Mongabay.co.id

Merawat Kebun, Menjaga Hutan Kemenyan Desa Simardangiang

 

 

 

 

 

Endi Panjaitan, pulang ke kampung halaman di Desa Simardangiang, Pahae, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, setelah merantau beberapa tahun.   Pria 35 tahun ini pulang untuk merawat kebun (hutan) kemenyan (tombak haminjon) warisan orangtuanya.

“Bapak sudah tua. Dia gak sanggup lagi mengurus tombak haminjon, sudah mulai sakit-sakitan,” kata Endi.

Bersama dua temannya, Endi mengajak saya menelusuri kebun kemenyan seluas 20 hektar dengan rata-rata pohon masih berusia di bawah lima tahun. Meski belum waktu panen, Endi tetap memisahkan getah dari batang kemenyan (mangaluak) yang baru saja dilukai (mangguris) beberapa minggu lalu.

“Meskipun hasil belum maksimal, lumayan masih ada yang bisa dibawa pulang,”  katanya.

Setiap minggu,  Endi membawa pulang 20-40 kilogram getah kemenyan.

Sepanjang hari hujan mengguyur Tapanuli Utara.  Kami menginap di pondok kayu Endi berukuran 3×3 meter. Meski kecil tetapi mampu menampung kami berempat menginap selama di hutan.

Desa Simardangiang ada tiga dusun yakni, Simardangiang, Sibiobio, dan Lumban Gotting,  yang dihuni 728 jiwa. Kampung ini dibuka keturunan Marga Sitompul, dengan sumber ekonomi mayoritas dari kemenyan dan aren.

Menurut buku berjudul ‘Pengolahan Kemenyan di Dataran Tinggi Batak,’  karya Esther Katz pada 2001, produksi kemenyan di Tapanuli pernah mencapai 4.000-5.000 ton per tahun pada 1993.  Ketika itu, masa jayanya petani kemenyan tradisional di Tapanuli Utara.

Sebagai tulang punggung keluarga, Endi bertanggung jawab menjaga lahan warisan dan melanjutkan pekerjaan ayahnya sebagai petani kemenyan. Kini, bersama dengan temannya, Endi berupaya mempertahankan kemenyan sebagai kekayaan alam dan warisan budaya nenek moyang mereka.

 

 

***

Data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi kemenyan di Tapanuli Utara turun dari 4.730 ton jadi 4.037 ton periode 2010-2020. Meski begitu, Taput menyumbang kemenyan terbesar atau sekitar 70,3%  di Sumatera Utara dengan 70,3% pada 2020.

Ada tiga jenis kemenyan tumbuh di sana.   Kemenyan buluh dihargai Rp80.000 per kg, kemenyan durame Rp200.000 per kilogram, dan paling mahal kemenyan Toba Rp350.000 perkilogram.

Harga kemenyan, katanya,  pernah turun drastis dari Rp300.000 jadi Rp80.000 per kilogram.

Harga itu,  katanya, belum termasuk potongan ke tengkulak dan Parpatihan, lembaga adat yang mengurus tata kelola hutan Tapanuli.

Tampan Sitompul, Kepala desa juga petani kemenyan ini kesal pada pemerintah yang luput memperhatikan harga kemenyan.

“Rasanya negara masih memperlakukan kemenyan seperti ganja, menghasilkan uang, tetapi dianggap hasil dari barang ilegal. Lebih dari Rp1 miliar setahun penghasilan dari kemenyan ini, tetapi tak masuk dalam agenda pemerintah,” kata Tampan.

Endi dan petani kemenyan di Desa Simardangiang, hidup bergantung kemenyan.  Walau hasilkan Rp1,5 juta per minggu dari menjual getah kemenyan, dia bisa membiayai adik perempuannya yang masih kuliah di perguruan tinggi swasta.

Menurut Tampan, di masa lalu seorang petani kemenyan bisa menghasilkan hingga 200 kg kemenyan per tahun dengan penghasilan Rp70-Rp100 juta.

“Saat ini, mereka hanya mampu mengumpulkan 70 kg per tahun, itu pun sudah jago,” katanya.

Tapanuli Utara merupakan penghasil kemenyan terbesar di Sumatera Utara, tetapi, katanya,  petani kemenyan di daerah itu menghadapi masalah pemasaran produk. Untuk mengatasi ini, pemerintah daerah berencana membentuk koperasi dan riset pemasaran kemenyan baik dalam maupun luar negeri.

Nikson Nababan, Bupati Tapanuli Utara, menugaskan Dinas Tenaga Kerja untuk memodifikasi alat penyulingan kemenyan agar petani bisa menghasilkan produk jadi atau setengah jadi daripada menjual bahan mentah.

“Ini akan memberikan keuntungan lebih besar bagi petani dan meningkatkan nilai tambah produk kemenyan,” katanya.

Bagi Endi dan petani kemenyan lain, masa depan mereka tampak lebih cerah dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan nilai tambah dan pemasaran kemenyan.

Getah Kemenyan. Foto: Barita N. Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

Lembaga adat urusan hutan

Di Tapanuli Utara, terdapat institusi adat yang bertanggung jawab atas pengelolaan hutan, disebut Parpatihan. Tampan mengatakan, lembaga adat ini untuk mengatur administrasi hutan, mencatat hasil kemenyan, menyelesaikan konflik perbatasan, perencanaan perluasan wilayah kemenyan, serta menangani masalah pencurian.

“Bagi yang kedapatan mencuri, akan dikenai sanksi membayar lima kali lipat,” katanya.

Menuju kebun kemenyan Endi, perlu sekitar satu jam dengan sepeda motor dari pemukiman. Sebelumnya, petani kemenyan harus berjalan kaki seharian menuju hutan. Meski masih muda, Endi cukup dihormati di Simardangiang.

Kayaknya ada yang masuk ke sini mengambil getah. Bekasnya masih baru. Bisa saja saya melaporkan ke Parpatihan, tapi tak usahlah, urusannya bisa panjang,” ujar Endi sambil memanjat pohon kemenyan dan memisahkan getah dengan ragat (alat cukil).

Selain Parpatihan, ada lembaga adat lain yang disebut Kongsi, dibentuk pada 1990-an oleh para tetua adat Simardangiang. Kongsi bertugas mengelola tombak haminjon dan hasilnya. Secara harfiah, kongsi berarti gotong-royong.

Lembaga kongsi terbagi menjadi dua: Kongsi Saur Matua (beranggotakan orang tua) dan Kongsi Doli-doli (anak muda). Kongsi Saur Matua mengelola wilayah kolektif seluas 3.000 hektar dengan anggota 25 keluarga. Untuk Kongsi Doli-doli diperkirakan punya 20 anggota yang mengelola lahan kemenyan seluas 850 hektar.

Kedua organisasi itu memiliki wilayah adat kolektif masing-masing dan dikelola di Rumah Kongsi, yaitu pusat pasar, tempat bertemu, dan tempat mengumpulkan seluruh hasil kemenyan warga.

Sayangnya, tradisi kolektif ini perlahan mulai memudar dan individu petani sudah langsung bertemu dengan penampung (tengkulak).

 

Alat sadap getah kemenyan. Foto: Barita News Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

 

***

Desa Simardangiang memiliki hutan adat yang jadi sumber penghidupan masyarakat. Pada 2021, petugas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mematok hutan itu jadi kawasan hutan lindung.

Masyarakat adat merasa khawatir, kelola hutan terancam regulasi pemerintah, investasi, dan praktik ilegal di luar masyarakat adat itu sendiri.

Nikson  mengatakan, sudah membuat Peraturan Daerah (Perda) No. 4 Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Perda ini untuk memberikan pengakuan terhadap wilayah adat masyarakat dan melindungi hak-hak atas sumber daya alam di wilayah adat mereka.

“Saat ini, ada sembilan komunitas adat sedang digodok agar diakui keberadaan wilayah adat mereka oleh KLHK.”  kata Nikson.

Hengky Manalu, dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, mengatakan, klaim hutan lindung tak melibatkan masyarakat adat yang sudah ratusan tahun kelola hutan sendiri. Dia khawatir,  masuk pihak asing, seperti perusahaan, yang akan merusak sumber kehidupan warga.

“Di tombak kemenyan kami dibuat tanda hutan lindung. Jika pemerintah peduli, tombak kami itulah dulu diakui, supaya kami tenang,” kata Tampan.

Di Tapanuli Utara juga dikenal istilah ‘Hutan Harangan’ yang merupakan hutan larangan kelolaan masyarakat dengan kepemilikan komunal atau pribadi.

Hutan Tapanuli Utara jadi sumber segala ,dari pangan sampai obat-obatan. Ia juga rumah bagi keanekaragaman hayati.

Tak hanya kemenyan, hutan Tapanuli juga menyediakan ikan, pisang, petai, jengkol, dan durian. Selain itu, penduduk juga mengelola aren dari hutan sebagai sumber penghasilan dengan memasak air jadi gula merah.

“Di Lobu Tobung, cadangan hutan kemenyan 3.000 hektar dapat memenuhi kebutuhan pangan tiga sampai lima generasi,” kata Dana Tarigan, Direktur Green Justice Indonesia.

 

Endi Panjaitan, petani kemenyan Simardangiang sedang menderes getah kemenyan. Foto: Barita N. Lumbanbatu/ Mongabay Indonesia

******

Exit mobile version