Mongabay.co.id

Was-was Stigma Pembunuh, Warga Adat Tobelo Dalam di Dodaga Protes Tindakan Polisi

 

 

 

 

 

Puluhan warga Dusun Tukur-Tukur, Desa Dodaga, Halmahera Timur, Maluku Utara—merupakan Masyarakat Adat Tobelo Dalam–,  menghadang dan mengusir sejumlah anggota kepolisian dari Polres Halmahera Timur, Kamis (23/3 23) sore yang mendatangi Dusun Tukur-tukur untuk mencari dan menangkap warga yang dituduh membunuh. Situasi sempat memanas, dan nyaris ricuh setelah anggota polisi nekat memasuki pemukiman. Dari rekaman video amatir terlihat warga histeris.

“Saya sebagai pemimpin gereja, saya tahu, saya pe (punya) anggota jemaat tidak bunuh orang. Saya hamba Tuhan di sini, saya tahu pa watak mereka, kita bisa bersumpah di atas Alkitab dan Alquran,” teriak Paulus Hipo, pemimpin Jemaat Kristen Dusun Tukur-tukur.

Emosi warga makin tak terbendung. Seorang anggota polisi nyaris dihajar massa beruntung langsung meninggalkan permukiman.

Informasi dari Polres Haltim menyatakan, penangkapan berdasarkan laporan warga atas pembunuhan terhadap Talib Muhip warga Desa Gotowasi, Kecamatan Maba Selatan, Halmahera Timur, Maluku Utara,  pada Oktober 2022.

AKBP Setyo Agus Hermawan, Kapolres Haltim dalam jumpa pers 27 Maret lalu mengatakan, kasus pembunuhan terjadi di kebun saat Talip sedang mengolah kopra. Saat kejadian Talib bersama beberapa keluarganya. Yang lain melarikan diri,  Talib meninggal dunia.

“Kejadian itu langsung dilaporkan ke Polsek Maba Selatan dan dilimpahkan ke Polres Haltim. Setelah dilaporkan kami langsung oleh TKP (tempat kejadian perkara). Saat oleh TKP kami menemukan beberapa barang bukti yakni anak panah, darah dan pohon pisang yang ditebas pelaku,” katanya dalam rilis mereka..

Setelah 11 hari kejadian mereka mengeluarkan suat penyidikan. Setelah kurang lebih empat bulan, Polres Haltim memeriksa saksi 16 orang, dua orang sebagai tersangka pembunuhan. Dalam pengembangan kasus, katanya, ada dua pelaku lain yang berasal dari Dusun Tukur-tukur.

Dua tersangka yang sudah ditangkap, Sy, petani dari Desa Gaitoli,  Kecamatan Maba yang ditahan 21 Maret 2023 dan AB  dari Dusun Tukur-tukur, Desa Dodaga, ditahan 22 Maret 2023.

“Sementara dua tersangka lain yang belum ditangkap hingga saat ini AB dan OB, keduanya di Dusun Tukur-tukur, Desa Dodaga,” katanya. Inisial antara pelaku yang sudah ditangkap dan yang belum ditangkap polisi tulis sama dalam rilis mereka.

Setyo bilang,  motif pembunuhan karena dendam berkaitan dengan kasus pembunuhan di Waci pada 2019. Salah satu keluarga pelaku dipidana di lapas Ternate. “Unsur dendam itu muncul niat pembalasan dengan pembunuhan di Maba Selatan.”

Dia sebutkan, keempat orang berkumpul di Dusun Tukur-tukur untuk mencari kayu gaharu. Setyo menuding,  cari kayu sebagai alasan untuk rencana membunuh. Keempat orang itu dengan mobil Avanza putih dari Dusun Tukur-tukur menuju Jalan Gotowasi.

Dia bilang, OB rencanakan pembunuhan lalu mengajak ketiga orang lainnya. Polisi menjerat pelaku dengan pasal perencanaan pembunuhan.

 

Baca juga: Nestapa Orang Tobelo Dalam di tengah Ruang Hidup yang Terus Terancam

Suasana Dusun Tukur-ukur dari udara. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Sementara keterangan dari  Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menyebutkan, pada 22 Maret 2023, Kepolisian Halmahera Timur, menangkap dan menahan anggota Masyarakat Adat Suku Togutil, Tobelo Dalam, Alen Baikole (polisi beri inisial AB). Ia ditangkap di tempat kerjanya,  di Subaim. Diduga Alen mengalami penyiksaan saat penangkapan atau interogasi. Luka memar di wajah Alen diduga pukulan saat interogasi. Alen juga mengeluhkan sakit pada bagian dada dan seluruh badan karena ditendang. Kedua tangan Alen juga terikat di kursi saat interogasi.

Sehari sebelum penangkapan, Samuel Baikole (polisi beri inisial Sy), petani dari Masyarakat Adat di Tukur-tukur dimintai keterangan oleh penyidik di Polres Halmahera Timur.. Diduga Samuel mendapatkan tekanan dalam proses pengambilan keterangan, 21 Maret itu. Samuel ditahan. Alen ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan pembunuhan 29 Oktober 2022 di Kebun Semilo, Desa Gotowasi, Kecamatan Maba Selatan, Halmahera Timur.

Dari keterangan PPMAN itu menyatakan, Y, istri Alen, berusaha menemui suaminya di Polres Haltim sore harinya juga mengalami intimidasi. Polisi yang bertugas membatasi akses menemui Alen.

Penyidik menekan dan memaksa Y mengakui kalau Alen benar membunuh.  Y meyakinkan penyidik bahwa Alen tidak melakukan membunuh karena saat peristiwa disebutkan, Alen sedang bersama Y. Dengan nada mengancam polisi akan memenjarakan Y selama tujuh tahun, polisi memaksanya membenarkan tuduhan.

Paulus Hipo, tokoh agama Dusun Tukur-tukur kepada Mongabay menerangkan, warga marah lantaran polisi sebelumnya bertindak sewenang-wenang saat menangkap warga maka terjadi perlawanan saat mereka datang ke dusun.

“Karena kebiasaan menangkap warga kami dengan seenaknya maka warga berinisiatif melawan. Karena mereka berpikir tidak melakukan pembunuhan warga yang tinggal ratusan kilometer dari tempat tinggal mereka, malah dituduh tanpa bukti oleh polisi,” kata Paulus.

Dia sesalkan, penangkapan tanpa bukti kuat ini menyebabkan Orang Tobelo Dalam ini dituduh sebagai suku pembunuh.

Torang ini hidup su susah. Makan juga susah, kong tuduh tong hari-hari bunuh orang sampai di kampung lain yang torang juga tara tahu akang punya kampung, bahkan ditindas lagi,” kata Paulus.

Paulus juga sesalkan penganiayaan warga saat ditangkap 21 Maret lalu.

“Ini dorang tangkap warga, pukul, aniaya, lalu bawa ke kantor polisi. Lalu dipaksa mengaku,” kata Paulus. Dia mendapat cerita dari Istri Alen.

Sore itu, polisi datang dengan tiga mobil putih dan hitam,  dan dua bersepeda motor.

 

Baca juga: Orang Tobelo Dalam,  Hutan Tergerus Hidup dalam Stigma Buruk

Kehidupan Orang Tobelo Dalam, kerap kena stigma buruk antara lain sebagai pembunuh. Ini Meme Hoyo Awo dan anaknya di Lembah Kowehino, Dusun Titipa, Desa Dodaga. Foto: Christ Belseran/ Mongabay Indonesia

 

Paulus bilang, Masyarakat Adat di Tukur-Tukur merasakan situasi tak aman setelah beberapa tahun terakhir kepolisian terus mengintimidasi dan menangkap Masyarakat Adat Tobelo Dalam ini.

Syamsul Alam, Ketua PPMAN, kepada Mongabay mengatakan, Alen Baikole, yang ditahan di Polres Halmahera Timur diketahui memiliki fakta-fakta atas dugaan “peradilan sesat” terhadap enam orang Masyarakat Adat Tobelo Dalam,  dalam kasus tudingan pembunuhan sebelum itu.

Data PPAMAN menerangkan kasus yang disebut ‘peradilan sesat’ itu.  Pada 29 Maret 2019,  enam warga Adat Tobelo yakni, Habel Lilinger alias Hambiki alias Niklas Dilingir, Hago Baikole alias Hago, Rinto Tojouw alias Rinto, Toduba Hakaru alias Toduba, Awo Gihali alias Awo, dan Saptu Tojou alias Saptu, ditangkap polisi.

Mereka dituduh membunuh Habibu Salaton, Karim Abdurahman dan Yusuf Halim dan dua orang korban selamat Halim Difa dan Harun Muharam di hutan Bungasili, Sungai Waci, Maba Selatan, Haltim. Warga tertuduh adalah petani dan berburu yang tinggal di Desa Dodaga, Kecamatan Wasile Timur, Haltim.

Pada 30 Maret 2020, Pengadilan Negeri Soasio menghukum enam orang itu, Habel dan Hago seumur hidup, lalu Toduba dan Saptu Tojou selama 20 tahun. Sedang Rinto dan Awo masing-masing 16 tahun.

Jaksa banding. Berselang sebulan, atau 30 April 2020, Pengadilan Tinggi Maluku Utara memperberat dengan Habel dan Hago pidana mati, Toduba dan Saptu seumur hidup. Kemudian, Rinto dan Awo pidana 20 tahun.  Mereka ajukan kasasi ke Mahkamah Agung di Jakarta. Putusan kasasi Mahkamah Agung pada 29 September 2020, memperbaiki putusan PN Maluku Utara. Pidana Habel, Hago, Toduba, dan Saptu masing-masing seumur hidup; sedangkan Rinto dan Awo  selama 20 tahun.

 

Baca juga: Orang Tobelo Dalam Khawatir Perusahaan Tam bang Rusak Hutan Ake Jira

Orang Tobelo Dalam yang saat ini menjalani hukuman karena dituduh dalam pembunuhan Foto: PPMAN Maluku Utara

 

 

Syamsul bilang, penangkapan Alen Baikole, bisa menjadi halangan bagi keenam terpidana memperjuangkan keadilan melalui proses peninjauan kembali (PK), sebagai hak atau upaya hukum terakhir mencari keadilan.

Sebaliknya, dengan penangkapan Alen akan memberi ruang bagi kepolisian menutupi skenario kriminalisasi untuk membungkam kritik Masyarakat Adat Tobelo Dalam atas pembangunan yang merusak lingkungan dan menghancurkan wilayah adat mereka.

PPMAN, kata Syamsul,  juga menerima pengaduan penangkapan dan penyiksaan terhadap Alen.

“Kami sudah menerima kuasa dari terduga pelaku yakni Alen, kami juga akan bertindak atas nama Alen. Kami akan mengajukan pra-peradilan, keberatan atas penetapan tersangka ini,”katanya.

Saat ini, katanya, advokat PPMAN dan Lembaga Bantuan Hukum Marimoi,  yang terhimpun sebagai tim pembela untuk keadilan Masyarakat Adat Tobelo Dalam akan memberi bantuan hukum kepada Alen Baikole, enam terpidana maupun Masyarakat Adat Tobelo Dalam lain yang dikriminalisasi.

Setyo saat dikonfirmasi mengatakan,  telah bekerja berdasarkan bukti dan petunjuk atas perbuatan para tersangka, bukan karena lainnya.

“Kami bicara terkait kasus pembunuhan tahun 2022. Hasil penyelidikan empat orang tersangka yang melakukan pembunuhan. Kami berdasarkan alat bukti dan petunjuk atas perbuatan para tersangka bukan karena lainnya,” kata Kapolres menjawab Mongabay, Sabtu pekan lalu.

Dia bilang, bukan menyasar Suku Tobelo Dalam, tetapi tersangka dari Dusun Tukur-tukur.

“Sepengetahuan kami, para tersangka warga Desa Tukur tukur, Kecamatan Wasile, bukan Masyarakat Suku Dalam,” katanya, seraya mengklaim peduli Masyarakat Suku Dalam.

“Polres membina Masyarakat Suku Dalam.”

 

Nohu (kiri) dan Bokum (kanan), dua Orang Tobelo Dalam, yang vonis membunuh. Foto: AMAN Malut

 

Orang Tobelo terjerat kasus pembunuhan bukan sekali atau dua kali. Sebelum kasus enam orang terpidana itu, Bokum dan Nuhu juga kena pidana atas kasus pembunuhan atas proses hukum yang menimbulkan banyak pertanyaan. Bokum sudah bebas. Nuhu meninggal dunia di dalam tahanan.

Dalam artikel Mongabay sebelumnya, para pakar cum peneliti khawatir tundingan kerap dialamatkan ke Masyarakat Adat Tobelo Dalam, ketika ada kasus pembunuhan.  Syarifudin Abdurahman, peneliti O Hongana Manyawa juga antropolog Universitas Khairun Ternate. mengatakan, Orang Tobelo Dalam kerap menerima stigma buruk, seperti, jahat, pembunuh, sampai dianggap sebagai tuna budaya atau orang tidak berbudaya. Kasus yang menimpa Bokum dan Nuhu, memperlihatkan kuatnya stigma itu.

Syafrudin  menerangkan, stigma pembunuhan kepada O Hongana Manyawa ini tak berdasar. Pengalamannya,  bertahun-tahun meneliti, tahu tradisi dan kehidupan yang mereka jalankan. Soal sebutan Togutil, misal, mereka di dalam hutan tidak paham kalau mereka disebut Togutil. Yang mereka tahu orang yang tinggal di hutan atau biasa menyebut diri O Hongana Manyawa.

Komunitas ini ada tiga kategori kelompok. Masih nomaden, sudah menetap dan menetap sementara. Menetap sementara, kata Syafrudin,  karena mereka tinggal di suatu kawasan, satu atau dua tahun. Kalau ada kejadian luar biasa, seperti kematian atau wabah penyakit kemudian mereka berpindah.

Yang hidup nomaden, katanya, biasa hidup satu dua bulan di satu titik atau kawasan hutan kemudian pindah. Kelompok ini, juga selalu menerima stereotipe jelek, jahat pembunuh hingga dianggap tuna budaya atau orang tidak berbudaya.

Padahal, katanya, semua manusia yang hidup itu pasti berbudaya. Stigma lain, seperti, sebut Tobelo Dalam sebagai orang jarang mandi temperamen dan hal-hal buruk lain.

 

 

*******

Exit mobile version