- Pemerintah Daerah Rejang Lebong, Bengkulu, telah mengeluarkan Peraturan Daerah [PERDA] Kabupaten Rejang Lebong Nomor 5 Tahun 2018, tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Rejang Lebong. Adanya perda, konflik tanah masyarakat adat di desa ini bisa
- Pemerintah Daerah Rejang Lebong mendukung pengembangan masyarakat adat di wilayahnya agar berkembang.
- Rancangan Undang-Undang [RUU] Masyarakat Hukum Adat menjadi bahasan utama Rapat Kerja Nasional [Rakernas] AMAN VII yang berlangsung 17-19 Maret 2023. Sejak 14 tahun lalu, RUU ini masih terkatung, belum disahkan pemerintah.
- Masyarakat adat, harus melakukan perluasan partisipasi politik di setiap lini. Hal ini penting dilakukan, agar AMAN dapat mendorong kebijakan politik yang mendukung gerakan masyarakat adat.
Sunarta [39] tak pernah melupakan peristiwa September 2016. Ketika itu, dia menjabat Kepala Dusun 1, Desa Lubuk Kembang, Rejang Lebong, Bengkulu.
Hari itu, ia diamanatkan pemerintah desa untuk menghadiri pertemuan dengan Pemerintah Daerah Rejang Lebong di Desa Sukarami.
Di tempat pertemuan, dia melihat perwakilan desa lain, seperti Desa Dusun Sawah, Desa Lubuk Kembang, Desa Sukarami, dan Desa Karang Jaya.
“Di sana kami bertemu Balai Pemantapan Kawasan Hutan [BPKH] Wilayah XX Bandar Lampung,” kata Sunarta, di sela Rakernas AMAN XII di Kutei [Desa] Lubuk Kembang, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, Minggu [19/03/2023].
Ketika itu, setiap perwakilan diminta mencari patok batas zaman Belanda di Tebo Leceak [sebutan warga lokal untuk wilayah Bukit Basah].
Sunarta bingung akan maksud tersebut. Namun, dia tetap menemani pihak BPKH Bandar Lampung turun ke desanya, menandai banyak titik dengan alat GPS.
Masyarakat yang kebunnya ditandai bertanya, untuk apa ini. Sunarta tak bisa menjawab. Tidak berselang lama, kabar dari BPKH menyatakan lahan yang sudah ditandai diklaim sebagai kawasan Hutan Produksi Terbatas [HPT] seluas 125,8 hektar.
Sunarta kaget dan banyak warga Desa Lubuk Kembang panik. Sebab, lahan yang diklaim tersebut merupakan kebun kopi warga yang dikelola turun temurun. Bahkan, ada 35 kepala keluarga yang memiliki sertifikat hak milik [SHM] yang suratnya sudah diterbitkan sejak 1985 hingga 2016. Total, 117 kepala keluarga yang kebunnya diklaim masuk HPT.
“Suasana panas, warga tidak suka dengan cara pemerintah mengklaim Tebo Leceak sebagai wilayah HPT,” jelasnya.
Pemerintah Desa pun bersurat ke Pemkab Rejang Lebong dan Dinas Lingkungan Hidup serta Kehutanan [DLHK] Provinsi Bengkulu. Namun, tidak ada tanggapan.
Pada 2017, masyarakat Desa Lubuk Kembang didampingi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN], melakukan pemetaan wilayah adat Kutei [Desa] Lubuk Kembang.
“Setahun berjalan, atas dukungan banyak pihak, termasuk Pemerintah Daerah Rejang Lebong, permasalahan itu redah,” jelasnya.
Baca: Ketika Perlindungan Masyarakat Adat Minim, Hutan Belum Ada buat Rakyat
Tensi masyarakat turun setelah Pemerintah Daerah Rejang Lebong mengeluarkan Peraturan Daerah [PERDA] Kabupaten Rejang Lebong Nomor 5 Tahun 2018, tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Rejang Lebong.
“Perda ini ditetapkan 15 September 2018, diundangkan dan berlakunya pada 17 September 2018,” papar Sunarta.
Ketua Pengurus Daerah AMAN Rejang Lebong, Khairul Amin, menjelaskan Lubuk Kembang adalah desa yang cukup tua di Rejang Lebong.
“Sejak zaman penjajahan sudah ada,” katanya kepada Mongabay Indonesia di acara yang sama.
Kutei, kata Khairul, adalah Bahasa Suku Rejang untuk sebutan desa. Masyarakat adat Kutei Lubuk Kembang ini mayoritas petani kopi dan petani sawah.
“Adanya perda, konflik tanah masyarakat adat bisa diselesaikan.”
JT. Pareke dan Fahmi Arisandi, dosen Fakultas Hukum, Universitas Bengkulu, dalam studinya berjudul “Pengakuan Masyarakat Hukum dan Perlindungan Wilayah Adat di Kabupaten Rejang Lebong” yang diterbitkan Bina Hukum Lingkungan Volume 4, Nomor 2, April 2020 menjelaskan, perda tersebut merupakan upaya pemerintah daerah untuk menyelesaikan konflik. Termasuk, konflik penguasaan hutan.
“Hal ini dapat terlihat dengan diakuinya Kutei sebagai unit sosial dari masyarakat hukum adat di Kabupaten Rejang Lebong,” tulisnya.
Perda ini juga mengatur tata kelola ruang wilayah adat, yaitu kewajiban masyarakat hukum adat untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dan sumber daya alam berkelanjutan.
“Hal ini untuk memastikan aspek lingkungan dan sumber daya alam tetap diperhatikan.”
Baca: Organisasi Masyarakat Sipil Protes Perppu Cipta Kerja: Ancam Lingkungan dan Masyarakat
Peran aktif pemda
Bupati Rejang Lebong, Syamsul Effendi, menjelaskan pemerintah daerah mendukung pengembangan masyarakat adat di wilayahnya agar berkembang.
Apalagi adat istiadat di Kabupaten Rejang Lebong masih kental. Di kabupaten ini, ada dua suku lokal, yaitu Suku Rejang dan Suku Lembak.
“Pemerintah daerah telah membuat payung hukum berupa perda, serta menyiapkan program-program masyarakat adat agar terjaga,” terang Syamsul, saat sambutan Rakernas AMAN VII di Rejang Lebong, Jumat [17/03/2023].
Syamsul menjelaskan, di Kabupaten Rejang Lebong ada lima kesatuan masyarakat adat yang terbentuk yakni Kutei Air Lanang, Kutei Bangun Jaya, Kutei Babakan Baru, Kutei Cawang, dan Kutei Lubuk Kembang.
Pemda Rejang Lebong juga mengajukan tiga ribu hektar lahan sebagai kawasan hutan adat ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Wilayahnya tersebar di enam desa di enam kecamatan: Kayu Manis dan Air Duku [Kecamatan Selupu Rejang], Babakan Baru dan Bangun Jaya [Kecamatan Bermani Ulu Raya], Lubuk Kembang [Kecamatan Curup Utara], dan Air Lanang [Kecamatan Curup Selatan].
“Hutan adat diharapkan memberikan kenyamanan masyarakat dalam mengelola sekaligus menjaga kelestariannya,” jelasnya.
Baca juga: Terpilih Kembali jadi Sekjen AMAN, Rukka: Perkuat Basis Masyarakat Adat
Rancangan undang-undang
Rancangan Undang-Undang [RUU] Masyarakat Hukum Adat menjadi bahasan utama Rapat Kerja Nasional [Rakernas] AMAN VII yang berlangsung 17-19 Maret 2023.
Sejak 14 tahun lalu, RUU ini masih terkatung, belum disahkan pemerintah. “Ini terlalu lama mengendap di Dewan Perwakilan Rakyat [DPR],” terang Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal AMAN, di sela acara.
Dari catatan Rukka, RUU tersebut masih berbelit dalam mengatur proses pengakuan masyarakat adat. Puncaknya, ada klausul evaluasi masyarakat adat.
“Undang-undang Masyarakat Adat harus ada, sebagai pengakuan dan kedaulatan.”
Rukka menyatakan, keberadaan masyarakat adat sejatinya diakui UUD 1945, masalahnya mandek di situ saja. Bahkan, banyak peraturan digunakan hanya untuk melegalisasi perampasan wilayah adat, warisan leluhur kita.
Misalnya, Undang-Undang Mineral dan Batubara Nomor 3 tahun 2020 yang memberikan keleluasaan kepada negara bersama oligarki, justru merampas dan merusak wilayah adat, serta banyak mengkriminalisasi masyarakat.
‘Hingga, Peraturan Pemerintah [PP] Nomor 64 Tahun 2021 tentang Bank Tanah, menjadi instrumen perampasan tanah petani dan masyarakat adat.”
Masyarakat adat, menurut Rukka, harus melakukan perluasan partisipasi politik di setiap lini. Hal ini penting dilakukan, agar AMAN dapat mendorong kebijakan politik yang mendukung gerakan masyarakat adat.
Berdasarkan data AMAN, sejak 2007 hingga sekarang, ada 500 orang kader menjadi kepala desa, kepala daerah, dan anggota legislatif.
Partisipasi itu membuahkan hasil pembebasan 148.000 hektar hutan adat. Juga, lahirnya 197 Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat se-Nusantara, salah satunya di Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.