- Persoalan lahan Masyarakat Adat Talang Parit dan perusahaan sawit, PT Inecda Plantation, anak usaha Samsung, sudah berlangsung berpuluh tahun. Sekitar 10.000 hektar wilayah adat Talang Parit, beralih jadi perkebunan sawit ini. Area seluas itu merupakan ruang hidup dan kekayaan alam masyarakat adat sub Komunitas Talang Mamak di Indragiri Hulu, Riau ini, seperti Danau Sarang Burung, Layang Mandi dan Pulai Belayar. Ketiga danau atau lubuk ini menyimpan ragam jenis ikan.
- Dua danau sudah lama lenyap karena kering oleh parit perusahaan dan hutan yang nyaris hilang. Tersisa, Danau Pulai Belayar. Menurut kepercayaan lokal, danau satu ini dianggap keramat karena selalu ada rintangan kala alat berat perusahaan hendak membuka lahan di sekitarnya. Meski begitu, Masyarakat Talang Parit tidak serta merta dapat mengambil manfaat karena terletak di tengah areal perusahaan, masyarakat tak punya akses bebas.
- Salah satu dampak yang dirasakan Masyarakat Adat Talang Parit, adalah krisis air bersih. Sebagian Masyarakat Talang Parit mengeluhkan ketersediaan air bersih karena sungai makin keruh dan dangkal. Batin Irasan bilang, sebelum 1980-an, air sungai langsung diminum tanpa dimasak. Sekarang, tenaga kesehatan justru tidak merekomendasikan masyarakat minum air sungai lagi.
- Andi Wijaya, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru, mengatakan, penyebab konflik Masyarakat Adat Talang Mamak karena perampasan sumber daya alam oleh perusahaan berlarut-larut. Keberadaan masyarakat termasuk wilayah adatnya, tak ada pengakuan pemerintah daerah.
Sekitar 10.000 hektar wilayah adat Talang Parit, beralih jadi perkebunan sawit PT Inecda Plantation. Area seluas itu merupakan ruang hidup dan kekayaan alam masyarakat adat sub Komunitas Talang Mamak di Indragiri Hulu, Riau ini, seperti Danau Sarang Burung, Layang Mandi dan Pulai Belayar. Ketiga danau atau lubuk ini menyimpan ragam jenis ikan.
Dua danau sudah lama lenyap karena kering oleh parit perusahaan, hutan pun terkapling-kapling. Tersisa, Danau Pulai Belayar. Menurut kepercayaan lokal, danau satu ini dianggap keramat karena selalu ada rintangan kala alat berat perusahaan hendak membuka lahan di sekitarnya.
Meski begitu, Masyarakat Talang Parit tidak serta merta dapat mengambil manfaat karena terletak di tengah areal perusahaan, masyarakat tak punya akses bebas.
“Konflik kami dengan Inecda lebih 20 tahun. Hutan tak ada lagi. Keramat sudah habis. Yang tak enaknya lagi, kebun karet masyarakat dikelilingi parit perusahaan,” kata Batin Irasan, Ketua Adat Talang Parit. Malam itu dia pakai jaket hitam celana pendek.
Tak sekedar mencari ikan. Masyarakat Adat Talang Parit, maupun Talang Mamak secara umum, juga perlu damar, rotan juga daun rumbai dari hutan buat bedukun dan gawai—pesta adat pernikahan. Material bangunan tempat tinggal mereka juga dari hutan. Mulai dari tiang penyangga sampai atap. Ciri khas bangunan seperti ini dapat dilihat pada rumah seorang dukun.
Marusi, Dukun Talang Parit mengatakan, hutan musnah akibat pembangunan kebun sawit menyulitkan caru bahan obat-obatan baik akar, kulit kayu, daun-daunan dan bermacam ranting. Isitilah lokal menyebutnya, sembilan melata di bumi, sembilan melata di awang-awang dan sembilan melata di langit.
Lagi pula, katanya, bahan dasar ramuan itu tak sembarang beli di pasar. Harus langsung dari hutan.
“Paling sulit cari bayas (seperti kelapa tapi berduri) untuk obati perut keras, lemah, lesu dan linu. Begitu juga damar buat ritual kelahiran dan kematian. Dulu ada di hutan yang kini jadi perkebunan sawit. Kalau pohon habis, tak ada lagi dukun di Talang Parit. Banyak terancam adat kami,” katanya.
Prediksi Marusi, tiga keturunan masyarakat Talang Parit atau 25 tahun akan datang, tradisi bedukun tidak akan berjalan. “Tempat kami berpijak sudah patah. Tempat bergantung sudah putus. Kalau hutan wilayah kami tak ada, macam mana kami mau berpijak?”
Baca juga: Orang Talang Mamak Menagih Perlindungan Negara
Krisis air bersih
Masyarakat Adat Talang Parit, seperti Talang Mamak kebanyakan, dikenal karena sebagai peladang berpindah. “Masuknya Inecda, sangat menyulitkan masyarakat. Hutan keramat Talang Parit telah ditelanjangi. Bukan mencari hasil hutan saja, dulunya masyarakat pun tinggal di dalam hutan. Kurang lebih 6.000 hektar hutan ketika kami masih beladang, sekarang sudah habis,” kata Irasan.
Dampak kehilangan hutan tidak berhenti di situ. Kini, sebagian Masyarakat Adat Talang Parit menghadapi masalah baru. Mereka mengeluhkan ketersediaan air bersih karena sungai makin keruh dan dangkal. Kata Irasan, sebelum 1980-an, air sungai langsung diminum tanpa dimasak. Sekarang, tenaga kesehatan justru tidak merekomendasikan masyarakat minum air sungai lagi.
Senada, Sudiman, Kepala Desa Talang Parit, bilang, dua dari empat dusun di wilayahnya tergolong krisis air bersih. Dusun I, karena letak di perbukitan tidak dapat membangun sumur bor terlalu dalam. Meski sudah mencapai 30 meter, mesin tetap belum berhasil menyedot air layak konsumsi. Pipa air sudah mentok oleh bebatuan di dalam tanah.
Adapun Dusun IV, wilayah rawa dan bergambut. Air merah. Masyarakat di sana pekerja kebun sawit PT Perkebunan Nusantara V. Pernah dibuat sumur cincin dua titik, tetapi tidak membuahkan hasil. Meski kedalaman 15 meter, tetap tidak mendapati air bersih.
Solusinya, Sudiman bangun sumur bor di sebelah kantor desa yang terletak di Dusun II, beberapa bulan setelah dilantik pada 2018. Dia pakai dana desa. Kini, kolam itu jadi sumber air gratis bagi masyarakat dusun lain yang susah air. Masyarakat, katanya, angkut air dengan sepeda motor, tiap hari, terutama kala musim kemarau.
“Wilayah Dusun II dan III paling mudah dapatkan air bersih. Sumur bor sedalam 12 sampai 15 meter cukup menyedot air layak konsumsi. Rata-rata masyarakat dua dusun ini punya sumur bor atau sumur cincin mandiri di rumah masing-masing,” katanya.
Baca juga: Orang Talang Mamak, Bertahan Hidup di Hutan Tersisa
Belum ada pengakuan
Perselisihan Masyarakat Adat Talang Parit dengan Inecda mulai mencuat ke permukaan sekitar 1997. Satu tahun setelah Irasan disumpah secara adat sebagai kepala desa.
Empat Bupati Indragiri Hulu tidak mampu menyelesaikan masalah. Bupati sekarang pun belum menunjukkan tanda-tanda berlaku adil terhadap persoalan masyarakatnya ini.
Menurut Andi Wijaya, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru, penyebab konflik Masyarakat Adat Talang Mamak karena perampasan sumber daya alam oleh perusahaan berlarut-larut. Keberadaan masyarakat termasuk wilayah adatnya, kata Andi, tak ada pengakuan pemerintah daerah. Masalah ini, katanya, sejalan dengan penegakan hukum yang tak memihak masyarakat adat.
Pasca terbit Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, bupati atau walikota harus membentuk panitia masyarakat hukum adat.
Di Indragiri Hulu, kabupaten tempat tinggal Masyarakat Adat Talang Mamak, bupati sebenarnya menerbitkan surat keputusan pembentukan panitia itu sejak 22 Januari 2018. Struktur ini diketuai sekretaris daerah, seperti mandat Pasal 3 ayat 2.
Gilung, Ketua Aliansi Masyarakat Hukum Adat (AMAN) Indragiri Hulu, bilang, kinerja Panitia Penetapan Masyarakat Hukum Adat belum ada perkembangan berarti alias mentok, hingga kini. Padahal, katanya, Masyarakat Adat Talang Mamak dari puluhan kebatinan sudah menyerahkan sejumlah data terkait wilayah, profil, hukum, sistem sosial hingga identitas masyarakat adat.
“Maret 2022, kami pertemuan dengan wakil bupati. Kami juga serahkan data ke gubernur, Dinas Kehutanan. Setelah itu, kami surati gubernur dan bupati minta perkembangan, tapi tak ada respon,” katanya, 29 Maret lalu.
Hendrizal, Sekretaris Daerah Indragiri Hulu juga Ketua Panitia Penetapan Masyarakat Hukum Adat, hanya mengatakan tim sudah bekerja, cari data dan sekarang masih proses di bagian hukum sekretariat daerah. Namun dia enggan jelaskan lebih jauh.
Roma Doris, Sekretaris Panitia cum Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, menerangkan, tengah mengkaji perubahan surat keputusan beberapa bulan belakangan terutama terkait dinamika tugas yang belum diatur. Salah satunya, mendetailkan atau penjelasan tugas lebih akurat. Bisa jadi, bentuk tidak lagi berupa surat keputusan tetapi peraturan bupati.
Roma tak menampik sekretariat sudah terima usulan kelompok masyarakat terkait penetapan wilayah-wilayah hukum adat. Namun, katanya, panitia tak memiliki rencana waktu kerja sampai permohonan masyarakat diakui. Lambatnya proses ini ditengarai karena dua hal, situasi politik pergantian kepemimpinan daerah dan pandemi COVID-19.
Pengaduan ke RSPO
Irasan mengemban jabatan kepala desa hampir 10 tahun. Dia sempat menghadapi kebuntuan karena tak kunjung berhasil memperjuangkan hak-hak mereka. Terlebih, dia juga bathin generasi ke 39 dalam Masyarakat Adat Talang Parit. Selama melanglang buana ke daerah hingga pusat, termasuk mendatangi kantor Inecda di Jakarta, dia bisa saja berhenti bersuara dan menerima bermacam tawaran untuk dirinya semata.
“Saya tidak bisa dibeli pakai duit. Saya tetap pegang teguh dan jaga wilayah adat. Sesuai mandat saat dilantik jadi bathin. Walau miskin, saya tidak mau diberi uang, karena sumpah orang tua,” katanya.
Sekitar 2019, Irasan kembali menemui jalan baru untuk memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat Talang Parit. ASM Law Office, kantor hukum yang mendorong kebijakan berkelanjutan, menyejahterakan dan berkeadilan, mendampingi Irasan serta sejumlah tokoh masyarakat adat mengadukan anak perusahaan Samsung itu ke markas Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Kuala Lumpur, Malaysia.
Pengaduan dua tahun lalu itu menyoal tiga pokok. Pertama, Inecda beroperasi di areal Masyarakat Adat Talang Parit tanpa persetujuan. Kedua, Inecda tidak mengembangkan kebun plasma buat masyarakat adat. Ketiga, Inecda tidak tak memiliki mekanisme pengaduan internal untuk diakses pemangku kepentingan.
“Di Kuala Lumpur, saya sebenarnya merasa malu perkara Masyarakat Adat Talang Parit sampai ke luar negeri. Sementara puluhan tahun tidak pernah jumpa keadilan di dalam negeri. Padahal, bukan mau mengusir perusahaan. Hanya meminta hak kebun plasma atau bagian masyarakat adat kami,” kata Irasan.
Andiko Sutan Mancayo, Senior Lawyer AsM Law Office sebut, konflik Talang Parit berlangsung cukup lama. Banyak proses dilewati dan pendampingan tetapi tidak ada kemajuan atas kasus itu. Inecda anggota RSPO. masyarakat berinisiatif mengajukan komplain. Berharap ada penanganan tentang praktik perusahaan di wilayah adat Talang Parit.
Perkembangan terbaru penanganan kasus ini, tim investigasi independen RSPO sudah turun untuk cari fakta dari semua pihak, minggu lalu. Tim ini akan buat laporan dan mengajukan ke komplain panel RSPO untuk dapatkan putusan. Ia mencakup penyediaan plasma dan wilayah keramat yang tidak dapat diakses dan bahkan telah rusak. Juga mengenai pemenuhan kewajiban hukum atau keuntungan perusahaan yang dapat diberikan pada masyarakat.
“Nanti komplain panel RSPO akan rapat menyidangkan laporan itu. Lalu akan lahirkan keputusan tentang kasus ini. Rekomendasinya, mencakup semua poin yang dilaporkan. Yang diperiksa juga tiga poin diajukan itu,” kata Andiko, via telpon, 26 Maret 2023.
Mengenai wilayah keramat Talang Parit, katanya, harus direkonstruski kembali, seperti Danau III, harus restorasi lagi. Kalau berada dalam areal inti, bisa jadi dikeluarkan dan diberikan akses pada masyarakat sepenuhnya.
“Kalau ada keinginan, ini akan jadi mudah. Berkaca dari kasus-kasus yang pernah ada. Poin penting lain, ada hak plasma perusahaan belum diberikan perusahaan. Hak masyarakat Talang Parit harus ditunaikan oleh perusahaan.”
Joko Dwiyono, Humas Inecda Plantation, tidak menampik laporan Talang Parit ke RSPO ini. Dia memberi tanggapan namun keberatan dikutip. “No coment saja saya,” katanya lewat aplikasi perpesanan, 28 Maret 2023, setelah beberapa hari minta waktu buat koordinasi ke legal perusahaan.
Cerita Irasan, manajemen Inecda dan Masyarakat Adat Talang Parit pernah meneken kesepakatan pembangunan 886 hektar kebun plasma. Lahan sempat dibuka. Belakangan perusahaan menghentikan kegiatan iuni karena alasan seret dana.
Irasan ketiban musibah kebakaran rumah pada 2001 dan turut menghanguskan bukti tertulis itu. Areal yang dicanangkan buat masyarakat itu pun berbalik jadi kebun inti perusahaan.
“Satu pokok pun kami tidak pernah dikasih. Ganti rugi juga tidak pernah ada,” keluhnya.
Muda peduli
Dampak berkurangnya hutan Talang Parit juga dirasakan generasi muda Talang Parit. Dita, misal, menggambarkan kondisi itu lewat perhelatan gawai—pernikahan Elni dan Ijusan—yang berlangsung tiga hari tiga malam di rumahnya.
Dalam pesta adat ini, sekitar 70% perkakas dan bahan lain diperoleh dari hutan, seperti rotan dan kulit kayu, sendok tempurung, tengkalang (tempat sirih) dan tapik (kayu berbentuk dayung untuk menepuk pulut setelah dikukus).
Sebagian peralatan itu tidak diproduksi sendiri lagi dari hutan. Kebanyakan dibeli ke pasar atau dari Masyarakat Adat Talang Mamak lain yang wilayah adat masih ada hutan.
Cara lain, tetangga atau kerabat meminjamkan barang-barang itu. Dita bilang, sumber bahan baku dari hutan turut melenyapkan perajin di kalangan Talang Mamak.
“Khusus Talang Parit, sekarang, hampir semua peralatan susah dicari. Pastinya harus beli di luar. Kalau peralatan ini tidak ada, tentu adat kami tidak berjalan. Padahal, orang Talang Mamak benar-benar memegang teguh adat. Bukan hanya untuk nikah atau mati. Tapi mulai dilahirkan sampai habis nafas harus ada adat,” kata Dita.
Dia menghitung, kesulitan memperoleh hasil hutan untuk keperluan masyarakat adat, sejak berumur lima tahun. Sekarang, justru perlu biaya besar untuk selenggarakan pesta adat.
Sebagai Ketua Kelompok Perempuan Talang Parit, Dita berharap hutan tersisa tidak tergerus lagi. Dia ingin perempuan Talang Mamak, secara umum, melangkah dan berinteraksi lebih jauh. Termasuk terlibat dalam pengambilan keputusan, seperti dalam mempertahankan wilayah adatnya.
Hairil, pemuda Talang Parit juga berpandangan sama. Sebagai anak laki-laki yang kerap disuruh orang tua cari ikan, dia susah mendapatkan lauk di sungai-sungai terdekat dari rumah. Kalau pun ada, menunggu pasang tinggi atau musim hujan dan banjir. Kalau tidak, mesti pergi ke pasar atau menunggu penjual keliling menjajakan dagangan dengan sepeda motor.
Masyarakat Adat Talang Parit, cari ikan dengan lukah atau jaring. Lukah merupakan alat tangkap tradisional terbuat dari bilah-bilah bambu dianyam dengan rotan membentuk bulat panjang. Salah satu ujung agak kuncup. Ia dipasang semalaman di sungai, parit atau rawa.
Selain lukah, ada pula tangkul, tangguk, tajur dan tengkalak. Tiap alat digunakan di tempat-tempat tertentu. Paling terkenal, Sungai Ekok. Sungai ini melintasi tujuh desa wilayah adat Talang Mamak: Talang Sungai Ekok, Talang Durian Cacar, Selantai, Talang Perigi, Talang Kedabu, Talang Sungai Limau dan Talang Parit. Bermuara ke Sungai Indragiri. Ikan yang biasa didapat seperti sepat, puyu, puyau dan gabus.
Selain karena sungai mendangkal dan tercemar, masyarakat adat juga menghadapi pencari ikan dengan putas dan setrum. Kebiasaan dari luar ini jadi melekat dalam lingkup mereka.
Sudiman beberapa kali musyawarah bersama tokoh masyarakat, adat dan agama, melarang tindakan merusak sungai ini. Sempat ada aturan jeda cari ikan selama dua tahun, atau hanya boleh diambil pada tahun ketiga, tetapi tak ditaati bersama.
Sebagai generasi muda Talang Parit, Hairil, ingin mengenalkan budaya Talang Mamak ke luar. Terlebih lagi agar adat istiadat mereka tidak lekang sampai kapan pun. Dia mulai merasakan budaya pudar. Waktu kecil, masih sering ikut orang tua ke hutan. Beladang, cari ikan, burung maupun mandi di sungai.
“Sekarang, hutan berkurang jadi kebun sawit. Sungai besar jadi parit karena pengkotakkan lahan. Pohon-pohon besar susah ditemukan. Sejak hutan banyak ditumbang, jarang main dan bersentuhan dengan hutan.”
*******