Mongabay.co.id

Nelayan Tradisional di Tengah Eksploitasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

 

 

 

 

 

Tiap 6 April,  sejak 1961, diperingati sebagai Hari Nelayan Nasional. Walau sudah ada peringatan hari khusus, nasib nelayan di negeri ini masih jauh dari kata sejahtera. Bahkan nelayan, terlebih nelayan tradisional,  makin terancam karena ruang hidup makin terdesak, bahkan hilang karena beragam eksploitasi pesisir dan laut.

Di Pulau Madura, misal, di pesisir pantai sudah banyak terbentang tambak-tambak skala besar milik pemodal. Di Halmahera, Maluku Utara, banyak nelayan tradisional kehilangan pencarian karena sulit tangkap ikan. Air laut  tercemar, berubah warna kecoklatan atau orange karena eksploitasi nikel.

Wahyu Eka Setyawan, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur mengatakan, eksploitasi dari sektor ekstraktif bersamaan dengan belum ada perlindungan bagi nelayan tradisional. Dia contohkan, seperti di Madura, sepanjang pantura, Kepulauan Masalembu, Kangean dan Bawean.

“Hingga kini nelayan-nelayan kecil di wilayah itu menghadapi aneka tantangan seperti rencana zonasi pesisir dan pulau-pulau kecil yang diintegrasikan dengan RTRW terbaru Jawa Timur. Di mana watak pengelolaan pesisir disamakan dengan pengelolaan di daratan,” katanya.

Kondisi itu, diperkuat dengan makin  padat kaveling industri ekstraktif minyak dan gas maupun mineral lain seperti pasir laut.

Kehadiran  UU No. 6/2023 yang menetapkan Perppu Cipta Kerja, makin mengancam masa depan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Dalam aturan itu, kata Wahyu, zona inti konservasi laut pun bisa diubah dan tereksploitasi, khusus untuk kepentingan proyek strategis nasional (PSN).

 

Hutan mangrove di Desa Merdeka, Kabupaten Lembata,Provinsi NTT yang dibuka untuk dijadikan tambak udang.Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, katanya, ancaman kawasan pesisir juga meningkat akibat pelonggaran izin minyak dan gas. Terutama,  dalam perkembangan terbaru mulai naiknya eksploitasi sektor gas yakni LNG sebagai alternatif energi fosil.

Hal itu, katanya, sebagai bagian dari solusi palsu, alih-alih transisi energi malahan mengembangkan eksploitasi gas untuk kebutuhan energi fosil.

Di samping itu, banyak alih fungsi pesisir untuk peruntukan lain seperti tambang pasir laut dan pasir besi, sampai ekspansi tambak juga turut memperentan kawasan pesisir.

“Sebagaimana terjadi di sepanjang pesisir selatan Jawa dari Trenggalek yang keluar izin tambang emas sampai Banyuwangi yang sudah dieksploitasi, makin memperentan nelayan,” katanya.

Tak hanya itu,  alih fungsi masif pesisir di Madura mengurangi pendapatan nelayan hingga mendorong mereka beralih pekerjaan.

Dengan berbagai macam eksploitasi itu, katanya, daya dukung dan daya tampung pesisir dan laut pun makin menurun, terjadi kerusakan mangrove sampai terumbu karang, pencemaran dan banyak lagi. Padahal, katanya, pesisir dan laut merupakan aset penting guna melawan perubahan iklim.

Pola-pola kebijakan dan regulasi yang memfasilitasi industri ekstraktif dan eksploitasi masif, katanya, khawatir sektor maritim akan makin menyedihkan.

Walhi Jatim mendorong pemerintah pusat dan Pemerintah Jawa Timur maupun kabupaten-kabupaten sepanjang pesisir itu untuk membuat kebijakan realistis dengan menekankan upaya perlindungan dan pemulihan pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Pemerintah segera menghentikan pemberian izin baru dan mengevaluasi izin industri ekstraktif serta industri yang mencemari dan mengubah topografi pesisir,” katanya.

Selain itu, penting juga segera menetapkan zona lindung kawasan ekosistem esensial pesisir dan pulau-pulau kecil, serta menetapkan zona tangkap nelayan tradisional.

 

Nelayan di Maluku aksi protes penangkapan ikan terukur di Hari Nelayan Nasional. Foto: Yayasan Jala Ina

 

****

Dari Jawa Timur, pada Hari Nelayan menyuarakan soal keterancaman  pesisir dan laut karena makin massif eksploitasi skala besar yang mengancam kehidupan nelayan, dari Maluku, nelayan protes aturan perikanan terukur.

Pada 6 April itu, seorang pemuda nelayan, Abdul Kadir Zailani Angkotasan, mendayung sejauh 15 mil di perairan Laut Banda sebagai aksi protes kebijakan pemerintah soal penangkapan ikan terukur.

Kamal Kumkelo, koordinator aksi mengatakan, aksi ini protes penerbitan PP 11/2023 Tentang Penangkapan Ikan Terukur.

Pemuda nelayan itu mendayung menerobos wilayah batas sebagai bentuk perlawanan atas kebijakan serampangan yang dikeluarkan pemerintah tanpa mempertimbangkan kondisi nelayan kecil. Dalam aturan itu, wilayah tangkap nelayan tradisional hanya sejauh 12 mil

“Kenapa kami mendayung sejauh 15 mil? Karena dalam aturan nelayan hanya dibatasi melaut sejauh 12 mil.”

“Kami menerobos batas maksimal yang bisa ditempuh nelayan kecil untuk mencari ikan, sebagai bentuk protes. Kami gelar aksi di perairan Laut Banda karena pelaksanaan penangkapan ikan terukur pertama kali di Zona III, salah satunya WPP 714 ini, ” kata Kamal juga dari Yayasan Jala Ina ini, 6 April lalu.

Abdul Kadir mewakili suara para nelayan yang haknya berpotensi diberangus regulasi pemerintah. Dia mendayung sejauh 15 mil dan membentangkan poster berisi penolakan kebijakan penangkapan ikan terukur.

Kamal menilai, kebijakan penangkapan ikan terukur sebagai upaya sistematis pemerintah merampas hak nelayan kecil yang menggantungkan hidup pada hasil laut. Aturan ini lebih menguntungkan pemodal asing dan korporasi besar.

“Bayangkan jika kapal skala besar diizinkan menangkap ikan di perairan Indonesia, lalu apa yang tersisa untuk nelayan kecil?” katanya.

“Tanpa kebijakan ini saja nelayan sudah kesulitan mencari ikan karena kondisi memang ikan tidak sebanyak dulu. Apalagi jika kebijakan ini diberlakukan.”

Jaring nelayan kecil akan kalah dengan jaring-jaring dari kapal ikan berskala besar,” kata Kamal.

Yayasan Jala Ina pun menolak Peraturan Pemerintah Nomor 11/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur karena merampas hak-hak nelayan kecil dan nelayan tradisional. Jala Ina juga desak, aturan itu dibatalkan.

“Mendesak pemerintah membuat kebijakan pengelolaan sumber daya ikan nasional yang berorientasi pada kepentingan nelayan tradisional dan nelayan kecil.”

 

Laut Kawasi, berwarna oranye kecoklatan terkena limbah nikel mentah. Tempat nelayan tradisional tangkap ikan pun tercemar. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

******

Exit mobile version