Mongabay.co.id

Daulat Pangan Masyarakat Adat Kampung Naga yang Bertahan Hingga Kini

 

Setelah melewati 400 anak tangga yang menurun, sampailah di sebuah kampung yang diapit oleh Sungai Ciwulan dan hutan Biuk. Hutan Biuk atau Leuweung Naga berada di lereng sebelah barat daya Gunung Galunggung. Wilayah setempat dinamakan Kampung Naga yang secara administratif berada di Desa Neglasari, Kecamatan Tasikmalaya, Jawa Barat.

Setelah melewati jalan di pinggir sungai, terlihat kompleks bangunan dari bambu. Bentuknya rumah panggung di atas umpak. Umpak merupakan penyangga tiang kayu untuk rumah dengan ketinggian 40-60 centimeter. Sementara atap rumahnya terbuat dari ijuk yang berwarna hitam.

Dalam perjalanan menuju kampung setempat, ada suara khas menumbuk. Benar saja, ternyata itu berasal dari lisung atau alat tradisional sebagai tempat menumbuk padi. Sedangkan alat tumbuknya adalah halu atau tongkat kayu. Suara itu berasal dari sebuah bangunan terbuka di mana bagian bawahnya merupakan kolam ikan.

Asa dua orang perempuan yang menumbuk saling berbincang. Mereka memang tengah menumbuk padi simpanannya agar menghasilkan beras. “Hari ini, kami menumbuk padi untuk mendapatkan beras. Mungkin nanti akan mendapatkan 5-10 kg beras. Untuk persediaan pangan,”ungkap Danik (48), seorang perempuan warga Kampung Naga saat berbincang dengan Mongabay Indonesia pada akhir Februari silam.

baca : Menikmati Jeda di Kampung Naga

 

Dua orang ibu di Kampung Naga tengah menumbuk padi. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Danik bersama dengan Rohayati (38) sedang menumbuk padi. Setelah menumbuk, mereka kemudian menampi untuk memisahkan antara beras dengan kulit padi. Mereka tidak pernah keluar kampung membawa gabah masuk ke rice mill. Semuanya dikerjakan sendiri.

“Kami tidak pernah beli beras. Kalau memang membutuhkan beras, kami mengambil simpanan gabah yang berada di rumah kami. Kemudian, kami menumbuk di lisung ini. Padi yang ditumbuk adalah padi lokal Kampung Naga. Sejak dulu, warga di sini hanya menanam padi lokal,”katanya.

Karmadi (49)  warga lainnya mengatakan panenan biasanya 6 bulan sekali. Yang paling diutamakan adalah stok pangan. Tetapi juga ada yang disetorkan untuk lumbung padi umum yang disebut dengan Leuit. Namun sebagian besar masuk ke lumbung pribadi yang  dinamakan Gowah.

“Panenan memang hanya dua kali dalam setahun, namun mampu mencukupi kebutuhan. Bahkan, sisanya ada yang dijual. Hasilnya untuk membiayai musim tanam berikutnya. Tetapi untuk bibit, tidak pernah membeli karena membenihkan sendiri,”tambah Karmadi.

Warga Kampung Naga yang lain, Rida (58) mengungkapkan bahwa dirinya biasanya menyetorkan ke lumbung pangan umum sebanyak 5 kg. “Memang tidak pernah ada batasan untuk menyetor ke lumbung pangan umum. Saya menyetor 5 kg. Kalau untuk hasil panen kemarin sekitar 2 kuintal,”ujarnya.

Enas (49), mempunyai simpanan sekitar 2,5 hingga 3 kuintal. Jumlah tersebut akan memenuhi kebutuhan keluarganya hingga 6 bulan. Bahkan, biasanya lebih. Padahal, hasil padi telah dikurangi untuk pembibitan bagi musim tanam ke depannya.

baca juga : Ucu Suherman, Gerbang Kearifan Lokal Kampung Naga

 

Padi yang disimpan di Gowah, lumbung pangan keluarga di Kampung Naga. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Berbagai jenis padi lokal yang ditanam dan sampai sekarang masih ada di antaranya adalah Jamlang, Lokcan, Seksrek, Peuteuy, Cere, Regol, Sarikuning, Pare Gantang, dan Pare Terong

Pemandu wisata Kampung Naga Tatang Sutisna mengungkapkan dalam bercocok tanam tujuan utamanya memang memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Sehingga hasil panen disimpan. Bahkan, penyimpanan ada yang bisa sampai bertahun-tahun. “Bentuk simpanannya adalah gabah. Jika ingin menjadikan beras, maka ditumbuk,”katanya.

Tatang menyebut, bahwa itulah salah satu kearifan lokal yang dimiliki Kampung Naga yakni mencukupi pangan sendiri. “Mereka menyimpan sendiri dan menyetorkan ke lumbung pangan umum seikhlasnya. Penyimpanan ke dalam Leuit bertujuan untuk ketahanan pangan. Misalnya kalau menghadapi gagal panen atau paceklik. Selain itu juga diperuntukkan bagi kepentingan umum seperti tradisi dan upacara adat,”jelasnya.

Sementara guide lainnya, Ijat (44) menambahkan dalam menyimpan padi, warga meletakkannya di dalam Gowah yang tertutup rapat. Bahkan, ada yang bisa menyimpan padi hingga 5 tahun. “Sejauh ini, padi yang disimpan lama tidak mengalami kerusakan dan tidak ada tikus yang menyerang,” katanya.

Ijat mengatakan di dalam menanam padi, ada tradisi yang dilakukan oleh warga Kampung Naga. Yakni melakukan ritual doa pada awal menanam. Sehingga, sementara ini sangat jarang ada serangan hama yang mengakibatkan puso atau gagal panen. ‘Di sini, hasil sedikit bisa mencukupi, panenan banyak dapat berbagi,”ungkapnya.

baca juga : Kampung Naga, Oase Tradisi di Tengah Derap Kehidupan Modern

 

Suasana di Kampung Naga. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Kuncen atau Ketua Adat Kampung Naga Ade Suherlin mengatakan wilayah setempat tidak pernah kekurangan air, sehingga padi juga tidak pernah mengalami puso akibat kekeringan. “Nenek moyang Kampung Naga telah memberi pesan mengenai lumbung padi, dengan adanya petilasan lumbung. Karena itulah, kami kemudian membangun lumbung padi. Ini merupakan suri tauladan ketahanan pangan dalam menghadapi paceklik,“ jelasnya.

Menurut Ade, setiap musim panen, warga dengan kesadaran sendiri menyetor sebagian kecil hasil panenan untuk lumbung. Nantinya, padi yang ada di lumbung pangan untuk keperluan umum dan kepentingan adat. “Kami tidak pernah meminta dengan jumlah tertentu. Semuanya dengan kesadaran sendiri,”katanya.

Sejak zaman nenek moyang, lanjut Ade, masyarakat Kampung Naga lebih mengutamakan stok pangan. Bahkan, mereka akan menyimpan antara 1-2 musim panen. “Itu yang paling diutamakan. Setelah cukup memenuhi hingga 1-2 musim panen ke depan, maka sisanya dapat dijual. Tetapi prinsipnya adalah memenuhi kebutuhan sendiri terlebih dahulu. Itu yang paling utama,”tandasnya.

Kebutuhan untuk tradisi juga diambilkan dari lumbung pangan. Dalam setahun, ada enam kali prosesi tradisi adat. “Kami mengadakan upacara adat dalam setahun sebanyak enam kali. Yakni pada Muharam, Maulid, Jumadil Akhir, Syaban, Idul Fitri dan Idul Adha. Setiap upacara ada adat ziarah leluhur Kampung Naga yang dilaksanakan laki-laki. Sedangkan kaum ibu menyiapkan makanan nasi tumpeng. Beras diambilkan dari lumbung pangan. Bentuk awalnya padi, tepi kemudian diproses menjadi beras,”paparnya.

Selain mempertahankan kedaulatan pangan, komunitas adat Kampung Naga juga mempunyai kearifan dalam menjaga lingkungan. Bahkan, di Kampung Naga tidak mengenal istilah bencana alam. “Kami sebetulnya tidak sepakat dengan istilah bencana alam. Bagi kami, alam itu rohman rohim. Bukan alam yang merusak, tetapi akhlak manusia,”katanya.

baca juga : Kebakaran Hutan di Jabar: Hilangnya Nilai Kearifan Lokal dalam Menjaga Lingkungan

 

Kawasan Kampung Naga, di Desa Neglasari, Kecamatan Tasikmalaya, jawa Barat. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Masyarakat Kampung Naga mematuhi adat dan menjadi acuan. Misalnya, meski setiap harinya memasak menggunakan kayu bakar, tetapi itu diambil dari kebunnya sendiri, bukan di dalam hutan yang memang dilarang.  “Prinsip kami, lingkungan harus lestari tidak boleh rusak. Dengan kondisi lingkungan tersebut, kami juga tercukupi kebutuhan air bersih karena sumber-sumber mata air masih banyak sekali. Itu karena hutan masih utuh,”ungkapnya.

Kampung Naga, meski dihadapkan dengan berbagai era hingga kini zaman digital, ternyata masih mampu mempertahankan adat dan budayanya. “Bagi kami adat adalah milik keturunan, sedangkan budaya milik bangsa. Oleh karena itu, harus terus dipertahankan,”tandasnya.

Kampung Naga yang hanya memiliki luas 1,5 hektare (ha), kini ada 110 bangunan yang dihuni 110 kepala keluarga atau 287 jiwa. Sebuah kampung yang masih kuat menjaga adat dan budayanya. Mulai dari kedaulatan pangan hingga menjaga lingkungan tetap lestari. (***)

 

Exit mobile version