hektar dari total luas ekosistem hutan di Sulawesi Selatan terkonsentrasi di dua kabupaten, yaitu Luwu Utara dan Luwu Timur.

“Ini menjadi warning bagi daerah yang memiliki tutupan hutan rendah yang memiliki daerah dataran tinggi. Hutan di dataran tinggi adalah kunci keselamatan bagi masyarakat di daerah dataran rendah terkait tanah longsor, keamanan dari ancaman bencana banjir,” tambah Mustam.

Mustam pun turut mendesak agar pemerintah dapat bertindak tepat dalam memastikan keberlanjutan ‘hutan terakhir’ di wilayah utara Sulawesi Selatan.

 

Aksi WALHI Sulsel peringati Hari Hutan Internasional 2023 di depan Kantor Gubernur Sulsel menuntut pemerintah menindak tegas pelaku deforestasi. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

Baca juga: WALHI Sulsel: Penghentian Kasus Pendudukan Kawasan Hutan Lindung di Toraja Utara Janggal

 

Peringatan Hari Hutan Internasional

Dalam setahun terakhir, salah satu kasus yang mencuat di Sulawesi Selatan adalah pendudukan hutan Pongtorra oleh oknum anggota DPRD Kabupaten Toraja Utara yang hingga kini tidak ada kejelasannya, serta sejumlah kasus perizinan pertambangan.

Hal ini menjadi sorotan WALHI Sulawesi Selatan dalam aksinya di depan kantor Gubernur Sulawesi Selatan dalam rangka memperingati Hari Hutan Internasional, Selasa (21/3/2023) lalu.

“Kami meminta kepada Pemda Sulsel agar tegas kepada setiap pelaku perusakan hutan, termasuk oknum anggota DPRD Toraja Utara yang melakukan pendudukan Hutan Lindung Pongtorra,” ujar Manajer Perlindungan Ekosistem Esensial Hutan WALHI Sulsel, Fadel.

Selama parade, WALHI Sulsel meminta pemerintah untuk mengambil tindakan nyata dalam melindungi hutan dan menghentikan deforestasi yang terjadi di Sulawesi Selatan.

Fadel pun menyebut, aksi tersebut dilakukan untuk meminta dukungan dan mengingatkan semua orang bahwa hutan memiliki fungsi ekologis penting yang menjamin kesejahteraan masyarakat. “Kami meminta kepada Gubernur untuk menghentikan pemberian izin pertambangan di seluruh kawasan hutan Sulawesi Selatan,” pungkasnya.

 

***

Foto utama: Ilustrasi hutan di Sulawesi. Foto: Rhett Butler/Mongabay

Exit mobile version