Mongabay.co.id

Merawat Hutan Mangrove Kedatim: Ekosistem Pulih, Desa pun Punya Sumber Pendapatan

 

 

 

 

 

Ketika memasuki hutan mangrove di Wisata Mangrove Kebun Dadap Timur, Madura, Jawa Timur, saya disambut suara burung berbagai jenis yang lompat dari rantin ke ranting.

Tempat itu terasa sejuk, jajaran pohon mangrove menjulang tinggi menghalangi sebagian besar sinar matahari menyentuh badan saya. Hanya sebagian kecil sinar matahari menerobos dari celah rimbunan mangrove.

Jembatan kayu terlihat kokoh. Ia meliuk melewati celah-celah pohon mangrove, tak membentang lurus.

Adji Nur Rahman, pengelola Wisata Mangrove Kedatim (WMK), bercerita, pada 2022,  WMK terpilih sebagai juara tiga lomba Desa Nusantara yang diadakan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Ia diikuti sekitar 4.000 desa.

Sebelumnya,  dia dan rekan-rekannya tak berpikir akan membuat wisata mangrove di Kebun Dadap Timur ini. Sejak 2018, di sana sering ada berbagai kegiatan penanaman mangrove.

Fatlillah, rekan Adji bilang,  pada 2016 akhir sudah membuat grup Desa Wisata Kedatim dengan aplikasi perpesanan. Pada Hari Konservasi Nasional mereka menanam mangrove di pesisir pantai itu. Pada 2018,  mereka dapatkan bantuan tanam mangrove dari Dinas Perikanan dan Kelautan Jawa Timur.

“Akhirnya, gayung bersambut olle program dhari Jawa Timur Timur,” kata Fatlillah, awal Maret lalu.

Pelestarian mangrove di tepian sungai di Kebun Dadap Timur itu terus berlanjut dari waktu ke waktu. Sebagian besar mereka menanam propagul yang didapat dari tempat itu.

“Lama kelamaan kok banyak orang se (yang) ingin ke sini. Awalnya kita bikin jogging track kurangsekitar 50 meter, hanya untuk pantauan kegiatan kita,” kata Adji.

Jogging track dengan bambu dari urunan swadaya dan sisa uang kegiatan dari Pemerintah Jawa Timur.  Baru pada pertengahan 2021, tempat wisata itu resmi buka.

 

WKK juga tempat asik untuk memancing. Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Ekosistem mangrove dan sungai di sana makin membaik. Ia bisa mencegah abrasi, masyarakat mendapat manfaat langsung dari biota laut yang melimpah. Jarak tempuh para nelayan makin pendek sejak mangrove makin rimbun dan lestari.

“Yang awalnya mereka jauh, ke luar sana, melaut mencari ikan, sekarang dengan ada mangrove, habibat kek kepiting melimpah, kayak kakap mangrove sejak itu juga banyak,” kata Adji.

Dia dulu seorang nelayan. Terkadang dia masih mencari kepiting atau siput di sekitar hutan mangrove sampai saat ini. Di tempat itu, katanya, biota laut mudah ditemui. Bila air pasang, banyak orang yang mencari.

Awalnya apa yang dilakukan Adji cs tak langsung mendapatkan sambutan positif dari masyarakat. Awal mereka bergerak, ada sebagian orang nyinyir terhadap kegiatan konservasi mereka.

Ngapainlah gak ada kerjaan jaga hutan.” Ada yang ungkap begitu. Mereka pernah dianggap gila karena menjaga hutan mangrove di desa itu.

 

Adji Nur Rahman, pengelola Wisata Mangrove Kedatim (WMK). Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Kendati dianggap “gila”, Adji tidak patah arang. Dia dan rekan-rekannya tetap melanjutkan kegiatan. Di tengah kesibukan agenda mereka masing-masing, tetap menyempatkan diri merawat hutan mangrove desa itu.

“Cuma kita menyempatkan waktu, biar bermanfaat bagi orang lain. Itu saja tujuan utamanya. Lama kelamaan kok banyak perahu yang bawa rombongan.”

Saat itu, katanya,  sebagian orang masih belum tahu tentang fungsi dan manfaat mangrove, bahkan kadang ada warga yang mencabuti propagul yang baru ditanam karena merasa daerah itu lokasi tangkapan ikan mereka.

“Sedangkan,  tanah yang terkena abrasi yang digenangi air laut sudah ada peraturannya, hak milik atas tanah itu dicabut. Itu kan kerugian meskipun mereka gak tahu sebenarnya soal ini. Kami para pemuda di sini miris melihat itu.”

Adji bilang, mereka tidak bisa buru-buru menyalahkan masyarakat yang belum mengerti. Untuk itu, mereka pun tak henti-henti menyosialisasikan fungsi dan manfaat mangrove bagi kehidupan masyarakat.

Dia sadar, mengubah pola pandang masyarakat bukanlah hal mudah. Adji cs juga duduk bersama pemerintah desa supaya gerakan mereka makin masif.

“Mungkin awalnya mereka enggak enggeh, kalau kita sudah sering, kita sampaikan, kita sosialisasikan sedikit demi sedikit, mereka sadar,  tersentuh. Alhamdulillah, sekarang mulai membantu menjaga mangrove.”

Saat ini,  mereka sudah berhasil merehabilitasi mangrove sekitar 40 hektar. Yang jadi tempat wisata mangrove Kedatim sekitar 8-10 hektar.

 

Danau buatan di tengah hutan mangrove. Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Kelolaan BumDes

WMK dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Kebun Dadap Timur. Adji jadi Ketua BUMDes Kedatim, sekaligus pengelola WMK.

Dia bilang, tahun pertama beroperasi, WMK sudah menyumbang pendapatan asli desa Rp10 juta. Tahun kedua,  dia prediksi tak jauh berbeda. Dana awal dari desa Rp500 juta.

Dana Rp500 juta itu untuk buat jogging track dari kayu– sebelumnya pakai bambu–supaya lebih kokoh dan tahan lama.

Seiring ada perkembangan, di tempat itu sudah dibangun beberapa gazebo, kafe, dan properti lain seperti kolam yang menambah pemandangan indah dengan hutan mangrove nan rimbun.

Orang-orang yang dulu menyepelekan gerakan Adji cs pun berbalik ingin bergabung.  Kini, ada  14 warga bekerja di WMK.

Adji bilang, pembangunan WMK belum sampai 50%, baru antara 40-45%. Jogging track sudah dibangun sepanjang 850 meter.

Jogging track banyak menikung karena untuk meminimalisir penebangan mangrove.  Karena butuh puluhan tahun untuk mendapat pohon mangrove sebesar itu,” kata Adji.

Mereka juga berupaya meminimalisir sampah plastik. Ada dua orang untuk petugas kebersihan. Sampah yang ada di sana bukan melulu dari wisatawan juga kiriman dari daerah lain.  Bila pasang sampah terbawa dan terdampar di hutan mangrove, sungai surut sampah terlihat. Petugas berkala bersihkan sampah.

 

Jembatan kayu di tengah hutan mangrove WKK. Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Makanan yang dihidangkan juga dari UMKM desa. Warga desa yang berkunjung ke tempat wisata itu gratis dengan tujuan agar merasa saling memiliki. Selaon warga desa situ, tiket masuk Rp10.000 per orang.

WMK menjadi salah satu tempat wisata binaan Kementerian Desa. Di tempat itu setidaknya ada dua20 jenis mangrove tumbuh.

Endang Triwahyurini, Ketua Kelompok Peduli Mangrove Madura (KPMM), menilai,  seiring muncul beberapa tempat wisata alam di Madura, terutama mangrove, bagus untuk keberlanjutan kawasan itu. Hal itu, katanya,  juga menandakan masyarakat mulai peduli fungsi dan manfaat mangrove, bukan sekadar hiasan pantai.

“Itu tidak langsung membantu untuk pelestarian mangrove,” kata Endang.

Wisata mangrove tak sekadar meningkatkan perekonomian masyarakat, juga bisa mengambil manfaat dari ekosistem yang terjaga.

Bagi Endang, andai pembangunan wisata mangrove karena latah sekalipun tak masalah. Terpenting, ada tutupan mangrove lalu jadi tempat wisata.

“Meskipun mangrovenya terseok-seok ya untuk hidup saja terseok-seok karena bersaingnya dengan tambak udang … Kita tidak bisa memungkiri itu karena ini kondisi di lapangan kek begitu,” tambahnya.

Supaya alam dan wisatanya ini berkelanjutan, Endang menganjurkan adanya manajemen pariwisata yang baik serta berjalan lurus dengan pelestarian alam.

 

Penanda memasuki Wisata Mangrove Kedatim. Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

********

Exit mobile version