Mongabay.co.id

Upaya Orang Humba Menjaga Ruang Hidup

 

 

 

Ratusan muda-mudi Humba atau Sumba, dari empat gunung:  Wanggameti, Tanadaru, Purunobu, dan Yawilla, merayakan Festival Wai Humba IX pertengahan November lalu di Kampung Adat Wundut, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.

Anak-anak sampai orang tua larut dalam keriaan menyatukan sekat-sekat teritorial pemerintahan untuk jadi satu Humba dan menjaganya bersama-sama dari ketamakan industri ekstraktif seperti tambang dan perkebunan.

Tema festival ini Tana Beri Ina Mu atau tanah ibarat ibumu jadi pengingat bersama bahwa menjaga tanah Humba adalah tanggungjawab bersama-sama semua orang yang telah diberi makan dan minum tanah Humba.

“Siapa yang sewenang-wenang terhadap tanah. Ia sewenang-wenang terhadap ibunya,” kata Mikael Keraf, dinamisator Wai Humba sejak awal, pada orasi pembuka festival.

Festival Wai Humba juga pengingat kalau Humba tidak sedang baik-baik saja. Ancaman industri ekstraktif mengintai tiap saat. Festival ini untuk mengenang perjuangan menolak tambang emas PT Fathi Resaurces di Taman Nasional Lai Wanggi, Wanggameti.

Setelah berbagai upaya dialog mentok akhirnya terjadi perlawanan heroik orang Sumba pada 2012. Dimotori tiga tokoh, yakni: Umbu Mehang, Njanji dan dan Pindingara.

Saat itu,  awal April 2012, jelang pukul 23.00 malam, warga menyerang lima karyawan Fathi Resources,  yang mengeksplorasi emas di Desa Praikorikujangga, Sumba Tengah.

Merasa terancam, kelima karyawan ini melarikan diri dan meninggalkan bor serta generator di lokasi.

Kelimanya selamat, namun warga yang marah, membakar alat-alat itu di lokasi. Dua generator listrik dan satu alat bor hangus terbakar. Karena aksi, menyelamatkan tanah keramat dari ancaman tambang ini, tiga umbu ini kena jerat hukum penjara hampir satu tahun.

Namun perlawanan aktivitas tambang di luar penjara tetap berjalan. Beberapa bentrokan terjadi antara penambang dan warga yang menolak hingga empat bulan setelahnya.

Sejak penangkapan tiga umbu ini, masyarakat mendapatkan momentum menyatukan warga-warga yang menolak tambang. Mereka lalu membuat acara tahunan bertajuk Wai Humba. Wai berarti air dan ‘humba’ atau Sumba berarti asli.

Mereka jadikan tiga umbu penolak tambang tokoh. Merembaskan semangat menjaga tanah Humba kepada semua orang. Menyarikan misi perjuangannya “Nda Humba Li La Mohu A kama. Kami bukan Humba yang menuju kemusnahan.

Rangkaian acara pun dibikin sedemikian rupa untuk mengenang perjuangan tiga umbu. Upacara penyambutan, misal, dibikin replika seperti penyambutan tiga umbu saat mereka keluar dari penjara. Ada kegembiraan layaknya menyambut pahlawan yang pulang dari laga peperangan.

Para penyambut dan tamu-tamu laki-laki mengikatkan kain adat hinggi, warna-warni terbaik mereka, di pinggang dan memakai ikat kepala seirama dengan hinggi. Ikat kepala ini di satu sisi menghadap ke atas sebagai penghormatan kepada pencipta dan sisi lainnya menghadap ke bumi, sebagai pengingat untuk menjaga bumi. Sedikit berbeda dengan laki-laki, perempuan Humba mengenakan lawu, sarung adat Humba.

Para peserta disambut di gerbang masuk kampung adat dengan upacara penyembutan panggaratau, dengan pasukan berkuda, tarian adat dengan mengayun-ayunkan golok dan saling balas cakap yang isinya menanyakan para tamu apa maksud kedatangannya. Usai itu pekikan kayakak dari laki-laki dan disambut dengan pekikan kakalak dari kelompok perempuan.

Yang datang ke lokasi acara dipersilakan duduk di tikar adat, satu persatu diberi tangawatil, wadah kecil dari anyaman row menggit atau daun lontar, berisi sirih pinang dan kapur. Sirih dan pinang adalah simbol penghormatan dan kekeluargaan untuk tetamu dan dilanjutkan dengan kopi panas untuk menghalau dingin di pengunungan Wundut.

Setelah sirih pinang dikunyah dan kopi dicecap. Para rato atau pemuka Marapu lalu memimpin ritual pembuka yakni  tusuk babi. Babi besar ditusuk di jantung dari arah kaki depan kiri. Darah dialirkan sebagai penanda mulai festival. Para rato biasa melihat hati babi untuk membaca petanda baik-buruk di masa depan.

Selain babi, ayam juga dipotong untuk acara ini. Biasa hati ayam, atau lebih tepatnya urat di bawah hati ayam, juga dibaca untuk penanda. Ayam dan babi adalah simbol kesetaraan di Humba, karena semua orang bisa memiliki dan memanfaatkannya.

 

Lokasi pelaksanaan Festival Wai Humba di Sumba. Foto: tangkapan video

 

Kabar dari empat gunung

Babi dan ayam dimasak di dapur yang berada di tingkat paling kolong dan tingkat pertama rumah adat Humba atau biasa disebut uma mbatang (rumah alang-alang). Rumah-rumah adat ini berupa rumah panggung dengan tiga ruang secara bertingkat.

Ruang paling bawah, kolong untuk ternak, ruang tengah untuk manusia, dan ruang atas untuk para leluhur (marapu). Di ruang atas ini biasa benda-benda pusaka disimpan. Penghuni uma harus menjaga ketiga ruang ini senantiasa terisi sebagai simbol kebahagiaan dan kemakmuran.

Acara lanjut dengan makan malam bersama.

Menjelang malam, usai makan malam, beberapa perwakilan dari empat gunung berkumpul untuk membicarakan kondisi terakhir daerah mereka. Ancaman apa saja yang mengintai hutan, mata air, sawah dan ladang mereka. Secara bergantian mereka menceritakan kondisi terbaru daerah masing-masing.

Persoalan hama belalang mengemuka dan dihadapi di hampir semua wilayah di Humba tiga tahun terakhir. Mereka menanyakan bagaimana cara mengatasi dari berbagai daerah.

Pengalaman dari Kampung Wundut, yang disampaikan Rato Lendi, dalam mengatasi hama belalang ini adalah membuat ritual adat. Mereka meminta maaf kepada penguasa alam karena kesalahan yang disengaja ataupun tidak. Setelah ritual ini, lanjutnya, hama belalang tak begitu menyerang tanaman-tanaman mereka. “Belalang ini hanya singgah,” katanya.

Menurut para rato, segala bencana itu biasa bermula dari kelalaian manusia sendiri. Perburuan manginu kataitak, burung kecil seukuran burung gereja, secara besar-besaran untuk dikirim ke kebun-kebun sawit di Sumatera dan Kalimantan, konon dianggap sebagai salah satu pemicu wabah belalang ini.

Penyebab lain, menurut pengalaman para rato, penggunaan pestisida secara tidak bertanggungjawab.

Dalam penelitian ilmiah, selain dua pendapat di atas, meningkatnya suhu bumi juga turut memacu libido reproduksi belalang dan memperpanjang migrasi masal mereka.

Para rato juga menolak penggunaan pestisida untuk mengusir belalang ini. “Pernah kami ditawari untuk menggunakan pestisida untuk mengusir belalang ini. Kami tidak ambil,” katanya.

Para rato juga mengeluhkan Marapu melemah dan masifnya ekspansi agama-agama resmi pemerintah. Saat anak-anak mereka masuk sekolah, mereka wajib memilih salah satu agama resmi. Hal ini jadi problem serius regenerasi penganut Marapu.

Melemahnya nilai-nilai Marapu ini juga memicu melemahnya penguasaan ruang. Mereka tak lagi peduli tentang tempat-tempat keramat di hutan, mata air, yang musti selalu dijaga. Bahkan, sekadar membuat upacara adat untuk mengusir belalang mereka juga kesulitan orang.

“Kalau kita masih menganut Marapu, kita dihina, dibilang kafir, tidak layak dan sebagainya,” kata Uyan Purwawa, pemuda adat Lai Lara, Sumba Timur.

Selain belalang, perambahan hutan, wilayah hutan adat yang digerus oleh ekspansi perkebunan monokultur dan kepentingan lain, juga mencuat ke permukaan saat perbincangan.

Tak semua persoalan-persoalan yang dibicarakan malam itu didapatkan jalan keluarnya langsung. Inti dari kabar empat gunung ini bukan mencari solusi, tetapi meningkatkan kewaspadaan dengan mengetahui persoalan-persoalan bersama saat ini.

Selain, persoalan-persoalan ini diharapkan jadi bahan permenungan dan sarana mereka saling mendukung untuk selanjutnya mencari jalan keluar bersama-sama.

Usai diskusi, para peserta kembali ke uma-uma adat sesuai dengan daerahnya. Uma adat ini biasanya dibikin besar untuk bisa menampung ratusan orang sekaligus. Mereka tidur bersama-sama, suasana malam yang dingin di pegunungan Wundut ini menjadi lebih hangat karenanya.

 

Pelaksanaan Festival Wai Humba. Foto: tangkapan layar video

 

Dari kuaja manula sampai motu

Festival Wai Humba tak hanya soal mengekspolorasi masalah-masalah bersama. Juga soal menghargai anugerah kecakapan-kecakapan alami yang dimiliki Sumba. Salah satunya, kuda-kuda sehat dan kecakapan berkuda orang Humba yang sudah terkenal.

Savanah-savanah Sumba yang membentang sejauh mata memandang sangat cocok dengan pembiakan kuda. Kecakapan menunggang kuda diasah sejak usia dini saat mereka menggembalakan kuda-kuda ini.

Mereka terbiasa menunggang kuda tanpa pelana. Festival ini memberi ajang penunggang-penunggang kuda terbaik dari empat gunung untuk berkompetisi menombak kulit sambil berkuda. Istilah aslinya kuaja manula (menombak kulit). Selembar kulit lembu dilubangi tengahnya dibentang dengan dua bambu, dari jarak sekitar 50 meter, para peserta bergantian memacu kuda dan dari jarak lima meter melontarkan tombak ke lubang kulit. Pemenangnya, saat tombak berhasil menembus lubang.

Orang-orang Humba juga pandai bermain gangsing atau dalam bahasa Humba disebut pamakang. Setelah lomba kuaja manula lanjut dengan permainan pamakang. Para peserta dibagi berempat dan mereka memutar gangsing sekencang mungkin. Peserta dengan gansing berputar paling lama jadi juara.

Sorenya, ada kompetisi lain yakni pata lima atau permainan panco. Permainan ini dibagi menjadi dua kelompok. Laki-laki dan perempuan. Peserta diadu satu persatu untuk mencari pemenang.

Permainan-permainan ini dihidupkan kembali untuk menyegarkan ingatan dan menumbuhkan kecintaan terhadap tanah Humba dan protes terhadap egoisme generasi korban ponsel pintar. Penutupnya adalah permainan motu atau congklak.

 

***

Setelah seharian dihibur dengan permainan-permainan tradisional, malam harinya adalah acara merenung dan menambah wawasan. Diskusi-diskusi kecil digelar membicarakan hal-hal riil yang dihadapi dalam keseharian orang Humba.

Hilangnya kayu cendana di hutan-hutan Humba adalah salah satu pokok pembicaraan. Bahasan lain tentang budaya pernikahan dini dan kawin tangkap di Humba. Selain juga soal pengalaman kerusakan-kerusakan lingkungan akibat tambang dari tempat-tempat lain.

Orang Humba menyebut cendana dengan aiditu yang memang endemik di Humba, namun harumnya tercium hingga Arab, Tiongkok, dan Eropa sejak abad ketiga. Disebut East Indi Sandal Wood. Ia adalah komoditi incaran dunia, bahan rempah-rempah hingga dupa.

Bahkan hingga Sri Langka dan India, jenazah-jenazah para bangsawan itu menggunakan kayu cendana untuk membalsam jenazah supaya tetap wangi. Kelebihan wangi kayu cendana tak akan sirna. Selain kayu, cendana juga menghasilkan minyak, yakni minyak aciri, untuk campuran parfum dan kosmetik.

Kayu cendana Humba adalah kayu cendana putih. Ia berbeda dengan cendana di India cendana merah. Harga cendana putih begitu tinggi dan peminat banyak hingga jadi ancaman tersendiri.

“Bersama Walhi NTT dan Green Justice Indonesia, kami mengupayakan menanam kembali pohon cendana,”  kata Panut Hadisiswoyo, Ketua Green Justice Indonesia.

Selain membicarakan kepunahan kayu cendana, diskusi juga disambung dengan berbagi pengalaman tentang dampak tambang yang merusak lingkungan dari tempat lain. Salah satunya, tambang nikel yang sedang digalakkan pemerintah.

Pengalaman dari Morowali dan Morowali Utara, di mana nikel ditambang, ruang hidup masyarakat sekitar tambang terganggu bahkan tak lagi bisa berproduksi.

Di Morowali, misal, masyarakat Bahomakmur, sepuluh tahun terakhir tak lagi bisa bertani, karena lahan mereka banjir lumpur tambang nikel. Warga Desa Fatufia juga berhadap-hadapan dengan PLTU,  smelter nikel hingga tak lagi bisa melaut. Air laut panas terkena limbah PLTU.

“Dari pengalaman kerusakan-kerusakan lingkungan akibat ektraktivisme ini kiranya bisa jadi pelajaran berharga dan tak diulang di bumi humba,” kata Umbu Triawan yang memoderasi acara.

Tingginya angka kekerasan seksual juga menjadi sorotan dalam diskusi malam kedua. Rata-rata kekerasan seksual ini dilakukan orang-orang terdekat korban dan korban anak-anak di bawah umur.

“Sebagian besar kasus kekerasan seksual dilakukan orang dekat, karena relasi kuasa, dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun,” kata Umbu Tamu, dari Walhi NTT.

 

Berbagai ritual dalam Festival Wai Humba. Foto: tangkapan layar video

 

Pentas seni dan syair

Kisah-kisah perjuangan tiga umbu jadi inspirasi syair-syair dan semangat juang menjadi lagu yang dipentaskan di empat hari perhelatan ini.

Tiga umbu ini berhasil mengartikulasikan semangat menjaga alam yang diajarkan agama Marapu, agama lokal yang banyak dianut oleh orang Humba.

Pada festival ini semangat dan nilai-nilai Marapu digali ulang dan jadi landasan perjuangan orang Humba. Banyak siklus kehidupan orang Humba tergantung pada alam. Hutan, ladang, mata air, semua ada di sana dan harus dijaga. Upacara-upacara ritual menjaga hutan dan mata air ini juga jadi acara resmi utama di festival ini.

Penganut Marapu melakukan upacara hamayang la utang untuk menjaga hutan dan isinya. Saat hutan rusak mereka menggelar kacua utang atau upacara permintaan maaf karena kerusakan ini.

Di festival ke sembilan ini digelar upacara adat kalarat wai di mata air Kalaukauki sebagai puncak acara di hari ketiga. Air punya arti tersendiri buat orang Humba, di tempat-tempat tertentu ia susah didapat. Ritual ini adalah permohonan supaya mata air tetap terjaga.

Ritual dibuka dengan la mau langi papanjang, dengan meletakkan sirih-pinang di gerbang mata air lanjut memanggil roh penjaga mata air pui mu awal.

Prosesi persembahan ayam dan rato melambaikan sarung untuk mendatangkan penjaga mata air. Ayam persembahan ini lalu dibaca hatinya. Penjaga air meminta masyarakat ritual dan menjaga mata air serta hutan pendukungnya.

Penutupnya, persembahan dua ayam dan satu babi dalam ritual la pino. Darah ternak dialirkan ke dekat pohon besar di atas mata air. Kembali hati babi dan ayam dibaca.

Rato lalu menyampaikan bacaan hati ini berisi peringatan Marapu untuk terus menjaga mata air dan keberlangsungan Marapu.

 

Bersiap mengikuti Festival Wai Humba. Foto: tangkapan layar video

•••••••

 

*Penulis adalah Imam Shofwan, peneliti dari Jaringan Advokasi Tambang. Tulisan ini  merupakan opini penulis.

Exit mobile version