Mongabay.co.id

Cerita Para Perempuan Wadulink, Jaga Sungai Sekaligus Manfaatkan Daun Kelor

 

 

 

 

Langit tak begitu berawan di atas Desa Sumengko, Kecamatan Wringinanom, Gresik, Jawa Timur, pagi itu. Cahaya matahari menembus celah-celah daun kelor yang tumbuh di bantaran anak Sungai Brantas.

Sekelompok perempuan tengah sibuk bersih-bersih di sekitar bantaran sungai. Sebagian menancapkan batang kelor. Mereka tanam dengan cara stek. Para perempuan ini juga mengukur kualitas air sungai itu.

Beberapa jam kemudian, mereka berpencar ke beberapa sudut memetik daun kelor. Mereka berbagi tugas. Sebagian memetik daun demi daun. Sebagian bertugas mengumpulkan hasil petik.

Setelah cukup, mereka bergegas ke salah satu rumah. Ada yang menghidupkan api, ada  yang aduk tepung dan bahan-bahan yang sudah disiapkan. Ada juga yang membilas daun kelor.  Para perempuan ini tergabung dalam Wanita Peduli Lingkungan (Wadulink).

 

Kerupuk olahan daun kelor. Foto: Wadulink / Ecoton. 

 

Mereka panen sekitar tiga kilogram daun kelor untuk jadi  kerupuk kelor (pulor), tepung moringa, brownies moringa sampai teh moringa. Para perempuan ini memanfaatkan kelor yang tumbuh di bantaran sungai ini.

“Kami memproduksi pulor untuk jual sebagai usaha sampingan Kami juga konsumsi sendiri. Selama ini kebanyakan orang memanfaatkan kelor hanya untuk sayur bening. Melalui Wadulink, kelor bisa jadi produk bernilai ekonomi,” kata  Nur Hamidah, Koordinator Wadulink.

Gotri, anggota Wadulink Sumengko mengatakan,  bantaran sungai memiliki sumber pangan melimpah. “Bantaran sungai selalu menyuguhkan manfaat bagi kami, banyak tanaman sayur salah satu kelor yang bisa kami manfaatkan untuk berbagai olahan makanan,” katanya.

Saat ini,  bantaran sungai banyak beralih fungsi jadi bangunan permanen bukan lagi ruang terbuka hijau (RTH). Dia menyayangkan itu. “Kalau sungai ada bangunan permanen, tak tidak bisa ditanami sayuran dan toga.”

 

Memetik daun kelor. Foto: Wadulink / Ecoton. 

 

Dia berharap,  bantaran sungai berfungsi sebagai RTH yang bisa mendukung perekonomian masyarakat di sepanjang sungai.

Nur mengatakan, sebelum mengolah kelor, bersama beberapa anggota Wadulink  bersih-bersih sekitar bantaran sungai dulu untuk menjaga kebersihan sungai. Kemudian,  menanam bibit sekaligus diskusi tentang isu stunting.

“Kami juga kolaborasi dengan beberapa ibu-ibu PKK, Kader Kesehatan Desa, dan beberapa pemuda dari organisasi IPPNU.”

Mereka sedang belajar pengembangan olahan kelor, misal, jadi kue kering berbahan kelor.  Daun kelor, katanya,  bisa mencegah anak dari stunting karena kaya gizi.

 

Proses mengolah daun kelor. Foto: Wadulink / Ecoton. 

 

Nur menceritakan, Wadulink dibentuk sekitar 2016,  terinspirasi  dari gerakan peduli lingkungan yang dikampanyekan Ecological Observation and Wetland Conservation (Ecoton), soal kondisi air Sungai Brantas.

“Sejak awal Wadulink berdiri, kami dapat support dari Ecoton untuk terus menjaga kelestarian lingkungan sungai dan bisa memanfaatkan hasil dari lingkungan sungai jadi nilai ekonomi,” katanya.

Tonis Afrianto Pegiat Zero Waste  dari Ecoton mengatakan, alih fungsi lahan bantaran jadi bangunan permanen sudah sejak dulu, saat ini lebih masif.

Pemerintah melalui Balai Besar Wilayah Sungai Brantas sudah sosialisasi termasuk pasang papan imbauan namun tidak digubris.

Dia mengapresiasi Wadulink. Mereka, katanya,  berupaya mempertahankan bantaran kali jadi RTH  dan menanami dengan tanaman pangan.

 

Kerupuk mentah daun kelor. Foto: Wadulink / Ecoton
Kelor usai petik, siap olah. Foto: Wadulink /Ecoton

*******

Exit mobile version