Mongabay.co.id

Wawancara Iskandar Norman: Gajah Pernah Menjadi Kebanggaan Masyarakat Aceh

 

Baca sebelumnya: Membunuh Gajah, Menghancurkan Jejak Peradaban Bangsa Indonesia

**

 

Aceh merupakan wilayah yang masih memiliki gajah sumatera [Elephas maximus sumatranus] liar di habitat alaminya.

Iskandar Norman, penulis sejarah Aceh menuturkan, gajah pernah menjadi kebanggaan masyarakat Aceh saat provinsi ini berbentuk kerajaan.

Nenek moyang masyarakat Aceh sangat menghormati satwa dilindungi ini, dengan tidak menangkap terlebih membunuhnya. Bahkan, masyarakat Aceh memanggil gajah dengan nama-nama yang baik dan terhormat.

Saat ini, Iskandar tengah menyelesaikan buku “Biramsattani dalam Parade Adat Sultan Aceh.” Biramsattani merupakan gajah putih hadiah Raja Linge kepada Sultan Aceh.

Sebelumnya pada 2007, bersama beberapa dosen Universitas Syiah Kuala dan sejarawan Aceh, lelaki kelahiran 4 Juni 1980 ini terlibat dalam penulisan buku Ensiklopedi Aceh.

Berikut wawancara Mongabay Indonesia dengan Iskandar Norman di Banda Aceh, Rabu [5 April 2023].

 

Iskandar Norman, penulis sejarah Aceh yang paham bahwa dulunya masyarakat Aceh begitu menghormati gajah sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Bagaimana hubungan masyarakat Aceh dengan gajah sumatera tempo dulu?

Iskandar Norman: Tempo dulu, saat Aceh berbentuk kerajaan, gajah merupakan satwa yang sangat dihormati masyarakat, sebagaimana harimau sumatera. Gajah punya tempat khusus dalam sejarah Aceh dan bicara Kerajaan Aceh tidak akan lepas dari gajah sumatera yang menjadi bagian kehidupan masyarakatnya.

 

Mongabay: Maksudnya?

Iskandar Norman: Banyak cerita sejarah yang menyebutkan hubungan masyarakat Aceh dengan gajah tempo dulu sangat harmonis. Dulu, masyarakat Aceh tidak menganggap gajah itu sebagai satwa pengganggu, terlebih dibunuh.

Selain itu, penghormatan untuk gajah dapat dilihat melalui pemberiaan nama istimewa. Misal, Po Meurah, Tuwan Meurah, Sranggong, Pobeuransah, Teuku Rayeuk, Tanoh Manyang, hingga Popeudah.

Selain itu, ketika gajah masuk bahkan merusak kebun, masyarakat Aceh tempo dulu tidak menyalahkan gajah. Namun, mereka mengevaluasi diri, apakah telah melanggar aturan agama, aturan adat, melakukan kesalahan kepada orang lain, atau menyakiti satwa sehingga gajah merusak tanaman mereka.

 

Iskandar Norman yang terus menelusuri literatur tentang bagaimana hormatnya masyarakat Aceh pada gajah, dulunya. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Bukti kedekatan masyarakat Aceh dengan gajah seperti apa?

Iskandar Norman: Masyarakat Aceh tempo dulu membagi gajah berdasarkan bentuk tubuh dan karakter. Tidak mungkin pembagian itu bisa dilakukan jika masyarakat Aceh tidak dekat dengan gajah.

Berdasarkan bentuk tubuh dan karakter, masyarakat Aceh membagi gajah sumatera dalam empat jenis: Mudam, Bugam, Siawang, dan Keng.

 

Mongabay: Bisa dijelaskan?

Iskandar Norman:  Gajah Mudam merupakan gajah yang badannya besar dan panjang, punggungnya tidak bungkuk. Bagian depan dan belakangnya sama tinggi, telinganya lebar dan lembut, mudah dijinakkan, patuh dan mudah diajari.

Gajah jenis Mudam tahan kekurangan makanan dan minuman, tidak mudah berontak, serta setia membela kawan. Pekerjaannya teratur dan tidak merusak, buang air teratur tidak berserakan, tidak mau menabrak dinding atau pagar walau dipaksa.

Gajah Mudam senantiasa mencari jalan yang biasa dilalui, suka bunyi-bunyian, sehingga sering digunakan dalam upacara kebesaran pasukan pengiring raja.

Gajah Bugam badannya tinggi besar, tapi agak bungkuk.

Jenis ketiga ada Siawang yang badannya agak kecil dan pendek, bulunya kemerah-merahan. Jenis ini agak liar dan susah diajar. Tipikal pemalas yang suka berontak, suka merusak tanaman. Karena sifatnya itu, Bugam dan Siawang sering difungsikan sebagai gajah pekerja atau gajah perang.

Gajah yang dipakai untuk suatu pekerjaan seperti di perkebunan, dinamani Tunda. Sementara, gajah yang menjadi kepala kelompok atau pemimpin kawanan disebut Tunggai.

Jenis keempat adalah Keng. Gajah ini depannya lebih tinggi dari bagian belakang, daun telinga kaku dan lebar melewati kepala, dan bulunya kemerah-merahan. Gajah Keng tidak suka berkawan, sangat liar dan beringas.

 

Menulis sejarah Aceh dalam bentuk novel merupakan cara yang dilakukan Iskandar Norman untuk menarik minta baca generasi muda Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Bagaimana hubungan gajah dengan Kerajaan Aceh?

Iskandar Norman: Sultan Aceh menggunakan gajah sebagai kendaraan kehormatan. Gajah putih tunggangan Sultan Aceh dinamai Biramsattani, gajah ini berasal dari Negeri Linge atau Lingga di dataran tinggi Gayo. Gajah itu ditangkap oleh Seungenda, anak Raja Linge sebagai hadiah kepada Sultan Aceh.

Gajah Biramsattani digunakan pada acara-acara khusus kerajaan, seperti penobatan Sultan Iskandar Muda menjadi Sultan Aceh pada 8 Dzulhijjah 1015 H [11 April 1660 M].

Atas kehendak rakyat, ulama, angkatan perang, dan para pembesar kerajaan, Iskandar Muda diangkat menjadi sultan dengan gelar Sultan Alaiddin Iskandar Muda Dharmawangsa Perkasa Alam Syah.

Waktu menuju ke tempat penobatan, Iskandar Muda menunggang Biramsattani. Keberadaan Biramsattani juga diungkapkan dalam cerita lisan rakyat Aceh turun-temurun, dalam bentuk bait-bait hikayat Diwa Sjamsareeh.

Bahkan, bangunan berhias tempat duduk raja di punggung gajah atau kereta kencana yang ditarik oleh gajah disebut Rungga.

 

Gajah sumatera yang dulunya mendapat penghargaan tertinggi oleh masyarakat Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay indonesia

 

Mongabay: Informasi lain?

Iskandar Norman: Keberadaan gajah di Kesultanan Aceh juga ditulis sejarawan Dr. W.A.P dalam buku Het gezantschap van den Sultan van Achin. 

Dia menulis: Slaan wij met Valentijn, een blik op het Koningkrijk van Atsjeh, gelijk hij het noemt, dan moet de Beheerscher de grootste Vorst van geheel Soematra geweest zijn, wiens titels, onder anderen, dus luidden : Een Koning, die bezit dan getanden olifant, den rooden, den gekleurden, den zwarten, den witten, den gespikkelden olifant; een Koning wien God-almagtig schenk kleeding voor de olifanten, met goud en edelgesteenten versierd, benevens een groot aantal strijdolifanten, met ijzeren huizen op hunnen rug, wier tanden met ijzeren scheden overtrokken, en die met operen schoenen gewapen zijn.

Terjemahannya:

“Pandangan kami bersama Tuan Valentijn, selayang pandang pada Kesultanan Aceh, sesuai dengan apa yang disebutnya, maka sebenarnya lah, bahwa yang berkuasa itu adalah Maharaja yang terbesar di seluruh Sumatera, yang gelarnya antara lain disebut: seorang raja yang mempunyai gajah yang bergading, yang berwarna, yang merah, yang hitam, yang putih dan yang belang; seorang raja yang kepadanya dikaruniai Tuhan Yang Maha Kuasa memberi pakaian gajah-gajah itu dengan perhiasan emas dan batu permata, juga sejumlah besar dari gajah peperangan dengan kereta kencana di atas punggungnya, yang gading-gadingnya berbalutkan besi dan bersepatu tembaga.”

 

Gajah pernah menjadi kebanggaan masyarakat Aceh saat provinsi ini berbentuk kerajaan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dr. W.A.P dan Valentijn dalam tinjauannya terhadap Kesultanan Aceh juga mengungkapkan bahwa Sultan Aceh mempunyai 40.000 hingga 50.000 tentara yang dapat dikerahkan ke medan perang dengan 2.000 hingga 3.000 pucuk meriam yang dapat dibawa bersama lengkap dengan mesiu dan pelurunya.

Sultan Aceh juga mempunyai 1.000 ekor gajah yang bisa digunakan perang dan 200 kapal perang yang diturunkan ke air, lengkap dipersenjatai meriam-meriam dan alat perang lainnya.

Kapten kapal berkebangsaan Belanda, John Davis yang mengunjungi Aceh tahun 1598, mencatat hasil industri perang Aceh. Sultan Aceh mempunyai banyak meriam, kekuatan pertahanannya juga diperkuat dengan pasukan gajah.

Duta Besar Perancis Agustine Beaulieu yang mendapat mandat penuh dari rajanya untuk mengantar surat dan berunding dengan Sultan Iskandar Muda, membuat catatan sebagai berikut:

“Gajah cukup banyak. Binatang ini amat penting sekali dan dibutuhkan di peperangan. Kapal-kapal yang akan dinaikkan ke pantai untuk digalang dan disimpan, gajahlah yang menariknya. Ditaksir tidak kurang dari 900 ekor banyaknya gajah kepunyaan sultan sendiri. Semuanya tahu menjalankan tugas dalam peperangan, sudah terlatih untuk lari, untuk berbelok, untuk berhenti, duduk berlindung dan sebagainya.”

Penulis Perancis Francois Martin de Vitre yang tinggal di Aceh dari 24 Juli hingga 20 November 1602 juga menulis tentang penggunaan gajah untuk eksekusi mati para pelanggar hukum berat, dengan cara diinjak atau ditarik hingga badannya hancur.

Hal yang sama ditulis Agustine de Beaulieu, utusan Perancis yang melakukan misi dagang ke Aceh selama dua tahun [1620-1622]. Pengalamannya selama perjalanan dan menetap di Aceh itu turut ditulis dalam Memories d’un voyage aux indes orientales 1619-1622.

 

Gajah merupakan satwa yang pernah dihormati masyarakat Aceh, sebagaimana harimau sumatera. Mengapa kini dianggap musush? Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Apakah gajah milik sultan itu gajah liar yang ditangkap atau hasil penangkaran?

Iskandar Norman: Gajah yang dipakai untuk berperang itu ada hasil penangkapan di hutan, juga ada hasil pengembangbiakan. Di Aceh, dulu ada beberapa tempat untuk memelihara gajah.

Yang harus diingat, masyarakat Aceh dulu tidak membunuh atau melukai gajah hanya karena gajah merusak kebun, masyarakat juga tidak memburu gajah untuk memperdagangkan gadingnya.

Berbeda dengan sekarang, gajah menjadi hama yang layak dibunuh, padahal ini bertolak belakang dengan nenek moyang masyarakat Aceh yang sangat menghormati gajah.

 

Exit mobile version