Mongabay.co.id

Kala Gajah Muncul di Sijunjung, Berasal dari Tesso Nilo?

 

 

 

 

Dua gajah (Elephas maximus) terlihat di Jorong Silukah, Nagari Durian Gadang, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, pada pertengahan Februari lalu. Kemunculan gajah mengejutkan pan pemerintah daerah maupun BKSDA Sumbar karena terakhir penampakan di Sumatera Barat pada 1980-an di Solok Selatan. Ada  dugaan kedua gajah ini dari Tesso Nilo, Riau.

Gajah yang muncul di sekitar hutan lindung Geopark Silokek yang direkam warga pada 14 Februari lalu ini beredar di akun Instagram @sijunjung_traveling. Terlihat dua gajah berjalan di bawah tebing di antara pepohonan. Dari kejauhan terdengar suara manusia yang mengusir gajah dengan bahasa daerah.

Ardi Andono, Kepala BKSDA Sumbar,  mengatakan, kemunculan ini sejarah baru bagi Sumbar. Terakhir gajah ditemukan pada 1981 di Sijunjung dan Solok Selatan, satu kelompok dengan pejantan alfa (pemimpin) berjulukan ”Si Patah Gading.”

“Saat itu gajah berkonflik dengan warga dan menimbulkan satu korban jiwa dan 76 rumah rusak,” katanya.

Untuk menindaklanjuti temuan ini,  BKSDA menurunkan tim Unit Penyelamatan Satwa Liar (Wildlife Rescue Unit/WRU) bekerja sama dengan instansi terkait, termasuk pengelola Geopark Silokek, kesatuan pengelola hutan lindung, kepolisan dan tentara, serta warga.

 

 

 

BKSDA Sumbar menurunkan petugas untuk memverifikasi informasi dan diketahui pada 13-14 Februari satwa ini sudah mengarah ke Sungai Batang Lisun, Nagari Durian Gadang. Ada dua gajah yang melintasi daerah itu dengan taksiran berusia lima dan delapan tahun. Umur ini ditaksir dari panjang gading yang tampak dari video rekaman warga saat gajah muncul pertama kali.

Petugas pun menghalau agar satwa tak masuk pemukiman warga dan  memonitoring agar memasuki hutan. Sampai 21 Februari 2023, keberadaan gajah  terus dimonitoring. Gajah meninggalkan Nagari Durian Gadang, menuju hulu Sungai Batang Lisun.

Pada 23 Februari, BKSDA Sumbar menerima laporan dari Wali Nagari Padang Tarok, Kecamatan Kamang Baru, Sijunjung kalau gajah sudah memasuki lahan usaha I dan II transmigran maupun kebun warga Nagari Padang Tarok.

Petugas BKSDA Sumbar menuju lokasi untuk berkoordinasi ke pemerintah nagari setempat bersama-sama aparat nagari dan masyarakatmenghalau, dan memonitoring pergerakan satwa. Petugas juga sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat sekitar agar bisa hidup berdampingan dengan satwa. Pemantauan dan memonitoring terus dilakukan.

”Kemungkinan kedua gajah tersesat atau terpisah dari kelompok utama mengingat umur masih muda dan jantan semua. Gajah dimungkinkan membentuk kelompok baru minimal satu pasangan dan berumur 10 tahun,” ujar Ardi.

 

Untuk menindaklanjuti temuan ini BKSDA pun menurunkan tim Unit Penyelamatan Satwa Liar (Wildlife Rescue Unit/WRU). Tim bekerja sama dengan instansi dan pihak terkait, termasuk pengelola Geopark Silokek, kesatuan pengelola hutan lindung, kepolisan dan tentara, serta warga setempat. Foto: Vinolia/ Mongabay Indonesia

 

Berdasarkan pengecekan kotoran, kata Ardi, gajah diduga sempat masuk gubuk-gubuk peladang. Di dalam kotoran ditemukan plastik bumbu masakan, sabun krim dan kantong plastik. Sementara dari sisa makanan, gajah diketahui memakan batang pisang hutan, paku-pakuan, dan kulit pohon.

BKSDA mengimbau, masyarakat memindahkan logistik makanan di pondok-pondok sawit termasuk memindahkan sabun, detergen dan lain-lain yang berbau wangi. Kemudian berpatroli dengan gunakan meriam karbit teratur, menyalakan api di malam hari, atau api unggun, menyiapkan anjing penjaga di pondok pada malam hari serta tetap berkoordinasi dengan BKSDA Sumbar dan perangkat pemerintah daerah.

“Diharapkan semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat bersatu padu menjaga hutan terutama gajah Sumatera,  supaya gajah ini bisa tetap lestari dan bisa berkembang biak dengan baik. Dengan begitu populasi gajah Sumatera tetap terjaga,” kata Ardi dalam siaran pers yang diterima Mongabay.

Dia bilang, gajah termasuk binatang nokturnal yang aktif di malam hari. Hewan ini hanya perlu waktu tidur selama empat jam per hari dan terus bergerak selama 16 jam untuk menjelajah dan mencari makanan. Sisanya, untuk berkubang dan bermain. Pergerakan gajah dalam sehari  bisa seluas 20 km2. Idealnya, kebutuhan areal untuk habitat gajah liar minimal 250 km2 berupa hamparan hutan tak terputus.

BKSDA Sumbar mengimbau warga untuk menjaga dan tak memburu gajah.

 

Dua gajah terlihat di Nagari Durian Gadang, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat pada pertengahan februari lalu. Kemunculan gajah tersebut sempat mengejutkan banyak pihak sebab kemunculan ini merupakan yang pertama kali terpantau di sumatera barat sejak terakhir sekitar 43 tahun silam. Foto: Dokumen Warga

 

Gajah dari Tesso Nilo Riau?

Zulhusni Syukri, Koordinator Wilayah Riau, Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI), menyebut, dugaan awal dua gajah Sumatera di Desa Durian Gadang, Sijunjung ini dari kantong Tesso Nilo, Riau.

Sejak November lalu,  katanya, terpantau dua gajah jantan melintasi beberapa desa di Riau. “Jika dikoneksikan menyambung dengan temuan gajah Sumatera di Desa Durian Gadang, Sijunjung.”

Dia katakan, sebelum memasuki hutan di Sumatera Barat, dua gajah terlebih dahulu melintasi desa-desa di Riau yakni, dengan rute desa Gunung sahilan, Desa Lipat Kain, Desa Tanjung Harapan, Desa Ludai, Desa sumpur kudus dan Desa Durian Gadang.

“Desa Sumpur Kudus ini berada di perbatasan Sumbar-Riau.”

Masuknya gajah ke kawasan hutan di Sumbar ini, kata Zulhusni,  karena disorientasi akibat meningkatnya aktivitas manusia di habitat gajah.

“Sifat alami gajah akan mencari habitat lebih aman yang tidak bersentuhan dengan manusia.”

Dia tak dapat memastikan di mana posisi dua gajah Tesso Nilo yang keluar dari kelompok itu karena belum pasang GPS Collar.

Dia mengimbau kepada masyarakat untuk tidak panik jika ketemu dengan gajah liar. Zulhusni bilang, kalau bertemu gajah jaga jarak aman paling dekat 100 meter. Gajah, katanya,  bukan satwa predator yang memangsa atau bermaksud melukai manusia, gajah hewan mamalia sama dengan kerbau atau sapi tetapi gajah hewan cerdas.

“Jika terpaksa harus menggiring misal masuk kebun, giring dengan teriakan atau suara mercon ke atas, bukan ke gajah.  Gajah tidak suka didesak atau dipaksa pergi, jika terdesak gajah bisa panik dan ini bisa  ada korban.”

 

Ilustrasi. Ancaman kehidupan gajah sumatera selalu ada, meski statusnya sebagai satwa liar dilindungi. Foto: Rahmi Carolina/Mongabay Indonesia

 

Wilson Novarino, peneliti satwa dari Universitas Andalas (Unand) mengatakan, gajah jantan yang beranjak dewasa cenderung keluar dari kelompok utama baik secara soliter (sendiri) atau dalam kelompok kecil (dua tau tiga individu), atau bergabung dengan kelompok lain untuk sementara guna mencari betina.

“Saat ini sangat mungkin gajah jantan muda menjelajah jauh dari kelompok utama. Ini sangat mungkin menyebabkan dijumpai gajah di Sijunjung,” katanya.

Secara ekologis, gajah sangat penting dalam menjaga keanekaragaman jenis  dan peremajaan hutan. Sebagai satwa megaherbivora, gajah berperan penting dalam memencarkan berbagai jenis tumbuhan berbuah di hutan. Gajah juga sangat berpotensi membentuk rumpang (celah kecil) di dalam hutan, hingga memicu suksesi sekunder juga menigkatkan keragaman jenis dalam hutan.

Khusus gajah di Sumatera Barat –meskipun secara alami gajah tak mengenal batas adminitrasi–, selain catatan di Sijunjung, dulu juga tercatat di Dharmasraya. Jadi, besar kemungkinan gajah ini anggota kelompok dari Tebo yang sekarang terputus karena ada perubahan tutupan lahan. Selain itu, ada catatan dari Solok Selatan dan di daerah sekitar Bendungan Koto Panjang.

Kehadiran gajah ini, katanya,  perlu disikapi dengan perencanaan pengelolaan jangka panjang.

 

 

*******

 

Exit mobile version