Mongabay.co.id

Ketika Laut Tak lagi Ramah Bagi Suku Duano

 

Dini hari, Muhammad Alif nelayan Suku Duano di Kampung Laut, Kecamatan Kuala Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi mempersiapkan peralatan melaut. Alif berdua dengan temannya memakai pakaian khas nelayan, membawa jaring ikan, pancing, dan alat GPS serta aplikasi yang membantu menentukan lokasi mencari ikan. Nelayan-nelayan ini hidupnya bergantung pada melaut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

“Masa sekarang berbeda dengan masa lalu. Keadaan alam tidak bisa menjadi pedoman karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kebakaran hutan dan pasang surut yang tidak bisa dipastikan. Kami mengatasinya dengan GPS dan aplikasi untuk menentukan lokasi mencari ikan,” kata Alif.

Laut bukan hanya sumber penghidupan bagi Suku Duano, tetapi juga telah menjadi identitas mereka. Meskipun kemiskinan menjerat mereka sebagai nelayan yang tidak mampu untuk memiliki kapal dan peralatan sendiri, Suku Duano masih menganggap laut sebagai bagian penting dari hidup mereka.

Alif bekerja untuk toke yang memiliki kapal dan membiayai melaut. Semua hasil tangkapan biasanya diserahkan ke toke dan dibagi sesuai dengan kesepakatan awal.

”Kami tidak punya kapal yang besar, sementara sekarang melaut harus lebih jauh. Jadi pakai kapal dari toke. Hasilnya paling semalaman melaut cuma dapat Rp50 ribu sampai Rp100 ribu saja,” kata Alif setelah meyerahkan semua hasil tangkapannya ke toke.

baca : Nelayan Udang Jambi Merana Gara-gara Corona, Tangkap Ikan Sulit karena Kapal Pukat Harimau

 

Pemukiman di sepanjang pesisir pantai timur di, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Foto : Elviza Diana/Mongabay Indonesia

 

Namun, hidup mereka tidak bisa dipisahkan dari laut. Setiap harinya, sejak matahari belum terbit hingga terbenam di laut, nelayan Suku Duano di kampung laut selalu melakukan aktivitas di laut. Akan tetapi tak ada yang berubah, mereka tetap saja hanya mampu memenuhi kebutuhan pokok saja.

Kondisi alam yang berubah, pasang-surut yang tidak bisa diprediksi, juga berpengaruh pada tradisi menangkap kerang bambu (Solen lamarckii) atau sumbun dalam bahasa lokal. Dahulu, perempuan Suku Duano dikenal dengan tradisi menyumbun. Kerang-kerang bambu ini hanya bisa ditangkap di pantai berstruktur pasir di tengah laut yang muncul saat air surut.

Kerang bambu ini ditangkap dengan dipancing menggunakan lidi yang dicampur kapur dan air kemudian dimasukkan ke dalam lubang yang diduga berisi kerang bambu.

Pada kondisi segar harga sumbun hanya senilai Rp.20.000 – Rp30.000/kg, tetapi saat musim paceklik harga bisa lebih tinggi lagi. Biasanya sumbun mereka konsumsi sendiri sebagai ketahanan pangan lokal yang tinggi protein.

Tetapi kini tradisi ini tidak lagi seperti dahulu. “Beda sekarang menyumbunnya dari kemarin. Kalau kemarin bisalah dapat 5-6 kilogram, kalau sekarang tidak bisa lagi karena betingnya (pantai) tidak luas, air banyak pasang daripada surut,” ujar Imung, seorang nelayan Sumbun.

Ketua Adat Suku Duano, Asri Tara mengatakan bahwa masa depan nelayan Suku Duano di pesisir timur Jambi makin suram. “Pada waktu itu Suku Duanu lah yang terkenal dengan menyumbun kini tidak seberapa lagi. Mungkin melihat perhitungannya tidak balik modal lah. Jadi banyak yang beralih bersihkan ikan di toke ,” katanya.

Membersihkan ikan dengan toke dibayar sebesar Rp50 ribu per harinya. Bagi Asri itu lebih menguntungkan daripada perempuan Duano menyumbun.

baca juga : Ketika Suku Laut Tidak Lagi di Laut. Mengapa?

 

Nelayan Suku Duano yang masih bertahan melakukan tradisi menyumbun di Kampung Laut, Tanjung Jabung Timur. Foto : Elviza Diana/Mongabay Indonesia

 

Dampak lingkungan juga terlihat pada penurunan jumlah hasil tangkapan ikan yang makin berkurang. Pada tahun 2020, produksi ikan tangkap di Provinsi Jambi mencapai 62.607 ton, dengan sebagian besar berasal dari wilayah pesisir.

Hal ini membuat Suku Duano harus bersaing dengan nelayan dari luar daerah yang datang untuk mencari ikan di wilayah mereka.

“Sekarang banyak yang pakai jaring cantrang, dari luar daerah juga. Jadi kami benar-benar berharap ada penertiban dari pemerintah juga lah, soal alat tangkap ikan. Kalau kami Suku Duano dengan perahu kecil dan alat tangkap tradisional seperti jaring dan pancing,” jelas Asri Tara.

Masalah lain yang dihadapi oleh suku Duano adalah terjadinya kerusakan lingkungan laut akibat dari praktik-praktik penangkapan ikan yang merusak ekosistem laut. “Kami sangat prihatin dengan kondisi lingkungan laut di daerah kami. Pasang surut yang tidak bisa diprediksi. Terlalu banyak sampah plastik dan bahan kimia yang terbuang ke laut. Hal ini sangat merugikan bagi kehidupan laut dan tentunya berdampak negatif pada hasil tangkapan ikan kami,” tambah Asri Tara.

Dalam situasi yang sulit seperti ini, istri nelayan seperti Rosini berharap agar anak dan cucunya tidak pernah lagi merasakan perihnya hidup sebagai nelayan.

Suaminya, M. Alif, pergi ke laut setiap hari, pulang pagi-pagi sekali atau malam, tergantung dari hasil tangkapannya. Ketika ombak sedang tinggi, Rosini hanya bisa berdoa agar suaminya bisa pulang dengan selamat.

Dia mengaku sangat khawatir dan cemas, terlebih lagi ketika tidak bisa menghubungi suaminya melalui handphone.

baca juga :  Nasib Suku Bajo, Pengembara Laut yang Dicap Pelaku Bom Ikan [Bagian 1]

 

Nelayan Suku Duano, Kuala Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi yang bertahan dengan peralatan melaut seadanya dan kapal yang kecil. Foto : Elviza Diana/Mongabay Indonesia

 

Saat ini, para nelayan suku Duano berupaya untuk meningkatkan keterampilan mereka dalam penangkapan ikan dengan memanfaatkan teknologi dan alat tangkap yang lebih modern. Mereka juga berharap dapat memperoleh bantuan dari pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk memperbaiki kondisi lingkungan laut di daerah mereka.

Namun, upaya-upaya tersebut masih terbatas dan belum memperoleh dukungan yang cukup dari berbagai pihak. Masih banyak tantangan dan hambatan yang harus dihadapi oleh suku Duano untuk menjaga keberlangsungan hidup dan mata pencaharian mereka sebagai nelayan tradisional di pesisir timur Jambi.

Kepala Dinas Perikanan Tanjab Timur, Hendri bilang untuk tahun ini anggaran bantuan kapal belum ada. “Sementara kita memang belum ada anggaran untuk bantuan kapal, karena itu membutuhkan biaya yang besar,” katanya.

Potensi hasil tangkap laut nelayan di pesisir timur Tanjung Jabung Timur juga cukup baik. “Data hasil tangkap yang kita himpun pada tahun 2020 sebesar 26.834 ton, turun sedikit di 2022 hanya 24.503,61 ton dan pada tahun 2023, sudah ada 25.427 ton hasil tangkap nelayan. Artinya potensi ikan dan hasil laut lainnya di Tanjab Timur cukup baik,” katanya.

Soal penertiban jaring cantrang, Hendri mengaku sampai saat ini wewenangnya di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jambi untuk melakukan monitoring dan penindakan.

baca juga : Menjinakkan ‘Bom’ di Laut: Secercah Asa dari Pulau Wawonii

 

Berbagai olahan ikan asin menjadi komoditi utama di Kampung Laut, Kuala Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Foto : Elviza Diana/Mongabay Indonesia

 

Nelayan suku Duano dituntut untuk mampu beradaptasi dengan teknologi dan peralatan yang memadai agar dapat bertahan hidup. Menurut Alif, seorang nelayan suku Duano, mereka berharap memiliki alat penangkapan ikan yang canggih. Selama ini dia memakai GPS dan aplikasi yang dapat membantu mereka mencari lokasi dan pasang surut untuk meningkatkan hasil tangkapan mereka. Tetapi belum dilakukan sekitar ratusan nelayan lainnya.

Namun kondisi ini berbanding terbalik dengan masyarakat Suku Duano yang mendiami pesisir timur Jambi sejak tahun 1960-an. Asri Tara bilang mereka memilih, kampung laut karena sebagai orang laut tidak akan mungkin terpisah dengan laut. “Kami Orang laut, hidup dan mati di laut. Kalau laut sedang tidak ramah, kami butuh banyak belajar menjadi orang darat. Bertani, beternak. tetapi itu mustahil untuk generasi tua seperti saya, butuh belajar keras untuk itu,” ujarnya.

Rosini sibuk membersihkan ayam untuk menyambut puasa bersama. Alif suaminya sudah pulang melaut. Tanpa membawa ikan, semua sudah diserahkan ke toke. Dia memandang belakang rumahnya yang langsung berhadapan ke laut. Riuh suara anak-anak berlarian dan melompat ke air yang makin terasa hangat. Kapal-kapal nelayan terlihat sedang bersiap untuk melaut, berharap dapat membawa pulang hasil tangkapan yang cukup untuk menghidupi keluarga mereka.

 

 

Exit mobile version