Mongabay.co.id

Bagaimana Nasib Kelelawar, Sang Penyerbuk dan Penggendali Serangga Kala Karst Gunungsewu Terpangkas?

 

 

 

 

 

Riuh decitan kelelawar ketika saya menjejakkan kaki menuju pintu Gua Seropan, Desa Semuluh, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, Februari lalu. Ada belasan satwa ini sejenak terbang keluar siang itu, kemudian masuk lagi. Tampaknya kelelawar kaget dengan patahan ranting kayu. Di celah-celah batuan karst, tubuh-tubuh mungil berwarna gelap menggelantung di batuan karst.

Beberapa hari sebelumnya, saya ke Gua Maria Tritis. Kelelawar juga berumah di sana. Siska, perempuan penjaga Gua Maria Tritis sedang membersihkan kotoran di lantai gua.

Gua Maria Tritis, tempat peribadatan umat Katolik.. Gua ini jadi wisata religi terkenal di Yogyakarta, diresmikan pada 1979 oleh Romo Lamers.

Siska,  warga Giring, di Paliyan, Gunungkidul, tak jauh dari Gua Maria Tritis. Dia dan bapaknya menjaga gua ini sejak 1975 sebelum dikelola Paroki.

Area gua cukup luas.  Suasana adem berkeliling ornamen stalaktit dan stalakmit.

Terdampat lubang-lubang pada batuan karst. Ada sedikit kotoran jatuh dari atas. Siska bilang itu kotoran kelelawar. “Di lubang-lubang yang gelap itu. Yang hitam kecil itu kelelawar. Mereka sedang tidur.”

Kelelawar biasa tidur terbalik menggelantung, posisi itu memudahkan mereka terbang dan menghindari predator. Sayap terbentuk dari modifikasi jari kedua sampai jari kelima hingga membentuk selaput kulit tipis dan lentur yang berhubungan dengan antar jari.

Karakteristik ini yang membuat kalangan ilmuwan sepakat memberi nama ilmiah “chiroptera” yang berarti tangan dan sayap. Oleh para peneliti, fauna ini disebut sebagai “sang pengembara malam.”  Ia mencari makan malam hari dan kembali ke tempat tinggal untuk beristirahat pada siang hari.

“Kalau mau lihat kelelawar, harus datang lebih sore, saat matahari mau terbenam. Biasa mereka keluar ramai-ramai,” ucap Siska.

 

Baca juga: Bila Geopark Gunungsewu Susut Berisiko bagi Ekosistem Karst dan Kehidupan Warga

Gua Maria Tritis, di Gunungsewu. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Rumah

Gua Seropan, dan Gua Maria Tritis ini masuk dalam Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gunungsewu. Dalam laporan Pusat Penelitian Biologi LIPI berjudul Sejarah Alam Gunungsewu (2018) yang disusun Cahyo Rahmadi, Sigit Wiantoro, dan Hari Nugroho menyebut sebanyak 28 spesies kelelawar dijumpai dari 48 gua yang tersebar di Kawasan Karst Gunungsewu.

Informasi jumlah spesies kelelawar di Gunungsewu ternyata cukup mengejutkan para peneliti, karena hampir setengah dari jumlah spesies kelelawar di Pulau Jawa ada di kawasan lindung geologi ini.

Dalam laporan sama menyebut, sampai saat ini diketahui 76 spesies kelelawar ada di Pulau Jawa. Jumlah spesies kelelawar di Gunungsewu diyakini makin bertambah mengingat masih ada ratusan gua belum diteliti keberadaan spesies kelelawarnya.

“Ini membuktikan Gunungsewu merupakan salah satu hotspot kelelawar di Indonesia.”

Laporan Suyanto pada 2011 dikutip LIPI menyatakan, sedikitnya ada 11 jenis kelelawar dari sub ordo Microchiroptera yang menghuni gua-gua dalam kawasan karst di Gunungkidul.

Jenis-jenis itu antara lain, Rhinolophus pusillus, Rhinopus affinis, Rhinolophus canuti, Hipposideros larvatus, dan Nycteris javanica.

Beberapa jenis kelelawar ini diketahui daya jangkau terbang dari tempatnya bertengger dalam satu malam, seperti Rhinolophus canuti jarak terbang 5-8 kilometer dan Hipposideros larvatus  sampai 10 kilometer.

Cahyo Rahmadi dkk menyatakan, tak tidak menutup kemungkinan, gua-gua lain di kawasan Karst Gunungsewu dapat dikembangkan sebagai objek wisata dengan kelelawar sebagai daya tariknya.

Hal ini, katanya,  karena kawasan dengan ribuan gua ini merupakan “rumah mewah” bagi kelelawar.

 

Baca juga: Kawasan Karst Gunung Sewu Terancam Terpangkas

Kelelawar, banyak fungsi bagi kelancaran hasil pangan . Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Jasa lingkungan kelelawar

Donan Satria Yudha, pengajar sistematika dan taksonomi hewan Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan,  kelelawar punya peran ekologis yang sangat penting. Dari menjaga kesuburan lahan agar tidak terganggu serangga, juga menjaga tumbuhan tak satu jenis dengan peran penyerbukannya.

“Jadi, kelelawar (pemakan serangga) mengontrol populasi hama, kelelawar yang lain lagi (penyerbuk) menyebarkan biji dan keanekaragaman jenis tumbuhan hingga penyimpanan bisa merata di seluruh tempat,” katanya.

Dia bilang, kelelawar dibagi dua kelompok, pemakan serangga dan pemakan buah. Kedua kelompok ini sama-sama hidup di Gunungsewu. Salah satu yang membedakan keduanya dari ukuran tubuh, pemakan buah relatif besar dan panjang dibanding pemakan serangga lebih kecil.

Poppy Ismalina, pakar valuasi ekonomi dan pengajar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM melakukan valuasi jasa lingkungan kelelawar.

Poppy menganalisis sistem informasi geografis atau geoprocessing dengan perangkat lunak QGIS 3.6 dan mencoba menghitung jasa lingkungan kedua kelompok kelelawar ini di Gunungkidul.

Pertama, kelelawar pemakan serangga, hasil analisa peta tata guna lahan di Gunungkidul pakai data Badan Informasi Geospasial 2019. Dia menemukan,  radius jelajah atau daya jangkau kelelawar pemakan serangga jenis Rhinolophus canuti dan Hipposideros larvatus yang menghuni 17 gua, antara lain di perkebunan 11.921,56 hektar, sawah (irigasi dan tadah hujan) seluas 26.330,24 hektar, ladang 51.480,33 hektar.

Total luasan tata guna lahan dalam radius jelajah terbang Rhinolophus canuti dan Hipposideros larvatus yaitu 89.732,13 hektar. Ia mengambil sampel petani beras di Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul yang biasa pakai pestisida merek Decis Rp30.000 per kemasan berisi 50 ml. Kebutuhan pestisida per hektar 180 mil dan penyemprotan tiga kali dalam satu musim tanam.

Jika harga pestisida dihitung dengan banyaknya penggunaan mengatasi hama sebanyak  3,6 botol dikali luas j angkau kelelawar pemakan serangga, maka hasil sekitar Rp9, 691 miliar.

Dalam satu musim tanam, katanya,  petani melakukan penyemprotan tiga kali, nilai ekonomi kelelawar sebagai pemberantas hama (serangga) di sawah, sawah tadah hujan, ladang dan perkebunan di Gunungkidul Rp14, 506 miliar x 3  jadi Rp29, 073 miliar.

Kedua, katanya, kelelawar pemakan buah diyakini jadi fauna penyerbuk lebih dari 100 spesies tanaman buah di lahan tropis, termasuk buah-buahan penting bagi sosio-ekonomi masyarakat seperti durian dan mangga. Selain itu, dalam berbagai penelitian menyebut kelelawar juga memiliki peran penting bagi buah-buahan seperti jambu bijih, petai, nangka dan buah naga.

Meski belum banyak penelitian tentang kelelawar pemakan buah di Gunungsewu, khusus di Gunungkidul, namun Poppy berpendapat, sedikitnya ada tiga spesies yang dikenali para peneliti di kawasan ini yaitu, Cynopterus brachyotis dan Rousettus leschenaultii di Gua Kalisuci, lalu Rousettus amplexicaudatus di Gua Lawa.

Gunungkidul sebagai salah satu penghasil buah di Yogyakarta, terutama nangka sebagai bahan gudeg, makanan khas Yogyakarta.

Berdasarkan laporan Gunungkidul Dalam Angka 2022, produksi tanaman buah yang membutuhkan bantuan penyerbukan kelelawar agar berbuah maksimal yaitu, durian, jambu biji, mangga, nangka, dan petai.

Apabila habitat kelelawar pemakan buah terganggu dan menyebabkan fungsi penyerbuk terganggu, hingga produktivitas buah-buahan di Gunungkidul akan turun 30,25%.

Kalau dihitung, katanya, kerugian nilai ekonomi karena fungsi penyerbukan kelelawar pemakan buah hilang di Gunungkidul diperkirakan Rp96, 704 miliar- Rp 127, 097 miliar per tahun.

 

Gua Seropan, Desa Semuluh, Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Terancam

Perhitungan Poppy ini merespon rencana pengurangan luasan KBAK Gunungsewu oleh pemerintah Gunungkidul beberapa waktu lalu. Berbagai kalangan dari para pakar dan organisasi lingkungan, protes. Mereka menilai, rencana ini bisa berdampak pada ekosistem di karst.

“Para pengembara malam penjaga gua-gua di Karst Gunungsewu akan turut kehilangan habitat dan berpotensi terancam bila rencana pengurangan luasan KBAK Gunungsewu disetujui.”

Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM pada 2014, luas kawasan lindung geologi 75.835,45 hektar atau 1.001,17 km2. Pemerintah Gunungkidul usul luasan itu dipangkas tinggal 37.018,06 hektar, tersisa 48,81% atau terjadi pengurangan 51%!

Dari kajian Koalisi Masyarakat Pemerhati Karst Indonesia menyebut,  ada sekitar 343 gua di wilayah yang akan diusulkan untuk dikeluarkan dari KBAK Gunungsewu. Dengan kata lain, rumah-rumah keanekaragaman hayati termasuk kelelawar turut terancam.

Donan bilang, hutan-hutan di Gunungkidul bisa terjaga, bisa asri dan beraneka ragam jenis karena ada kelelawar. Kalau luasan KBAK dipangkas,  kelelawar pasti menghilang.

“Ia tidak akan punya habitat, tidak akan punya lahan dan tidak akan disitu,” katanya.

Kalau populasi kelelawar berkurang, katanya,  populasi mangsa (serangga) akan naik. Ketika populasi serangga naik, akan menyerang lahan pertanian dan perkebunan petani.

“Jadi,  kerugian petani akan makin besar karena tidak ada yang mengontrol populasi serangga. Serangga akan memakan tanaman di ladang, dan sektor pertanian di Gunungkidul khusus di kawasan karst akan terdampak signifikan.”

Semestinya, kata Donan, luasan kawasan karst lebih dihijaukan dan terlindungi. Bukan malah terbuka untuk industri pariwisata atau pembangunan yang mengakibatkan kawasan karst terganggu.

Selain kelelawar, di Karst Gunungsewu juga banyak spesies lain seperti macan tutul atau kumbang, landak, dan biota-biota hidup di perguaan karst.

‘Sekarang kalau lahan berkurang, tidak cuma kelelawar, macam kumbang, termasuk ular viper akan keluar dari hutan dan masuk ke pemukiman warga, karena lahan liar mereka makin sempit.”

Edi Dwi Atmaja, alumni mahasiswa pecinta alam Fakultas Biologi UGM (Matalabiogama) penelitian jenis kelelawar di kawasan karst Gunungsewu. Menurut dia, setiap tahun selalu ada temuan satu atau dua jenis kelelawar, beberapa termasuk langka.

 

Kelelawar, berfungsi banyak bagi ekosistem, dari penyerbuk, sampai pengendali serangga. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Harus dilindungi

Sigit Wiantoro, peneliti pusat penelitian biologi LIPI/BRIN  mengatakan, kelelawar penghuni karst Gunungsewu sudah selayaknya mendapatkan perhatian. Perhatian fauna penting ini dirasa sangat kurang, terbukti dengan tak ada spesies kelelawar masuk daftar fauna dilindungi Undang-undang.

Kondisi ini, katanya,  bertolak belakang dengan kalangan internasional yang memberikan perhatian khusus melalui International Union for Conservation of Nature and Natural Resoursce (IUCN) menetapkan status kelangkaan spesies kelelawar.

Tiga spesies kelelawar, Hipposideros ridleyi, Rhinolophus canuti, dan Nycteris javanica termasuk kategori rawan punah (vulnerable). Dua spesies lain, Pteropus vampyrus dan Miniopterus schreibersii, termasuk dalam kategori hampir terancam punah (near threatened).

Spesies yang disebutkan Sigit termasuk yang punya peran penting dalam penyerbukan biji-bijian dan mengontrol serangga.

“Gerakan penyadartahuan dan upaya konservasi harus dimulai. Biarkan “sang pengembara malam” terbang bebas dan menjalankan peran pentingnya bagi ekosistem Karst Gunungsewu.”

 

 

*******

 

Exit mobile version