Mongabay.co.id

Komantin Saèbu, Flora Endemik Madura dalam Bayang Kepunahan

 

 

 

 

Komantin  saèbu, begitu nama flora endemik Madura yang dikenal sebagai tumbuhan obat segala macam penyakit. Tumbuhan  dengan nama latin Glossocardia leschenaultii  ini hidup di area tepi pantai dan perbukitan kapur.

Moh. Ridwan, warga Dusun Mandala Barat, Desa Gadu Barat, Kecamatan Ganding, Kabupaten Sumenep, pernah gunakan komantin saèbu untuk obat.

“Saya pernah pernah menggunakan untuk campuran racikan klasik. Sekitar dua tahun lalu. Sehabis konsumsi ramuan yang salah satu bahannya komantin saèbu itu, saya merasa lebih segar. Kebetulan, waktu itu kondisi cuaca kurang bersahabat,” katanya, 29 Maret lalu.

Awalnya dapat informasi dari keluarga. Untuk pakai tnaman komantin.  Tumbuhan ini dipercaya menyembuhkan segala macam penyakit.

Neneknya yang menunjukkan tumbuhan ini hidup liar di sawah. Dia pun ambil untuk campuran dengan herbal yang lain.

Komantin saèbu, katanya,  dapat dikonsumsi dengan campuran  kunyit dan temulawak, ditambahkan jahe. Biasa penyajian minuman dengan merebus sampai mendidih.

“Temu lawak dan kunyit diparut terlebih dahulu, diambil airnya lalu direbus. Setelah itu masukkan komantin dan tunggu sampai mendidih. Angkat dan tuangkan ke wadah, diamkan agar suhu sedikit menurun. Jika sudah dirasa cukup, seduh seperti meminum teh atau kopi hangat,” katanya.

 

Sumber: penelitian Muhammad Rifqi Hariri dkk.

 

Amilia Destryana Dosen Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Wiraraja Sumenep mengatakan, komantin saèbu salah satu tumbuhan liar yang air rebusan daunnya untuk mengobati usus buntu.

“Itu berdasarkan penelitian kami 2019, hasil wawancara dengan penduduk di Kecamatan Guluk-Guluk, Sumenep,” katanya, 2 April lalu.

Soal sebaran tumbuhan ini, katanya, hanya menemukan di Guluk-Guluk tetapi tak menutup kemungkinan di kecamatan lain di Sumenep juga ada.

Dia bilang, penelitian mereka hanya fokus pendataan tumbuhan liar du Sumenep yang jadi obat, termasuk komantin saebu.

Amilia bilang, belum analisa kandungan, baru penelitian soal tumbuhan liar yang berpotensi pada antioksidan tinggi, seperti patik,kate mas (Euphorbia heterophylla), ajeran (Bidens pilosa), sirih cina (Peperomia pellucida) dan tumbuhan lidah ular (Hedyotis diffusa).  “Kami teliti dalam bentuk teh, enzim protease dan ekstrak kasar,” kata Amilia.

Dia nilai, komantin saebu makin langka karena minim literasi terkait manfaat pengobatan tradisional dan hilirisasi informasi dari tetua  seperti nenek moyang, kakek, nenek, atau perajin jamu ke generasi muda terputus. “Bahkan, dalam beberapa kasus tanaman liar sering dianggap hama hingga keberadaannya juga dipermasalahkan,” katanya.

Eko Setiawan, peneliti dari Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan mengatakan, tumbuhan ini berupa rumput kecil dan menjalar, dengan bau seperti adas jika diremas.

“Sejauh ini dimanfaatkan untuk obat sakit perut, pencernaan dan dicampur untuk hampir seluruh obat tradisional. Caranya, direbus dan diminum airnya. Atau dengan dicampur dengan bahan lain,” katanya.

Untuk takaran penggunaan atau pemanfaatan untuk obat, katanya, belum ada kajian. Tumbuhan  endemik Madura ini muncul hanya saat musim hujan.

Berdasarkan penelusuran literatur, di Asia Tenggara, tumbuhan ini hanya di Madura. Dulu,  pernah ada di pesisir, sekarang terbatas di perbatasan Pamekasan-Sumenep, tepatnya di Desa Ketawang Laok, Kecamatan Guluk-guluk  dan Desa Bataal, Kecamatan Ganding Sumenep.

Berdasarkan penelitian Eko dan beberapa akademisi UTM, katanya, merujuk pada peracik obat/jamu tumbuhan ini untuk pengobatan segala macam penyakit. Dari penelitian laboratorium,  komantin punya kandungan alkaloid, steroid, flavonoid yang saat ini masih kajian mendalam.

 

Komantin saèbu yang sedang dibudidayakan oleh Eko Setiawan dari hasil cabut pindah tanam. Foto: Eko Setiawan

 

Terancam

Pada 1991, Veldkamp dan Kreffer menuliskan dalam Notes on Southeast Asian and Australian Coreopsidinae (Asteraceae) bahwa Glossocardia leschenaultii merupakan tumbuhan endemik dari Pulau Madura. Jenis ini tersebar di pesisir utara Pulau Madura dan tumbuh pada kawasan berkapur atau pantai pada ketinggian 100 mdpl.

Penelitian berjudul “Perubahan Kerusakan Lahan Pulau Madura” dengan data penginderaan jauh dan SIG pada 2010 oleh  Haryani, N. S dan  Khomarudin, R menyebutkan, kerusakan lahan di Madura mencapai 21.02%. Dengan kondisi ini diduga komantin saèbu mulai terbatas hingga hanya ditemukan satu individu dewasa.  Dari hasil pengamatan lapangan, habitat komantin saèbu berubah jadi kawasan jaringan listrik.

Komantin saèbu makin sulit ditemui di aslinya.

Dalam jurnal berjudul “Identifikasi molekuler dan karakterisasi morfologi kamandin saebo,”  Muhammad Rifqi Hariri, Arifin Surya Dwipa Irsyam dkk menyebutkan, komantin saèbu sudah terancam karena alih fungsi lahan jadi permukiman dan tambang kapur sejak 50 tahun terakhir.

“Sejauh kami menelusuri hanya ada di delapan titik agak berjauhan. Populasi cuma sedikit,  hidup bersama rumput tapi di lokasi terbuka. Kondisi habitat rentan kering dan pembakaran sampah daun menyebabkan tanaman ini makin susah dijumpai.”

Dia sarankan, kalau menemukan tumbuhan ini lakukan budidaya maupun tak merusak habitat.  Berdasarkan penelitiannya sejak  2017, kata Eko, orang awam banyak yang takt ahu kalau ini tanaman langka. Saat musim hujan sering disabit untuk pakan ternak. Saat kemarau dibakar.

“Jika  semua publikasi dibaca dan banyak orang yang bertanya terus mencarinya,  maka tanaman ini akan semakin punah. Sudah mulai beberapa tabib menyuruh orang untuk berburu tanpa usaha pembudidayaan,”

Eko katakan, tumbuhan ini sulit sekali dipindahkan, kalau dicabut akan kering dan mati. Jadi, katanya,  saat hujan baru ada pembibitan, sekitar 50% hidup, seringkali setelah setahun mati.

Seluruh bagian tumbuhan ini, kata  Eko, bisa jadi obat. Saat ini, tabib lokal sedang mempelajari efek yang diberikan oleh campuran kamandin kepada pasien penderita stroke, kanker dan beberapa penyakit kelumpuhan.

Adapun cara pengembangbiakan tanaman ini, harus dengan cara pindah tanam. Hal itu berdasarkan praktik yang sudah  dia lakukan. Eko dan tim peneliti lainnya pernah coba semai dari biji, tetapi sampai  saat ini belum berhasil.

“Sampai saat ini belum ada petunjuk budidayanya. Kami masih mencoba budidaya di rumah, di Kamal, Bangkalan. Dulu ngambil tanaman itu di  Guluk-guluk. Sekitar 1.500 batang. Alhamdulillah,  sekarang sudah banyak yang hidup,” katanya.

 

 

*Liputan ini didukung oleh the Southeast Asia Biodiversity Media Bootcamp Fellowship of GAIA Philippines, Inc/ (GAIA) for the period of December 10, 2022 to April 10, 2023.

******* 

Exit mobile version