Mongabay.co.id

Mereka Suarakan Kerusakan Pulau Obi Dampak Industri Nikel

 

 

 

 

 

Perusahaan nikel, PT Trimegah Bangun Persada Tbk, pada 12 April  melakukan pencatatan (listing) penawaran saham perdana (initial public offering/IPO)  di bursa efek di Jakarta.  Hari itu, masyarakat Pulau Obi, Maluku Utara,  bersama Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Enter Nusantara dan Trend Asia menggelar aksi di Kantor Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta.

Trimegah mulai penawaran perdana selama 10 hari pada 15-24 Maret lalu. Masa penawaran berlanjut,  pada 12 April itu pencatatan di Bursa Efek Indonesia.

Aksi ini untuk menyerukan kepada para pialang, sebagai perantara publik dalam jual-beli saham terkait bahaya investasi nikel.

Anak usaha Harita Group itu diproyeksikan mendapatkan peningkatan kekayaan bersih dari US$1,1 miliar jadi US$4,6 miliar.

Di Pulau Obi, Malut, Trimegah mengoperasikan smelter pencucian asam bertekanan tinggi (high pressure acid leaching/HPAL) yang pertama dengan produksi nikel 60.000 ton per tahun.

Dengan smelter ini mengubah bijih kadar rendah lokal jadi endapan hidroksida campuran, bentuk nikel yang dapat diproses lebih lanjut untuk membuat baterai kendaraan listrik.

Muh Jamil, dari Jatam mengatakan, aksi ini untuk menunjukkan rekam jejak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan dari operasi Harita Group di Obi. Sekaligus,  menunjukkan pada pialang saham Trimegah adalah investasi berisiko, merusak lingkungan dan mendukung perampasan ruang hidup warga.

“BEI yang memfasilitasi agenda IPO Trimegah ikut dan wajib bertanggungjawab atas potensi pembangkitan kerusakan sosial-ekologi serta ekonomi rakyat di Pulau Obi dan perairannya,” kata Jamil.

Jatam juga membeberkan perusahaan yang merusak sumber air bersih warga dan meracuni laut, dalam operasionalnya, PT Trimegah Bangun Persada, bersama PT Gane Sentosa Permai, PT Persada Lygend, PT Mega Surya Pertiwi, dan PT Halmahera Jaya Feronikel di Pulau Obi. Seluruh  perusahaan itu berada di bawah bendera Harita Group.

 

Baca juga: Moncer Baterai Kendaraan Listrik, Suram bagi Laut dan Nelayan Pulau Obi [1]

Rawa jadi lokasi endapan lumpur ore nikel di belakang pemukiman warga tahun lalu. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Perusahaan yang dimiliki keluarga konglomerat Lim Haryanto Wijaya Sarwono ini bergerak di sektor sumber daya alam, mulai dari bisnis nikel, bauskit, batubara, perkebunan sawit, hingga perkapalan dan perkayuan.

Upaya mengumpulkan tambahan modal sebesar itu tidak terlepas dari rencana pembangunan pabrik pengolahan nikel kedua di Pulau Obi. Pabrik ini pakai proses HPAL yang dioperasikan PT Halmahera Persada Lygend (HPL). Pabrik ini mulai konstruksi pada 2018 dengan modal US$1,5 miliar, hasil patungan dengan Zhejang Lygend Investment Co., Ltd.

Melky Nahar, Koordinator Nasional Jatam mengatakan,  langkah Trimegah IPO berlangsung di tengah derita warga dan lingkungan. Ekstraksi nikel dari perusahaan Harita Group ini meninggalkan daya rusak panjang dan tak terpulihkan.

“Mulai dari pembukaan lahan skala besar, mencemari air, udara, dan laut yang berdampak pada terganggunya kesehatan warga dan ekosistem, membongkar kawasan hutan yang memicu deforestasi, hingga kekerasan beruntun terhadap warga lokal,” ujar Melky dalam konferensi pers beberapa waktu lalu secara daring dari Jakarta.

Pertambangan nikel Harita Group beroperasi sejak 2010 di Desa Kawasi, Obi. Sejak itu, daratan, pesisir dan laut, tempat warga Kawasi bergantung hidup, berubah jadi area pertambangan.

Melky bilang,  lahan-lahan warga di Desa Kawasi dicaplok, tanaman perkebunan lenyap, sumber air tercemar, udara disesaki debu dan polusi, air laut keruh-kecoklatan, bahkan ikan-ikan tercemar logam berat.

“Proses pencaplokan lahan-lahan warga itu diselimuti kekerasan dan intimidasi, bahkan sebagian warga yang menolak lahan digusur justru berhadapan dengan tindakan represif aparat negara dan perusahaan,” kata Melky.

Perusahaan, katanya,  selalu menggunakan siasat, dengan menerobos terlebih dahulu baru negosiasi. Siasat ini, selain merugikan, juga mempersempit pilihan warga untuk bertahan atas tanah yang dihancurkan dan dikepung pertambangan.

“Saat sama, perusahaan mengklaim kalau lahan-lahan yang diterobos paksa itu milik negara, meski warga telah menguasai puluhan tahun, bahkan membayar pajak,” katanya.

 

Baca juga: Cerita dari Pulau Obi, Daerah Penghasil Bahan Baku Baterei Kendaraan Listrik [1]

Aksi masyarakat Obi, Jatam, Trend Asia dan lain-lain di Kantor BEI Jakarta. Foto: Jatam

 

Air tercemar

Upiawan Umar, aktivis lingkungan Maluku Utara mengatakan,  sumber air warga Kawasi tercemar karena limpahan ore nikel yang masuk ke perairan. Itu seperti terjadi pada Air Terjun dan Sungai Toduku.

Meski tercemar, warga masih pakai air itu. Warga yang punya uang bisa beli air galon, yang ekonomi pas-pasan tak punya pilihan lain, tetap memasak air itu.

Air Cermin dan Sungai Loji,  yang sebelumnya dipakai warga sebagai sumber air bersih, misal, kata Upi, kini lenyap pasca perusahaan membongkar sebagian besar hutan di daratan hingga pesisir.

Sungai Ake Lamo, sungai terbesar di Pulau Obi, hulu tengah dibongkar perusahaan tambang. Bukit-bukit sebagai daerah aliran dan badan sungai telah dikupas, menyebabkan sungai ini tercemar dan rusak.

“Setelah ruang hidup warga di darat dihancurkan, ruang laut tempat nelayan mencari ikan di Pulau Obi pun turut dirusak dan dicemari. Limbah-limbah yang dibuang ke sungai-sungai dan mengalir ke laut menyebabkan pesisir dan laut berubah warna menjadi keruh-kecoklatan,” katanya.

Pipa-pipa pembuangan limbah dari aktivitas eksplorasi perusahaan diduga mengarah ke laut, menyebabkan ekosistem dan ikan-ikan rentan tercemar logam berat. Kondisi ini merujuk penelitian Muhammad Aris dalam jurnal “Heavy Metal (Ni, Fe) Concentration in Water and Histophathological of Marine Fish, in the Obi Island, Indonesia”(2020) .

Riset itu menyebut polusi logam berat di perairan Obi terakumulasi dalam fisiologi ikan-ikan. Logam yang mengontaminasi perairan laut bisa dimakan plankton, lalu plankton dimakan ikan kecil dan ikan besar.

Selain sumber air, ekspolitasi dan perampasan ruang hidup, juga memperburuk kualitas udara. Dalam laporan Jatam, warga Kawasi mesti menghirup ‘udara kematian’ setiap hari dari debu batubara PLTU dari kawasan industri Harita Nickel.

PLTU batubara yang jadi penunjang operasi industri nikel mencemari udara dan menyebabkan kesehatan warga terganggu. Jarak yang dekat dengan pemukiman penduduk membuat warga rentan terpapar polusi beracun.

Saat musim panas, pelaratan dapur, meja makan, kursi, lantai hingga dalam kamar penuh dengan debu. Para perempuan mesti membersihkan kotoran debu setiap hari. Anak-anak balita sering menangis karena suara bising dari kawasan industri.

Warga mengaku hampir setiap hari ada anak-anak kecil dan dewasa yang dibawa ke fasilitas kesehatan desa, pelataran medis bahkan tidak lengkap. Dalam catatan Jatam, petugas di Polindes Kawasi mengaku, kalau infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah masalah utama di Kawasi.

“Kebanyakan pasien balita. Tercatat ada 124 bayi berusia 0-1 tahun yang mendatangi Polindes sejak Januari hingga Desember 2021. Balita umur 1-5 tahun tercatat 283, menyusul kelompok usia 20-44 tahun 179 orang,” catat Jatam merujuk artikel terbitan Indoprogress.

 

Baca juga: Warga Kawasi Terancam Relokasi Ketika Ada Kawasan Industri Nikel [2]

Warga Kawasi protes tambang dan industri nikel di kampung mereka. Foto: Jatam

 

Warga tersingkir

Setelah ruang-ruang hidup warga dirampas, kata Melky, warga Kawasi juga bakal dipindah-paksakan ke perumahan baru atau ‘ecovillage’ yang dibuat perusahaan. Lokasi berjarak sekitar lima kilometer di bagian selatan Kawasi.

“Upaya paksa memiskinkan dan mencerabut warga asli dari kampung-ruang hidupnya yang penuh sejarah,” katanya.

Perusahaan dan pemerintah klaim pemukiman dekat sudah kumuh, dekat laut, masuk zona rawan gempa bumi dan berdekatan dengan kawasan industri.

“Sejumlah alasan yang digunakan perusahaan dan pemerintah di atas, tentu saja mengada-ada dan di tolak keras warga. Selain telah hidup ratusan tahun di Kawasi, justru perusahaan tambang yang berada di zona rawan gempa itulah yang punya risiko besar bagi keselamatan warga.”

Melky bilang, gelontoran uang dari IPO akan mempercepat proses produksi untuk meraih keuntungan berlipat ganda. Sementara bagi warga lokal adalah sumber malapetaka yang mempertaruhkan masa depan dan ruang hidup mereka.

Anie  Rahmi, Corporate Affrairs Manager Harita Nickel, mengatakan,  apa yang disampaikan Jatam dalam laporan itu “menyesatkan.”

Dalam keterangan tertulis yang diterima Mongabay, Anie menampik ada pencaplokan lahan dan pencemaran sumber-sumber air warga. Dia bilang,  seluruh areal operasi perusahaan berada dalam kawasan hutan produksi dan hutan produksi konversi. Perusahaan dia sebut memegang izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) atas setiap pembukaan lahan.

“Tidak benar apa yang dituduhkan bahwa perusahaan menguasai lahan melalui tindakan represif juga intimidasi ke warga. Melalui proses transparan dan pembayaran yang menguntungkan bagi masyarakat,” kata Anie.

Soal pencemaran sumber air warga, Anie bilang perusahaan tak membuang ore nikel ke aliran Sungai Toduku dan Ake Lamo.

Sisa hasil pengolahan nikel,  katanya ditempatkan ke lubang bekas tambang (mine out) dalam bentuk dry tailings sesuai persetujuan teknis dan surat kelayakan operasional (SLO) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Dia bilang, perusahaan sudah mengantongi izin lingkungan dan izin pengelolaan lingkungan hidup dari pemerintah sejak 2010. Harita juga ditetapkan sebagai proyek strategis nasional.

“Kami juga telah memiliki izin-izin serta persetujuan teknis dari pemerintah untuk pengolahan sisa hasil proses atau limbah, sisa hasil proses ini dikelola terlebih dahulu dan dilepaskan ke lingkungan dengan memenuhi baku mutu yang ditetapkan dan dilaporkan berkala ke pemerintah,” katanya.

 

Penampakan sungai di Kawasi yang tercemar ore nikel tahun lalu. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Selama beroperasi, Anie bilang, pengelolaan limbah perusahaan mendapat inspeksi dan pengawasan berkala baik dari pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten.

Tidak benar juga, katanya, soal pipa-pipa pembuangan limbah diduga mengarah ke laut menyebabkan ekosistem dan ikan-ikan rentan tercemar.

“Ini juga sangat menyesatkan. Tidak ada pipa eksplorasi ke laut,” jelas Anie.

Soal relokasi warga ke ecovillage, katanya, merupakan program pemerintah didukung perusahaan. Pemukiman saat ini,  terlalu padat dan berakibat menjadi lingkungan tidak sehat.

Anie klaim pemukiman yang baru ini akan meningkatkan tingkat kelayakan hidup masyarakat dilengkapi fasilitas memadai. Ia bilang program ecovillage didukung oleh sebagian besar masyarakat.

Warga Kawasi mengatakan,  saat ini perusahaan gencar perbaikan di kampung, pesisir, dan Sungai Toduku. Itu terjadi setelah ada tekanan dari media dan protes-protes warga.

Sampah yang tahun lalu menumpuk di pesisir dan mengendap di sela-sela sungai telah dibersihkan. Setiap hari, katanya,  ada petugas selalu membersihkan.

Namun, belum ada perubahan signifikan. Setiap hari lingkungan selalu kotor. Debu akitivitas industri dan PLTU berbahan batubara masih terus dihirup warga. Kasus konflik lahan sejak medio 2017-2018 yang menggusur lahan perkebunan warga hingga hari ini masih mangrak di meja hijau.

Sementara, sedimentasi yang mengendap di Sungai Toduku, kata warga lain, telah disedot perusahaan. Tubuh air malah makin diperlebar, diubah tidak lagi alami. Padahal,  sekeliling Sungai Toduku merupakan ekosistem mangrove dan tempat hidup biota sungai.

Perbaikan kecil yang dilakukan perusahaan, katanya,  tidak berarti sama sekali kalau akhirnya warga harus relokasi.

 

Sumber air bersih warga khawatir terdampak. Foto: Rabul Sawal/ Mongabay Indonesia

 

Diare renggut nyawa

Selain persoalan kerusakan lingkungan dan persoalan lahan, ancaman kesehatan pun menghantui warga. Dari media pemerintah,  LKBN Antara, Dinas Kesehatan Halmahera Selatan merilis sejak Januari sampai awal Maret 2023 mencatat 520 kasus diare dan beberapa menyebabkan kematian.

Asia Hasyim, Kepala Dinas Kesehatan Halmahera Selatan, mengatakan,  diare kebanyakan dilaporkan terjadi di Pulau Obi, merupakan Kawasan pertambangan dan indusri nikel.

“Pulau Obi dengan kasus pertama dan kasus tertinggi di Halmahera Selatan, bahkan tiga orang dilaporkan meninggal dunia,” katanya kepada Antara di Labuha.

Menurut laporan petugas kesehatan, penyakit diare menyerang anak di bawah lima tahun sampai orang dewasa. Diare di Obi, katanya,  tak lepas dari masalah air bersih di daerah pertambangan itu.

Dinas Kesehatan bekerja sama dengan perusahaan dan pemerintah desa mengupayakan persediaan air warga bebas dari cemaran bakteri dan kuman penyebab penyakit. Mereka  membagikan kaporit untuk disinfeksi air guna mencegah peningkatan kasus diare.

Apa yang terjadi di Maluku Utara, kata Masri Santuli, aktivis lingkungan Maluku Utara menunjukkan, pengkhianatan nyata terhadap Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat.

Akademisi di Universitas Muhammadyah Ternate ini mengingatkan, para  investor untuk peka dalam membeli investasi. Seharusnya, kata Masri,  negara, atau pemerintah tidak memfasilitasi eksploitasi terhadap rakyatnya sendiri.

“Sangat memalukan, karena pejabat pemerintah mendorong perusahaan untuk sekadar membagikan CSR (corporate social responsibility). Mau apa kalau begini? Pengusaha jadi pemerintah, pemerintah mewakili pengusaha. Siapa yang mengawal kepentingan rakyat di Maluku Utara?”

 

Kawasan industri nikel di Kawasi, Pulau Obi. Foto: Jatam

********

Exit mobile version