Mongabay.co.id

Buku Potret Industri Sawit, Menanti Keseriusan Pemerintah Benahi Tata Kelola

 

Tautan unduhan buku dapat diperoleh di bagian bawah artikel ini.

 

Karut marut tata kelola sawit masih berlangsung hingga kini meskipun pemerintah mulai mencoba lakukan pembenahan. Berbagai persoalan dalam industri sawit masih terjadi di banyak daerah dari kerusakan lingkungan, deforestasi, kawasan hutan jadi kebun sawit sampai konflik lahan dan berbagai persoalan plasma dan lain-lain.  Perlu keseriusan pemerintah dalam benahi tata kelola industri sawit ini. Sementara itu, berbagai upaya atau inisiatif dari petani swadaya muncul untuk melakukan perbaikan tata Kelola.

Berbagai dinamika persoalan sawit termasuk upaya petani swadaya ini terekam dalam buku bunga rampai kerjasama Mongabay Indonesia dan Kaoem Telapak berjudul “Di Antara Janji Kesejahteraan dan Dampak Sosial Lingkungan.” Buku ini berisi bunga rampai tulisan 23 jurnalis di 20 lokasi di Indonesia.

Abetnego Tarigan, Deputi II Kantor Staf Kepresidenan,  mengatakan, buku ini membahas persoalan-persoalan serius yang harus ditangani lebih lanjut, seperti plasma konflik agraria, ketidakpastian hukum, dan tata kelola produksi dan tata niaga. Selain itu, buku ini juga berisi kerusakan lingkungan dampak perkebunan tidak berkelanjutan.

“Ada kebun sawit dalam kawasan hutan, kebun sawit merusak taman nasional, mangrove, dan  sawit yang menghilangkan  danau. Belum lagi konflik. Selama ini di Kantor Staf Presiden ada 1.000-an aduan konflik lahan yang kami terima,” katanya dalam launching buku sekaligus diskusi daring pada 13 April lalu itu.

Abetnego menekankan, selama hampir 10 tahun terakhir, presiden sudah mengeluarkan berbagai kebijakan terkait kebun sawit, dari kebijakan setop izin di hutan alam dan lahan gambut, moratorium izin sawit, aturan soal agraria dan lain-lin.

Berbagai kebijakan itu, katanya, fokus pada peningkatan produktivitas dan memberikan nilai tambah sekaligus menyelesaikan konflik.  Namun, Abetnego  benarkan kalau masih ada pekerjaan rumah, seperti pemenuhan ketentuan plasma dan penyelesaian konflik. Pemerintah, katanya,  sedang merumuskan peraturan presiden yang akan fokus percepatan reforma agraria. Juga, penguatan peran rakyat di sektor sawit perlu dipikirkan sungguh-sungguh.

 

Kolam Air yang dibuat perusahaan PT. Sawit Jaya Abadi 2 menggunakan alat berat, agar terkesan Danau Toju masih ada. Foto: Sarjan Lahay/Mongabay Indonesia

 

Diah Suradiredja, Senior Advisor untuk Iklim dan Keberlanjutan di Yayasan Keanekaragaman Hayati, mengatakan, buku ini hadir mengetengahkan persoalan-persoalan sawit sesungguhnya di lapangan, dengan keberagaman daerah.

Dia berharap,  buku ini bisa dibaca para pihak yang terlibat langsung dalam industri juga pemerintah.  Buku ini,  harus dikembangkan dengan investigasi dan melahirkan rekomendasi dari sisi jurnalis terhadap kasus-kasus yang diangkat.

Sri Palupi, peneliti The Institute for Ecosoc Rights mengatakan, buku ini lebih fokus pada masalah ekonomi dan lingkungan. Meskipun begitu, persoalan sosial budaya belum banyak terangkat.

Palupi katakan, di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, masyarakat adat yang beralih dari pangan dari ladang ke kebun sawit mengalami dampak sangat signifikan pada aspek sosial budaya mereka.  Kehilangan budaya, seperti solidaritas dan tradisi berkomunitas, memperlemah masyarakat dalam menghadapi kondisi-kondisi ketimpangan dan konflik.

 

Janii manis kepada petani sawit plasma di Langgikima, kenyataan jauh dari harapan. Foto: Riza Salman

 

Perbaikan tata kelola sawit

Dalam diskusi ini mengemuka tentang pentingnya keseriusan membenahi tata kelola sawit. Diah bilang,  soal perbaikan tata kelola sawit memerlukan peran semua pihak. Dia nilai pemerintah sudah berupaya memperbaiki regulasi soal sawit berkelanjutan. Namun, katanya, capaian perbaikan belum memuaskan dan masih perlu lebih banyak upaya.

Dia menyoroti pentingnya pemetaan atau pendataan oknum-oknum yang tak terdeteksi dalam kelompok kepentingan sawit. Oknum-oknum ini bisa berada di kelompok petani, industri, pemerintah, atau kawan-kawan organisasi masyarakat sipil dan pendamping.

Mereka berperan sebagai bola liar dalam rangkaian bisnis sawit dan bisa merusak perbaikan tata kelola yang berupaya dilakukan.

Diah juga menyoroti pentingnya pelayanan pemerintah. Petani rakyat, perlu dapat dukungan dalam perbaikan tata kelola. Perbaikan ini, katanya,  tidak mudah dan memerlukan upaya dari semua pihak.

Dalam konteks global, sawit bisa untuk produksi biodiesel. Namun, perbaikan tata kelola sawit harus dilakukan terlebih dahulu untuk memastikan produksi biodiesel berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan.

Palupi menekankan perlu keseriusan pemerintah dalam perbaikan tata kelola.  Dia menilai, pemerintah kurang serius dalam menegakkan regulasi terkait industri sawit. Alih-alih fokus pada perbaikan tata kelola, pemerintah malah melanggar regulasi moratorium yang dibuat dan melemahkan upaya penegakan hukum.

Saat ada moratorium sawit,  perkebunan sawit baru tetap muncul, bahkan, di pulau-pulau kecil dan daerah terpencil.

Dia juga singgung soal UU Cipta Kerja—yang jadi Perppu UU Cipta Kerja—dengan tak lagi sanksi pidana pada perusahaan yang melanggar, tetapi sanksi administratif.

Selain itu, upaya pelemahan peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang memainkan peran penting dalam menyelidiki korupsi dalam industri sawit.

Efek kumulatif dari masalah-masalah ini, katanya,  kurangnya akuntabilitas dan kepastian hukum. Perusahaan yang melanggar regulasi jarang dihukum, dan komunitas lokal dibiarkan menanggung biaya lingkungan dan sosial dari kegiatan industri ini

Palupi mendesak harus ada komitmen serius pemerintah untuk menegakkan regulasi, memperkuat upaya penegakan hukum, dan melindungi kepentingan komunitas lokal.

Masalah pengawasan dan penegakan hukum atas masalah sawit di Indonesia jadi sorotan dalam diskusi ini. Menurut Abetnego, pemerintah perlu melakukan upaya-upaya baru dalam penanganan kasus-kasus itu.

“Saya pikir kita dapat menggunakan pendekatan teknologi dalam upaya penegakan hukum, misal, penggunaan teknologi drone dan lain-lain.”

Dia juga menekankan, meskipun sudah ada upaya-upaya dalam penegakan hukum dengan perusahaan-perusahaan terjerat, namun masih ada pekerjaan rumah.

Dia katakan, kapasitas aparat penegak hukum dalam upaya penegakan hukum terutama berkaitan dengan hukum lingkungan menjadi pekerjaan rumah.

 

Petani sawit swadaya di Melawi, menghadapi kendala dan hambatan dalam tata kelola maupun budidaya sawit. Mereka juga kesulitan mengakses pasar, hingga nilai jual tandan buah segar di tingkat petani murah. Foto: Arief Nugroho/Pontianak Post-Mongabay Indonesia

 

Cerita petani swadaya

Dalam diskusi ini, Siswandi dari Asosiasi Cahaya Putra Harapan (ACPH) di Batanghari, Jambi, juga jadi pembicara. Dia mengatakan,  selain kebun plasma, mereka juga punya kebun petani swadaya.

Mereka berupaya mengelola sawit secara berkelanjutan hingga mendapatkan sertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) pada 2018 dengan dukungan Yayasan Setara.  Mereka merasakan manfaat dari hasil premium sharing yang diterima anggota.

“ Dari 2018 hingga 2020, mencapai Rp976 juta. Dana itu [premium sharing] digunakan untuk sembako, alat pelindung diri (APD), perawatan jalan, pelatihan, pembuatan STDB (surat tanda daftar budidaya), dan pembelian tanah untuk membangun kantor.

Menurut Siswandi, manfaat sertifikat RSPO bagi petani sangat besar karena mereka menerima pelatihan dan dukungan dalam merawat kebun sawit mereka.

Petani Swadaya, katanya,  fokus pada memaksimalkan peningkatan produksi daripada berpikir perluasan lahan.

Untuk mendapatkan sertifikat RSPO, mereka harus ada pendampingan dan pendanaan cukup. Setiap tahun, mereka harus mengeluarkan minimal Rp100 juta untuk pelatihan dasar.

Banyak petani lain ingin mengikuti langkah mereka tetapi masih terkendala pendanaan dan pengetahuan kurang tentang manfaat sertifikasi RSPO.

Siswandi berharap,  ada dukungan khusus dari pemerintah dan organisasi non-pemerintah yang kompeten untuk mendampingi para petani.

Dengan ada sertifikat berkelanjutan seperti RSPO,  dapat membantu petani meningkatkan nilai jual produk sawit.

“ Kami tidak fokus luas lahan sawit tetapi produktivitas. Kebun saya hanya satu hektar dengan usia sudah 30 tahun masih bisa panen tiga per panen.”

“Jika dibandingkan dengan tetangga yang luas lima hektar dengan umur sama tidak sampai segitu. Ini butuh pelatihan bagaimana petani mengelola kebun dengan baik. Itu didapat dari tergabung dalam asosiasi.”

 

Kebun sawit di Taman Nasional Tesso Nilo, Minggu, 12 November 2017. Foto: Rony Muharrman/ Mongabay Indonesia

 

***

Mongabay Indonesia bekerjasama dengan Perkumpulan Kaoem Telapak menerbitkan buku berjudul ‘Di Antara Janji Kesejahteraan dan Dampak Sosial Lingkungan:  Sebuah penelusuran jurnalistik mengenai industri sawit di Indonesia”, yang mengungkap  tentang kondisi perkebunan sawit di Indonesia. Buku ini dapat diperoleh dan diunduh cuma-cuma di tautan ini atau scan barcode di bawah ini.

Exit mobile version