Mongabay.co.id

Cerita dari Desa Candikusuma, dari Budidaya Ikan sampai Pertanian Organik

 

 

 

 

Pantai Candikusuma begitu tenang. Tak terlihat arus di permukaan laut, air kebiruan dengan pantulan matahari di ufuk timur.  Keramba budidaya ikan tersebar di Jembrana, pesisir Bali Barat ini. Warga bersiap panen di pinggir pantai menunggu perahu yang mengantar ke keramba.

Jenis budidaya warga adalah ikan kerapu. Sejumlah pemancing duduk santai di batu-batu krib penahan abrasi. Sempadan pantai yang dulu pasir kini jadi krib batu karena kawasan ini mudah termakan ombak, lalu abrasi. Kalau warga mau berenang, jalan masuk mereka adalah krib batu ini.

Di dekat cakrawala, Pulau Jawa terlihat sangat dekat dengan pantai. Tak heran, titik penyeberangan ke Jawa dari Bali, Pelabuhan Gilimanuk sekitar 15 menit saja dari Candikusuma.

Di sekitar pantai terlihat tugu yang disebut candi—Candi Puncak Manik–, landmark desa ini. Kadek Eryanta,  Kepala Lingkungan Banjar Moding Desa Candukusuma, mengajak saya mendekat ke tugu berbentuk segitiga dari susunan batu bata ini.

Ada beberapa tuturan lisan terkait tugu peninggalan kolonial Belanda ini. Konon,  ada orang Belanda resah karena banyak binatang buas menerkam pekerja perkebunan. Jembrana di masa lalu terkenal berhutan lebat dengan beragam satwa. Tugu yang dibangun sekitar 1897 ini jadi semacam tempat persembahan untuk memohon keselamatan ketika itu.

 

Laut dan pesisir Candikusuma yang tenang. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Ada juga yang mengaitkan dengan kisah perjalanan yatra atau perjalanan suci Dahyang Nirartha di Jembrana. Istrinya yang sedang hamil tinggal di daerah ini dengan anaknya yang gemar berburu di hutan.

Kawasan candi ini cocok untuk beristirahat karena pepohonan rindang dan ada sejumlah bale yang menyajikan panorama laut.

Nanoq da Kansas, sastrawan Bali terkenal dari Jembrana yang menyertai perjalanan melali ke desa ini juga menambah kekayaan kisah sejarah desa ini dengan cerita masa kelam kejahatan kemanusiaan 1965. Ketika itu,  banyak warga terbunuh karena dihakimi tanpa pengadilan dengan dalih pengikut PKI. Dia bilang, ditemukan banyak tulang belulang di tebing dekat pantai saat area ini dibangun.

Kami melanjutkan perjalanan ke kebun-kebun warga. Salah satunya kebun I Ketut Sudomo, petani teladan Indonesia di desa ini yang setia menekuni pertanian organik dengan budidaya kakao. Sebuah papan di depan kebun dari sejumlah LSM dan lembaga sertifikasi pertanian organik.

Dalam papan ditunjukkan bagan proses demplot percontohan pertanian yang baik. Mulai pemupukan organik, pemangkasan dahan, tanaman penaung, dan lain-lain.

Memasuki halaman depan rumah, disapa seperangkat gamelan tradisional khas Jembrana, biasa disebut jegog. Ia terbuat dari batang-batang bambu besar, sebagai penanda betapa suburnya Jembrana . Kebun kakao tumpang sari vanili terhampar sekitar dua hektar.

Sudomo bercerita merawat kebun yang hasil dibeli koperasi yang akan mengolah biji kakao siap ekspor ke perusahaan-perusahaan produsen cokelat. Dia gunakan pupuk organik dari kotoran kambing, termasuk yang cair.

Pada tahun 80-an, katanya, kakao dan vanili menjadi tulang punggung pertanian di Jembrana.  Belakangan berkurang antara lain karena sempat terjadi penurunan harga, dan harus peremajaan kakao. Ada yang menebang semua pohon kakao, dan tak melanjutkan budidaya.

Produk pangan lain yang terkenal dari Jembrana adalah pisang dan kelapa, termasuk di Desa Candikusuma. Sudomo bersyukur, generasi petani muda bermunculan hingga regenerasi perawatan lahan bisa dilakukan, termasuk kebunnya yang akan dikelola anaknya.

Perjalanan berlanjut ke industri kecil pengolahan oleh kelompok perempuan tani bernama Rumah Cokelat. Kalau berkunjung ke desa ini bisa melihat dan mencecap cokelat dari pohon, buah, sampai olahan cokelat batang berbagai varian rasa. Pengunjung bisa melihat mulai tahap roasting, penggilingan, penghalusan, pencampuran bahan baku, sampai pengemasan.

 

Dari buah kakao jadi cokelat di Desa Candikusuma. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

Ni Sayu Ketut Suartini, pengelola Rumah Cokelat CK mengatakan, usaha inovasi desa ini dirintis pada 2019 saat mengikuti program Kementerian Desa. CK bisa bermakna siki, dalam bahasa Bali berarti satu. Bisa juga kependekan dari Candikusuma, nama desa itu.

“Anak-anak tiap Valentine beli cokelat mahal, kenapa tidak buat sendiri di desa,” kata Sayu. Apalagi desanya terhampar kebun kakao. Berbeda dengan kopi, proses pengolahan kakao lebih rumit, misal, fermentasi, setelah itu roasting.

Setelah itu biji dilepaskan dari kulit dengan mesin khusus, diolah lagi jadi pasta, masuk lagi ke mesin lain untuk dicampur dengan susu atau bahan lain selama delapan jam.

Prosesnya belum selesai, karena adonan cokelat harus diratakan, dihaluskan lagi selama 12 jam. Setidaknya, waktu proses sekali produksi sekitar 36 jam, belum termasuk fermentasi biji kakao.

Hasilnya dipajang di lemari, ada cokelat batang berbagai varian dan cokelat bubuk untuk minuman. Rumah Cokelat ini kecil, namun energi para perempuan petani membuat begitu bungah.  Kelompok ini berusaha memasarkan ke sejumlah minimarket dan pameran-pameran UMKM.

Citarasa cokelat tak kalah dengan kemasan di toko-toko. Sayu meyakini produknya bisa bersaing karena bahan baku asli kakao, bukan campuran.

Perjalanan pertanian dan pesisir laut di Candikusuma berakhir di Dusun Senja. Nama yang dibuat oleh warga sekitar untuk komunitas anak muda dan orang tuanya yang berinteraksi lewat kegiatan sastra dan diskusi di sebuah area teduh dekat sungai kecil di Dusun Moding.

Ada panggung, halaman rumput luas, dan kedai kopi yang dikelola warga dusun. Hari itu, mereka menyajikan menu khas Jembrana, olahan sayur dari batok kelapa muda (klungah) dengan cincangan daging ayam. Warga terlatih mengolah hasil kebun, hingga tak tergantung dengan sayur mayur di pasaran seperti kol atau kangkung. Selain batok kelapa, juga ada rebung bambu atau batang pisang.

Nanoq mengatakan,  konsep Dusun Senja adalah halaman rumah atau kalangan, natah. Suasana area ini redup kurang matahari, terasa seperti senja sepanjang hari. Itulah awal mula Dusun Senja.

Tanaman kelapa berpadu dengan pisang dan bambu tumbuh subur menjaga sempadan sungai. Dusun ini mematahkan mitos Jembrana gersang, dan panas. Geliat warga memanfaatkan laut dengan budidaya ikan dan kebun, termasuk mengolah hasil.

 

Kebun kakao organik yang dikelola Sudomo. Foto: Luh De Suryani/ Mongabay Indonesia

 

*********

Exit mobile version