Mongabay.co.id

Belajar Arif dari Hutan Larangan Dusun Buhuk

 

Banjir bandang melanda berbagai wilayah di Kabupaten Lahat dan Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan, Maret 2023 lalu. Diduga, banjir ini disebabkan rusaknya hutan di berbagai wilayah hulu Sungai Lematang, sehingga sungai sepanjang 244 kilometer ini tidak mampu menyerap volume air hujan. Semua air hujan tumpah ke Sungai Lematang. Meluap dan terjadilah banjir bandang.

Selama ratusan tahun, Sungai Lematang tidak pernah meluap, yang menyebabkan banjir bandang. Tapi setelah Reformasi 1998, tepatnya sejak pertengahan 2000, berbagai aktivitas ekonomi ekstraktif menyebabkan banyak hulu atau DAS [Daerah Aliran Sungai] Lematang seluas 738.000 hektar menjadi rusak dan hilang. Misalnya, penambangan batubara, perkebunan sawit, infrastruktur, serta penambangan batu andesit dan pasir.

Rusaknya DAS Lematang tersebut, dapat diasumsikan jika berbagai pengetahuan lokal di dalam masyarakat yang selama ratusan tahun menjaga DAS Lematang sudah hilang atau dihilangkan melalui kebijakan ekonomi dan pembangunan.

Adakah yang bertahan?

Baca: Sungai Musi yang Kehilangan Arsipnya

 

Hutan larangan Dusun Buhuk, membuat Desa Air Dingin Lama dan Air Dingin Baru, terhindar dari kekeringan, longsor dan banjir. Foto: Yulion Zalpa

 

Desa Air Dingin Lama, Kecamatan Tanjung Tebat, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, salah satu wilayah yang hingga saat ini terhindar dari bencana banjir dan kekeringan.

Desa yang luasnya sekitar 4,80 km persegi, berpenduduk sekitar 437 jiwa ini, berada di wilayah ketinggian sekitar 1.500 meter dari permukaan laut.

Masyarakat desa ini sangat menghormati keberadaan sebuah kawasan hutan yang bernama “Hutan Larangan Dusun Buhuk”. Dusun Buhuk dikelilingi hutan, untuk mencapai area tersebut dari arah selatan harus melalui aliran Sungai Matalintang, sementara dari arah utara, Dusun Buhuk sulit dicapai karena terlindung lereng-lereng bukit curam.

Pada hutan larangan seluas 18 hektar tersebut, terdapat sejumlah mata air yang mengalir ke dua sungai; Sungai Matalintang dan Sungai Banih, yang bermuara ke Sungai Lematang.

Hutan larangan ini menjadi habitat dan koridor sejumlah satwa, seperti beruang madu [Helarctos malayanus], harimau sumatera [Panthera tigris sumatrae], dan sejumlah jenis burung seperti rangkong. Sementara di hutannya, masih ditemukan sejumlah jenis meranti [Shorea].

Disebut “Dusun Buhuk” dikarenakan sekitar satu hektar wilayah di hutan larangan tersebut sebelumnya merupakan permukiman pertama atau permukiman leluhur warga Desa Air Dingin [Desa Air Dingin Lama dan Desa Air Dingin Baru]. Diperkirakan, masyarakat pindah dari Dusun Buhuk ke Air Dingin setelah Kemerdekaan Indonesia [1945-1950].

Terjaganya hutan larangan ini menjadikan air di Desa Air Dingin Lama dan Desa Air Dingin Baru terkendali. Persawahan, pemandian umum [pancuran], tebat [kolam] tidak pernah kering sepanjang tahun. Dan juga, sepanjang tahun tidak pernah mengalami banjir dan longsor.

 

Hutan larangan Dusun Buhuk. Terlihat Sungai Matalintang. Hutan larangan sebagai penjaga air Desa Air Dingin Lama dan Air Dingin Baru. Foto: Yulion Zalpa

 

Larangan

Adapun larangan dilakukan warga terhadap hutan tersebut. Pertama, tidak boleh merusak, apalagi membuka kebun dan permukiman. Kedua, tidak boleh berburu satwa. Ketiga, diperbolehkan mengambil kayu [pohon] atau tanaman yang terbatas untuk kepentingan keluarga seperti membangun rumah dan obat-obatan atas persetujuan jurai tue [1] [pemimpin masyarakat secara adat] dan warga. Tapi pohon yang ditebang, ukurannya minimal berdiameter dua meter, serta pada lokasi tertentu. Jika jenis pohon terbatas, harus dilakukan penanaman bibit baru.

Jika larangan ini dilanggar masyarakat percaya, pelakunya akan kualat. Kualat terhadap puyang,  yang merupakan nenek moyang warga Desa Air Dingin Lama dan Desa Air Dingin Baru. Puyang ini  salah satu kesaktiannya, mampu membuat saluran air [irigasi] dari mata air di hutan larangan menuju Sungai Matalintang.

Aliran sungai dari dusun buhuk ini menjadi sumber air utama masyarakat. Baik untuk sawah, tebat atau kolam, serta mandi dan mencuci.

 

Keberadaan hutan larangan Dusun Buhuk menjamin ketersediaan air di Desa Air Dingin Lama dan Desa Air Dingin Baru terjamin sepanjang tahun. Foto: Yulion Zalpa

 

Transfer pengetahuan

Proses transmisi dan transfer knowledge terkait hutan larangan ini, dilakukan melalui tutur lisan dari generasi ke generasi. Pembicaraan dan cerita terkait hutan larangan tidak dilakukan di ruang publik akan tetapi di rumah [keluarga]. Masyarakat berpendapat, cerita terkait hutan larangan Dusun Buhuk tabu dan tidak etis untuk dibicarakan di ruang publik.

Proses trasnmisi ini juga lazimnya berbentuk pesan-pesan sederhana, misalnya saat seorang anak ingin mencari ikan di wilayah yang berdekatan hutan larangan, maka sang ayah akan mengingatkan, “Jangan maraki atau masuk ke dusun buhuk, kele diktau balik agi [jangan mendekat atau masuk ke Dusun Buhuk, nanti kamu tidak bisa pulang]”.

Peringatan lainnya, “Jangan asak ngomong, asak nebang, asak ambik, izin kudai ngak puyang. Kele kaba kualat [jangan sembarang bicara di kawasan hutan larangan, jangan sembarang menebang pohon, jangan sembarang ambil, izin dulu dengan puyang, kalo tidak nanti kamu kualat].”

Selain itu, pengetahuan ini menyebar jika adanya peristiwa terkait hutan larangan Dusun Buhuk. Misalnya salah seorang warga menjadi tidak waras [gila] setelah masuk ke kawasan Dusun Buhuk. Peristiwa tersebut dimaknai sebagai sikap tidak patuh terhadap larangan atau aturan yang ada.

Pesan ayah kepada anak, kakek ke cucu, saudara tua ke saudara muda, menjadi aturan-aturan tidak tertulis, terjaga dari generasi ke generasi dan menjadi pengetahuan bersama. Bukan hanya menjadi pengetahuan bersama di masyarakat Desa Air Dingin Lama dan Desa Air Dingin Baru, juga menyebar ke wilayah sekitarnya di Kabupaten Lahat.

 

Sejumlah pihak mencoba menjadikan hutan larangan Dusun Buhuk sebagai lokasi wisata, perkebunan sawit, dan hutan lindung. Warga menolak. Mereka ingin hutan ini menjadi hutan adat. Foto: Yulion Zalpa

 

Ancaman

Hutan larangan Dusun Buhuk tidak lepas dari ancaman. Berbagai pihak ingin menguasai kawasan ini menjadi wilayah wisata dan perkebunan sawit.

Pada 2020 lalu, ada investor coba memengaruhi masyarakat untuk menjadikan wilayah hutan larangan tersebut sebagai objek wisata air. Tapi setelah dilakukan musyawarah desa, keinginan investor tersebut ditolak.

Sebelumnya, pada 2013, sebuah perusahaan perkebunan sawit ingin menjadikan hutan larangan tersebut sebagai perkebunan sawit. Pada saat itu warga dijanjikan skema bagi hasil. Warga menolaknya.

Bahkan, warga pun menolak usulan pemerintah untuk menjadikan hutan larangan tersebut sebagai kawasan hutan lindung.

Alasan penolakan, warga menyakini Dusun Buhuk menyimpan banyak sejarah dan merupakan peninggalan puyang mereka, harus dijaga. Jika kawasan hutan tersebut menjadi hutan lindung, mereka dinilai tidak mampu menjaga warisan. Selain itu, hak mereka sebagai ahli waris dianggap hilang karena kawasan hutan akan dikuasai pemerintah.

Belajar dari keberadaan hutan larangan Dusun Buhuk ini, sebaiknya pemerintah, khususnya pemerintah Kabupaten Lahat, mengakui dan melindungi keberadaan berbagai hutan larangan di DAS Lematang, yang sebagian besar sudah rusak.

Sebab hutan larangan menyimpan berbagai pengetahuan dalam mengendalikan air, sehingga berbagai bencana seperti longsor, banjir, dan kekeringan dapat dicegah atau dihindari.

Intinya, hutan larangan harus terhindar dari aktivitas ekonomi.

 

* Taufik Wijaya, jurnalis dan pekerja seni, tinggal di Palembang. Yulion Zalpa, akademisi dan Kepala Laboratorium Fisip UIN Raden Fatah Palembang. Tulisan ini opini penulis.

 

Catatan: 

[1] Jurai secara harfiah dimaknai sebagai anak keturunan, dalam hal ini adalah anak keturunan dari puyang [nenek moyang]. Konsep kekuasaan jurai dikenal di masyarakat uluan Sumatera Selatan, yakni anak tertua puyang [jurai tue] khususnya laki laki akan memegang kendali dan kekuasaan lebih besar dibanding anak anak yang lain, walaupun dalam beberapa konteks tidak selalu anak tertua yang menjadi jurai tue, penunjukan juga dapat dilihat dari sisi kemampuan dan kelebihan anak puyang. Konsep ini terus berjalan turun menurun hingga saat ini. [Lihat Dedi Irawan dkk, Iliran dan Uluan: Dinamika dan Dikotomi Sejarah Kultural Palembang, Eja Publisher, Yogyakarta. 2010. Hal 82.]

 

Exit mobile version