Mongabay.co.id

Kasus Tambang Pasir Laut, Mantan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Takalar Jadi Tersangka

 

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan menetapkan mantan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Takalar, Gazali Mahmud (GM) ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tambang pasir laut Takalar berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan No. 67/P.4/Fd.1/03/2023 tanggal 30 Maret 2023.

GM disangkakan dalam perkara Tindak Pidana Korupsi Penyimpangan Penetapan Nilai Pasar/Harga Dasar Pasir Laut pada Badan Pengelolaan Keuangan Daerah Kabupaten Takalar dalam Kegiatan Penambangan Pasir Laut Tahun Anggaran 2020.

“Dari penyimpangan yang terjadi pada penetapan harga dasar pasir laut tersebut, mengakibatkan Pemerintah Daerah Kabupaten Takalar mengalami kerugian dengan nilai total sebesar Rp. 7,06 miliar,” ungkap Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Soetami kepada media (4/4/2023).

Hasil taksiran kerugian sesuai dengan laporan hasil pemeriksaan/audit perhitungan kerugian keuangan negara atas penyimpangan penetapan harga jual pasir laut pada BPKD Kabupaten Takalar dalam Kegiatan Penambangan Pasir Laut TA. 2020 No.700.04/751/B.V/ITPROV tanggal 03 Februari 2023.

Menurut Soetami, GM dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) Jo. Pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke- 1 KUHP Jo. Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Subsider Pasal 3 Jo. Pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. UU RI No.  20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke- 1 KUHP Jo. Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

Kasus ini berawal dari aktivitas penambangan pasir laut pada Februari 2020 – Oktober 2020, di wilayah perairan Kabupaten Takalar, tepatnya di daerah Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar.

Pengerukan pasir dilakukan PT Boskalis International Indonesia dalam wilayah konsesi milik PT Alefu Karya Makmur dan PT Banteng Laut Indonesia, yang hasilnya digunakan untuk reklamasi pantai di Kota Makassar pada proyek pembangunan Makassar New Port Fase 1B dan 1C.

Dalam aktivitasnya, PT Alefu Karya Makmur dan PT Banteng Laut Indonesia, diberikan nilai pasar atau harga dasar pasir laut oleh Kepala BKD Kabupaten Takalar sebesar Rp7.500,-/m3 yang nilainya dianggap bertentangan dan tidak sesuai dengan nilai pasar pasir laut yang diatur dalam Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan No. 1417/VI/TAHUN 2020 dengan nilai pasar sebesar Rp10.000/m3.

“Penurunan nilai pasar pasir laut dalam SKPD yang diterbitkan oleh tersangka GM,” jelas Soetami.

 

Warga lokal yang menolak tambang pasir di Galesong, Takalar. Foto di tahun 2017 Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

Baca juga: Tambang Pasir Laut Galesong Rusak Ekosistem Laut dan Sebabkan Abrasi

 

Usut Proyek MNP dan Boskalis

Dalam tanggapannya, Slamet Riadi, Kepala Departemen Riset dan Keterlibatan Publik WALHI Sulawesi Selatan menyebut kasus ini semakin mempertegas adanya praktik gelap dan koruptif dalam proyek tambang pasir laut untuk keperluan pembangunan MNP (Makassar New Port).

“Publik tentu masih mengingat jelas bagaimana kami pernah melaporkan dugaan monopoli usaha dan keterlibatan kolega Nurdin Abdullah dalam proyek tambang pasir laut, hingga kasus penangkapan Gubernur Sulawesi Selatan yang saat itu dijabat oleh Nurdin Abdullah,” ungkapnya.

Slamet mendesak agar Kejati Sulsel dapat turut mengusut, memeriksa, dan mendalami proyek MNP dan kapal penambangnya dari perusahaan Royal Boskalis NV.

“Kejati Sulsel harus memperluas proses penyidikan dan penyelidikannya, tidak hanya berhenti dalam kasus tambang pasir laut di perairan Takalar. proyek tambang pasir laut tidak bisa dilepaskan dari material pasir yang digunakan untuk reklamasi MNP dan kapal penambangnya yang berasal dari Belanda milik Royal Boskalis Westminster NV.”

Menurut Slamet, selain sisi gelap dan koruptif yang mewarnai proyek, maka degradasi lingkungan yang terjadi harus menjadi sorotan.

“Hasil kajian terbaru yang kami lakukan menunjukkan bahwa saat ini ekosistem wilayah tangkap nelayan pasca tambang pasir laut berubah drastis. Terumbu karang rusak, banjir rob mengintai, dan banyak pendapatan nelayan yang hilang.”

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Hasanuddin, Rizal Fauzi, menyoroti pentingnya praktik good governance dalam pengelolaan tata ruang laut yang akuntabel.

Dia menyebut kasus ini tidak hanya selesai di level hukum saja, karena memenjarakan beberapa orang pejabat tak dapat menyelesaikan dampak lingkungan yang terjadi. Perubahan kebijakan serta upaya penanganan dampak lingkungan yang dilakukan secara komprehensif yang tepat sasaran.

“Hal ini penting untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah ke depan, serta butuh mekanisme yang lebih ketat untuk perizinan pengelolaan pasir laut,” ungkapnya.

 

Foto Utama: Aktivitas penambangan pasir dengan mengunakan kapal milik Royal Boskalis dari Belanda. Penambangan pasir dilaut dinilai lebih ekonomis dan mudah Karena tanpa melalui proses pencucian lagi. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version