Mongabay.co.id

Cerita Para Petani Kelola Sekaligus Pulihkan Hutan Kamojang

 

 

 

 

 

Amin Maulana ingat betul tanaman di lahan Garapan bersama warga Desa Ibun, Kamojang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat dilahap si jago merah pada 1996. Kebakaran dan angin besar rutin kala kemarau panjang mendera di blok Gunung Rakutak, dalam konsesi PT Perhutani di Jawa Barat. Tanaman petani hangus, terbakar dan berulang setiap tahun.

“Kebakaran terjadi ya karena lahan dibiarkan Perhutani. Sejak dikelola masyarakat sudah tak kebakaran lagi,” katanya saat ditemui Mongabay di kebun kopinya, Maret lalu.

Amin, salah seorang petani sayur dari Desa Ibun yang menggarap lahan Perhutani sejak 1990-an. Dia menanam di sela-sela tegakan kayu utama.

Sayangnya, skema regulasi ‘kemitraan’ yang ditawarkan justru mendiskriminasi para petani. Petani pun sering meninggalkan kawasan dan akhirnya terbengkalai.

Bersama dengan kelompok taninya, dia menyewa lahan di luar kawasan untuk ditanami sayuran agar bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Setiap mau menanam disini, terbentur dengan regulasi, petani didiskriminasi. Padahal mah kita cuma bikin lahan jadi hejo,” katanya sambil memetik pucuk kopi.

Meski biasa menjadi petani sayur, kini Amin mulai tanam kopi, alpukat dan tanaman buah lain. “Kita tidak muluk-muluk. Maunya hutan lestari, rakyat sejahtera.” Tulisan itu pula yang tertera di bagian belakang kaosnya.

Suryana pun merasakan hal sama. Regulasi bikin warga sulit kelola kawasan hutan hingga kadang membuat mereka menyerah dan pergi meninggalkan lahan. Mereka lelah,  tanaman seringkali terbakar.

 

Warga Desa Ibun, perlahan berupaya memulihkan kembali l;ahan. Sebagian lahan sudah berhutan, sebagian masih ilalang. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Bersama Amin, Suryana juga sempat kembali mengelola lahan dalam program rehabilitasi lahan dari BKSDA Jawa Barat pada 2006. Meski sempat terbakar pada 2015, beberapa pohon endemik seperti puspa dan damar masih tersisa. Hingga 2015, mereka coba kembali Kelola lahan di kawasan dan mengajukan izin pada 2017.

“Waktu itu yang tersisa hanya kaso dan kaso saja di hamparan ini.” Kaso, merupakan nama lokal untuk ilalang yang tumbuh di lahan kritis. Akar ilalang sampai 1,5 meter. Kondisi ini jadi kendala petani menanam tanaman produktif.

Pembersihan lahan, katanya, perlu biaya sekitar Rp40 juta per hektar. “Ya, kami mencicil pelan-pelan dalam membuka lahan. Karena tidak ada biaya.”

Per 1.000 meter persegi ditekuni untuk buka dan tanam. Sampai saat ini baik Amin dan Suryana, sudah mengelola hampir 80% dari 1,2 hektar yang diberikan melalui  izin pemanfatan hutan perhutanan social (IPHPS).  Secara perlahan, wilayah pun sudah kembali hijau dan ada hasil.

Kelompok Tani Hutan (KTH) Mulya Tani mengelola lahan dari menanam, menyulam, menyemai bibit, memanen hasil lalu menjualnya. Peningkatan ekonomi pun mulai dirasakan warga.


 

Sebagai petani sayur, kata Amin dan Suryana,  tanaman kopi dan buah-buahan menjadi upaya peningkatan ekonomi masyarakat.

Amin, misal, pada 2022 panen kopi mencapai 1,2 ton per musim dan alpukat sekitar enam kuintal. “Sekarang kurang maksimal, karena faktor cuaca tidak menentu. Kami perlu terus belajar.”

Pada 4 September 2017, KTH Mulya Tani mendapatkan wilayah kelola rakyat melalui skema IPHPS—salah satu skema perhutanan sosial di Pulau Jawa—seluas 1.087 hektar.

IPHPS di Gunung Rakutak ini diberikan kepada 774 keluarga dengan masing-masing mendapatkan izin sekitar 1,24 hektar. Mereka  dari tujuh desa, dua kecamatan di Kabupaten Bandung. Yakni, Desa Ibun dan Neglasari (Kecamatan Ibun) dan Nagrak, Dukuh, Cikawao, Sukarame, dan Mandalahaji (Kecamatan Pacet).

Skema perhutanan sosial ini diberikan pada kawasan dengan tutupan lahan di bawah 10% dalam waktu lima tahun atau lebih. Kawasan yang dulu hanya dipenuhi kaso ini sudah kembali rindang.

 

hasil panen kopi petani Desa Ibun. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Sejak perizinan itu, KTH Mulya Tani pun mengolah lahan dengan tanaman banyak fungsi dan banyak jenis (multi purpose tree species/MPTS) yang menjadi syarat utama. Ada tanaman kayu yang bermanfaat dari segi ekologi dan ekonomi seperti kopi, kayu putih, alpukat, kayu manis dan lain-lain.

Petani juga menanam sayur mayur di sela-selanya. Dengan tanaman atau pepohonan beragam ini, kata Suryana,  juga meminimalisir kematian pohon saat kemarau. Mereka juga memilih dan menguji coba berbagai spesies tanaman kayu dan buah yang sesuai dengan ekologis wilayah itu.

Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional mengatakan, masyarakat Desa Ibun bisa membuktikan kalau hutan kelola rakyat memberi dampak baik dalam pemulihan ekologi.

“Perhutani sudah terbukti gagal selama ini. Akses lahan untuk masyarakat, jelas ini memberi kehidupan bagi mereka dan baik untuk ekologi serta pemulihan kawasan,” katanya.

Dia pun mendesak, sudah saatnya peningkatkan kelola hutan masyarakat. “Masyarakat lebih mampu memulihkan kawasan hutan ketimbang korporasi yang berbasis izin besar. Khusus Pulau Jawa, hutan bukan untuk petani korporasi tapi hutan untuk rakyat petani.”

 

Petik kopi di Desa Ibu, Kamojang. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Dana Nusantara, harapan baru petani Desa Ibun

Sejak akhir 2022, Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Sauyunan, Bukit Rakutak, Desa Ibun yang menjadi anak usaha dari KTH Mulya Tani mendapatkan bantuan skema dana nusantara. Skema yang diinisiasi Walhi, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini memberikan fasilitas bantuan pemberdayaan ekonomi berbasis masyarakat yang mengelola hutan.

Dana langsung ini pun menerapkan prinsip-prinsip transparansi, keadilan gender, keberagaman dan kesetaraan.

Bekerjasama dengan Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial Indonesia, Walhi mendampingi KTH Mulya Tani untuk dapat mengakses dana ini dalam pengelolaan kopi. Kini, mereka sudah membangun rumah produksi kopi berjarak sekitar 1-2 km dari kebun mereka.

Wilayah mereka pun berbatasan langsung dengan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Kamojang. Bahkan untuk memasuki kebun, masyarakat perlu meminta izin portal dengan PLTP Bumi Kamojang.

Amir Rohimat, Ketua KUPS Bukit Rakutak Suyunan mengatakan, kopi jadi produk andalan yang dibudidayakan orang Kamojang tetapi mereka hadapi kendala lahan, bibit sampai pupuk. Padahal, produk ini mampu meningkatkan secara ekonomi, lingkungan maupun social masyarakat di sini.

 

Suryana, petani Kamojang yang kelola lahan 1,2 hektar lewat izin IPHPS. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Roni Usman Kusmana, Ketua Umum Badan Pengurus Nasional AP2SI pun melihat potensi kopi di Kabupaten Bandung.

“Harapannya,  Dana Nusantara bisa membantu kopi yang ditanam masyarakat tidak jatuh pada tangan kapitalis maupun tengkulak. Nilai yang didapat harus kembali untuk kesejahteraan petani.”

Uslaini, Kepala Divisi Wilayah Kelola Rakyat Walhi Nasional berharap, lahan kelola rakyat di Desa Ibun bisa jadi contoh baik bagaimana masyarakat sekitar hutan mampu berkontribusi dalam pemulihan hutan.

“Dana Nusantara menjadi skema baik dalam mendorong masyarakat terus melindungi dan memulihkan lingkungan.”

Saat ini, uji coba skema Dana Nusantara ada di 12 provinsi tersebar di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Kalimantan Selatan, Nusa Teggara Timur, Maluku Utara, dan Papua. Pemberdayaan ekonominya pun beragam mulai dari rempah, budidaya madu, pengembangan varietas lokal, peternakan, ekowisata, pemetaan wilayah hingga peningkatan tata kelola lahan pasca konflik.

Meski rumah kopi masih terbilang baru, para petani Desa Ibun menaruh banyak harapan untuk belajar, berkreasi dan menciptakan nilai tambah.

“Dana Nusantara menjadi skema baik dalam mendorong masyarakat terus melindungi dan memulihkan lingkungan.”

 

 

Para petani muda KTH Mulya Tani sedang menanam pohon kopi, alpukat, dan kayu putih di wilayah kelola mereka. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

********

Exit mobile version