- Para nelayan kecil di Maluku Utara keberatan dengan penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) dengan kuota tangkap ikan yang telah ditetapkan Pemerintah Indonesia melalui PP No.11/2023.
- Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Dufa-dufa Ternate menjadi salah satu dari empat pelabuhan perikanan yang menjadi uji coba pelaksanaan PIT
- PP No.11/2023 mengatur 11 WPP menjadi 6 zona penerapan PIT dengan kuota penangkapan ikan yang terbagi untuk industri, nelayan lokal, dan kuota kegiatan bukan untuk tujuan komersial.
- Koalisi NGO Koral menilai penerapan PIT mempersempit ruang tangkap nelayan skala kecil dan dianggap sebagai gerak mundur kebijakan perikanan di Indonesia
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT). PP yang terdiri dari 9 Bab 28 pasal dan ditetapkan Presiden Joko Widodo itu, telah diundangkan Mensesneg Pratikno di Jakarta 6 Maret 2023 lalu.
PIT sendiri bertujuan melestarikan sumber daya ikan agar tetap terjaga dan memberikan kesejahteraan bagi nelayan. Tetapi nelayan kecil di Maluku Utara mengkhawatirkan rencana penerapannya.
“Hampir dipastikan nelayan lokal seperti kita di Maluku Utara yang milik perorangan akan berhadapan dengan kapal luar negeri berbendera Indonesia di laut dengan alat tangkap lebih canggih karena mereka adalah kelompok industri. Bukan perorangan seperti kita,” kata Taufiq Abubakar Koordinator Ngofa Nelayan Kota Tidore Kepulauan belum lama ini.
Penerapan PIT secara online itu, katanya, juga bakal merepotkan dan memberatkan nelayan Maluku Utara yang rata-rata berpendidikan terbatas. “Jangankan nelayan, petugas dari DKP Maluku Utara saja masih bingung dengan rencana pemberlakuan E-PIT ini,” katanya. Karena tak paham dengan pelaksanaan E-PIT, katanya, maka nelayan sangat keberatan dengan rencana pemberlakuan ini.
baca : Sudah 2023, Penangkapan Ikan Terukur Belum Juga Diterapkan
Kepala Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Dufa-dufa Ternate Fauji Momole mengatakan pelaksanaan PIT masuk tahap uji coba di beberapa pelabuhan perikanan, salah satunya di Ternate. “PIT lebih ke arah penetapan kuota tangkap nelayan. Kita di zona 3 juga masuk rencana uji coba program ini,” katanya saat diwawancarai, Jumat (8/4/2023).
Sementara dalam hal penerapan pembayaran PNBP pasca tangkap di Maluku Utara diberlakukan di empat pelabuhan perikanan. Yaitu PPI Dufa dufa Kota Ternate, PPI Goto Kota Tidore, Pelabuhan Perikanan Pantai Bacan di Halmahera Selatan, Pelabuhan Perikanan Pantai Tobelo Halmahera Utara dan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Bastiong Kota Ternate yang merupakan UPT KKP.
Sekadar diketahui berdasarkan Pasal 7 ayat (1) PP No.11/2023, terdapat 6 zona yang diatur dalam beleid tersebut untuk PIT mencakup Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) di perairan laut dan laut lepas.
Dalam Bab II PP No.11/2023, mengatur zona penangkapan ikan terukur perairan laut Maluku Utara masuk dalam pasal 2 ayat 1 yang menjelaskan tentang Zona PIT meliputi: Zona 01, WPPNRI 711 (perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Natuna Utara); zona 02, meliputi WPPNRI 716 di perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera), WPPNRI 717 (perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik), dan Laut Lepas Samudera Pasifik.
Sedangkan zona 03, meliputi WPPNRI 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau), WPPNRI 718 (perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian timur), dan WPPNRI 714 (perairan Teluk Tolo dan Laut Banda). Untuk wilayah Maluku Utara masuk dalam dua zona yakni zona II dan Zona III di WPP 715 dan 716.
perlu dibaca : Nelayan Kecil di Pusaran Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur
Aturan itu juga memuat tentang kuota penangkapan ikan di zona PIT. Kuota dihitung berdasarkan potensi sumber daya ikan yang tersedia dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan, dengan mempertimbangkan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan.
Adapun kuota penangkapan ikan di zona PIT dibagi menjadi tiga. Ketiganya adalah kuota untuk industri, nelayan lokal, dan kuota kegiatan bukan untuk tujuan komersial.
Kuota industri dan nelayan lokal diberikan pada setiap zona PIT sampai 12 mil laut. Sementara untuk kegiatan bukan untuk tujuan komersial diberikan pada setiap Zona PIT sampai 12 mil laut dan di atas 12 mil laut.
“Kuota Penangkapan Ikan di Zona PIT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dimanfaatkan dalam periode 1 (satu) tahun musim penangkapan ikan dan dibatasi oleh Kuota Penangkapan Ikan yang diberikan setiap tahun,” bunyi pasal 11 ayat (1).
Dalam penjelasan umum PP No.11/2023 diuraikan bahwa mengatasi isu dan tantangan yang dihadapi, Pemerintah menyiapkan kebijakan PIT sebagai acuan pengelolaan perikanan tangkap di Indonesia dengan tetap menjaga ekologi kelautan yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional dan menjamin kesehatan laut Indonesia.
Kebijakan PIT ini bertujuan mempertahankan ekologi dan menjaga biodiversity, meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah, dan kesejahteraan nelayan. Diharapkan regulasi ini dapat menghapus praktik kegiatan perikanan yang melanggar hukum (illegal), tidak dilaporkan (unreported), dan tidak diatur (unregulated fishing).
baca juga : Penangkapan Ikan Terukur, untuk Nelayan Kecil atau Pelaku Usaha?
Kebijakan PIT berbasis kuota sedang dalam tahapan uji coba. Kebijakan ini membuka peluang investor di dalam dan luar negeri memanfaatkan sumber daya ikan pada zona-zona industri melalui perizinan khusus berjangka 15 tahun. Uji cobanya di tiga Pelabuhan Perikanan yakni Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Tual di Maluku, PPN Ternate di Maluku Utara dan PPN Kejawanan di Jawa Barat.
Melalui kebijakan itu, pemerintah menargetkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 12 triliun pada 2024 atau meningkat Rp 1 triliun dari 2021.
Sekretaris Koalisi NGO untuk perikanan dan kelautan berkelanjutan (Koral), Mida Saragih saat dihubungi Mongabay Sabtu (8/4/2023) mengungkapkan dipastikan PIT mempersempit ruang tangkap nelayan skala kecil yang diberlakukan untuk 11 WPP dan laut lepas.
Maluku Utara masuk dalam zona 3 di WPP 715 yang boleh diakses penanaman modal asing PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Zona 1 s/d 4 untuk PMDN dan PMA. Zona 5-6 untuk PMDN ini sesuai pasal 8 ayat 5 dan 6 dari PP No.11/2023
“Zona 3 ini ruang perebutan investor. WPP-nya kaya akan ikan dan merupakan penyumbang sumberdaya ikan ke WPP lain. Menurut saya ini gerak mundur kebijakan perikanan Indonesia,” jelasnya.
Dia bilang pada periode pertama Presiden Jokowi sangat menentang IUU Fising, periode kedua sangat mendukung investasi perikanan bahkan membolehkan PMA masuk ke 8 WPP (Zona 1-4)
baca juga : Begini Kesiapan Nelayan Kecil Malut dalam Penerapan Penangkapan Terukur
Sebetulnya, katanya, banyak UPT-nya KKP yang menyatakan tidak siap dengan peraturan ini. Karena mereka melihat infrastruktur yang lemah, dan kesulitan mendorong kepatuhan dalam pelaporan via E-PIT. Belum lagi persoalan akses sinyal. Karena itu katanya pemberlakuan regulasi ini tidak mudah bagi nelayan kecil.
“Hanya ada tiga kategori kuota dalam PP tersebut, yakni kuota industri, kuota nelayan lokal dan kuota bukan untuk tujuan komersial termasuk untuk wisata pada Pasal 10 ayat 2,” katanya.
Untuk kuota industri diberikan oleh Menteri kepada orang perseorangan, badan usaha yang berbadan hukum (PT dan koperasi). Hal ini diatur dalam Pasal 8 ayat 4 No.11/2023. Orang perseorangan diutamakan nelayan kecil yang tergabung dalam koperasi diatur dalam pasal 3.
“Jadi, nelayan kecil yang ingin mendapat kuota orang perseorangan harus lah tergabung dalam koperasi,” cecarnya. Ini jelas semakin membatasi akses nelayan kecil dalam mendapatkan kuota tangkap. Memang katanya ada ketentuan lain soal wilayah tangkap nelayan kecil, namun tidak ditentukan dengan jelas lokasi tangkapnya. Seolah-olah tidak boleh menangkap ikan di bawah 12 mil. Menurut Pasal 15 Ayat 2, nelayan kecil dapat diberikan akses daerah penangkapan ikan di atas 12 (dua belas) mil.
Dia juga menyentil bahwa terkait regulasi baru ini di dalam internal KKP, antar direktorat jenderal punya defenisi yang berbeda. Ini masalahnya.
Menurut Mida hasil evaluasi ini yang akan menentukan arah pengaturan perikanan tangkap. Misalnya, ketika status stok ikan tertentu masih berwarna merah maka yang perlu dilakukan adalah menghentikan penangkapan ikan tersebut hingga nanti kondisinya pulih atau berstatus hijau.
Jadi, tidak cukup hanya mengatur kuota dan kapal yang mengakses WPP, tapi juga memperhatikan kaidah-kaidah keberlanjutan pengelolaan perikanan. Kuota penangkapan ikan sendiri belum ada pengaturannya dalam peraturan pemerintah. KKP akan mengaturnya pada level peraturan menteri.