Mongabay.co.id

Nasib Abu-abu Nelayan Tradisional dan Kecil

 

Sudah sejak lama nelayan kecil sukses menjalankan perannya sebagai penyuplai kebutuhan pangan laut bagi masyarakat di dalam dan luar negeri. Keberadaan mereka sulit untuk digantikan oleh kelompok masyarakat lain, karena profesinya yang sulit dan unik.

Selain harus menghadapi ancaman berbahaya di tengah laut, nelayan juga harus bisa bertahan saat cuaca sedang tidak menentu. Akibatnya, nelayan harus kehilangan mata pencaharian saat cuaca di laut sedang buruk.

Fakta tersebut seharusnya bisa dipahami oleh Pemerintah Indonesia yang sejak merdeka pada 17 Agustus 1945 berperan sebagai pelindung warganya. Jangan sampai, Negara justru tidak melaksanakan kewajibannya tersebut dan memilih untuk abai.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) membuat catatan bahwa apa yang sudah dilakukan oleh Pemerintah terhadap nelayan di seluruh pulau masih belum maksimal. Bahkan, nelayan juga masih sulit mendapat pengakuan sebagai sebuah profesi penting di Tanah Air.

Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati mengatakan, nelayan kecil atau tradisional adalah aktor yang perannya sangat penting dalam menyediakan kebutuhan pangan laut. Kemudian, mereka juga berperan sebagai penjaga keutuhan dan kedaulatan Negara.

“Mereka ini ada terus dan beraktivitas di perairan laut dan pulau-pulau terluar di Indonesia,” ucap dia belum lama ini di Jakarta.

baca : Nelayan Kecil di Pusaran Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur

 

Aktivitas bongkar muatan di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kota Tegal, Jawa Tengah. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Namun demikian, walau peran dari nelayan sangatlah besar untuk Indonesia, pada kenyataannya mereka masih belum mendapatkan perlindungan dan pemberdayaan yang maksimal dari Pemerintah. Bahkan, perlindungan yang mereka dapatkan tidak berubah dan cenderung stagnan.

Penilaian tersebut diungkapkannya, karena nasib nelayan sampai saat ini belum mengalami banyak perubahan. Namun justru, mereka berulang kali mendapatkan perlakuan tidak baik melalui perampasan ruang produksi di darat dan perairan.

Kemudian, nelayan juga sering kali mendapatkan tindakan kriminalisasi dan marjinalisasi melalui regulasi, konflik horizontal terkait alat penangkapan ikan (API), dan Undang-Undang No.6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang.

Bagi Susan Herawati, beragam dinamika yang sudah terjadi itu sudah cukup menegaskan bahwa nelayan tradisional dan atau kecil memang belum mendapatkan perhatian yang utuh dari Pemerintah Indonesia.

Bahkan, realisasi komitmen Pemerintah untuk menjalankan perlindungan dan pemberdayaan nelayan tradisional/kecil juga menjadi dipertanyakan kembali. Karena seharusnya, nelayan mendapat perhatian khusus dari Pemerintah dan menjadi tuan atas darat dan lautnya.

Dia menyebutkan, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022 yang dikutip Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), nelayan yang beraktivitas di laut pada 2020 jumlahnya mencapai 2.359.064 jiwa.

“Angka ini hampir dua kali lipat jumlah nelayan yang terdata pada data kependudukan Kemendagri (Kementerian dalam Negeri) yang berbasis e-KTP di tahun yang sama, yaitu sejumlah 1.360.263 jiwa,” urai dia.

Sementara, nelayan yang baru terdata sebagai penerima kartu Kusuka (kartu pelaku usaha perikanan dan kelautan) pada 2022 jumlahnya hanya 1.563.433 jiwa. Itu berarti, jika melihat data yang dirilis KKP pada 2022, sedikitnya ada 700 ribu nelayan yang belum mendapatkan fasilitas sebagai pelaku usaha perikanan.

Adanya perbedaan jumlah nelayan tersebut menjelaskan bahwa ada sistem pendataan yang buruk dan sayangnya itu harus dialami oleh kelompok nelayan tradisional/kecil. Sistem tersebut berjalan sama buruknya di KKP dan Kemendagri.

baca juga : Nelayan Kecil dan Pesta Korporasi di Laut

 

Sejumlah nelayan perempuan mengumpulkan hasil tangkapan ikan di kawasan Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto : A. Asnawi/Mongabay Indonesia

 

Validasi Data

Bagi KIARA, fakta tersebut sudah cukup untuk mempertanyakan kembali kepada Pemerintah tentang konsep yang mereka jalankan untuk melaksanakan program pembangunan kelautan dan perikanan dengan dalih mengadopsi prinsip ekonomi biru.

“Data nelayan baik dari KKP maupun data kependudukan di Kemendagri juga kerap tidak mengakomodasi pengakuan perempuan nelayan sebagai nelayan,” tutur dia.

Akibat ketiadaan pengakuan tersebut, perempuan nelayan menerima akibatnya yang tidak kecil. Mereka harus terkena dampak pada aspek politik, sosial, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat. Kondisi itu dipastikan akan dirasakan tidak nyaman oleh nelayan yang berasal dari kelompok perempuan.

Susan Herawati kemudian menyebutkan contoh bagaimana perempuan nelayan mengalami kesulitan saat ingin mengubah data pekerjaan sebagai nelayan pada identitas kependudukan. Padahal, data tersebut sangat penting untuk keberlangsungan hidup mereka di masa depan.

Seharusnya, apa yang dialami nelayan dan perempuan nelayan saat ini bisa menjadi perhatian khusus bagi Pemerintah untuk bisa melakukan perbaikan. Juga, menjalankan mandat konstitusi dalam melindungi dan memberdayakan nelayan sebagai pahlawan protein pangan laut bangsa.

Namun sayangnya, antara harapan dan realita sama sekali tidak bisa dihubungkan. Kenyataannya, saat ini nasib nelayan sangat bertentangan dengan konsep perlindungan dan pembedayaan nelayan sebagai pemegang hak utama dalam ruang pesisir dan laut.

Bahkan, dinamika terus berjalan lebih buruk pada 2023 ini karena Perppu Cipta Kerja lahir dan kemudian disusul dengan terbitnya Peraturan Pemerintah tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT). Kedua kebijakan tersebut kontradiktif dengan keberlanjutan profesi nelayan tradisional/kecil.

perlu dibaca : Penangkapan Ikan Terukur, untuk Nelayan Kecil atau Pelaku Usaha?

 

Selain ikan teri (Engraulidae), ikan seperti kembung (Rastrelliger), layur (Trichiurus lepturus) juga diangkut ke darat untuk dikeringkan di Cilincing, Jakarta Utara. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

KIARA mencatat bahwa kebijakan Perppu Cipta Kerja yang menjadi UU No.6/2023 beserta turunannya menjadi ancaman serius bagi perlindungan ekosistem dan sumber daya kelautan perikanan dan aktor utamanya, yaitu nelayan tradisional.

Aturan turunan yang dimaksud, adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang diterbitkan pada 6 Maret 2023.

Fakta tersebut bertentangan dengan kebutuhan nelayan sebenarnya, yaitu mendapatkan perlindungan ruang kelola melalui produk hukum yang dapat menjamin kemandirian nelayan Ketika mengelola ruang produksinya.

Kemudian, Pemerintah juga seharusnya bisa menjalankan mandat dari Putusan Mahkamah Konstitusi No.3/2010 yang menjamin hak-hak masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil serta UU No.7/2016 yang menjamin perlindungan dan pemberdayaan bagi nelayan.

 

Liberalisasi Perikanan

Tentang PP PIT, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin memberikan tanggapannya. Menurut dia, aturan tersebut menjadi penegas bahwa liberalisasi sektor perikanan sedang berlangsung saat ini.

Analisis tersebut diucapkan, karena kebijakan tersebut dinilai bisa mendorong liberalisasi sumber daya perikanan dan sekaligus memaksa nelayan-nelayan skala kecil di seluruh Indonesia untuk berkompetisi dengan industri perikanan skala besar di lautan Indonesia.

Itu berarti, PP PIT akan semakin melegalisasi eksploitasi sumber daya pesisir dan laut serta mempercepat perusakan terhadap pesisir dan laut di Indonesia, tempat pangan laut diproduksi secara berkelanjutan sejak dulu hingga kini.

Tegasnya, penerbitan PP PIT menggambarkan hilangnya politik pengakuan pemerintah terhadap budaya bahari masyarakat Indonesia yang telah dipraktikkan oleh nelayan untuk mengelola sumber daya perikanan, secara arif dan berkelanjutan dari masa ke masa.

Parid Ridwanuddin menerangkan, terbitnya regulasi terbaru saat ini akan semakin mempersempit ruang gerak nelayan skala kecil dan tradisional. Apalagi, saat ini ada keluarga nelayan yang sudah terdampak proyek reklamasi di berbagai wilayah pesisir di Indonesia.

WALHI mencatat, sebanyak 747.363 keluarga nelayan sudah terdampak oleh proyek reklamasi yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia. Jumlah tersebut bisa terus bertambah, mengingat Pemerintah akan terus melaksanakan reklamasi hingga seluas 3,5 juta hektare pada 2040 nanti.

baca juga : Nasib Nelayan Indonesia ditengah Jepitan Krisis Iklim dan Industri Ekstraktif

 

Seorang nelayan menjahit jaring pukat sebelum kembali melaut di TPI Lampulo, Banda Aceh. Foto : shutterstock

 

Selain itu, di saat yang sama Pemerintah juga mendorong ekspansi proyek pertambangan di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang menyebabkan lebih dari 35 ribu keluarga nelayan di Indonesia kehilangan ruang hidupnya.

“Sampai 2040, Pemerintah diketahui telah merencanakan proyek pertambangan di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil seluas 12.985.477 hektare,” tegas dia.

Selain ancaman dari regulasi, pada saat yang sama nelayan juga menghadapi ancaman bencana iklim yang terus berlangsung tanpa bisa dikendalikan. Bencana ini terjadi di atmosfer (meteorologi), air (hidrologi), dan lautan (oseanografi). Semuanya berhulu pada satu penyebab, yaitu krisis iklim.

Pernyataan tersebut dipublikasikan KORAL, koalisi NGO untuk perikanan dan kelautan berkelanjutan. Menurut KORAL, bentuk dari bencana iklim sangat beragam, dan yang paling banyak dijumpai adalah curah hujan ekstrem, gelombang pasang, dan abrasi.

Semuanya terbukti telah menyebabkan kematian, cedera, hilangnya harta benda, hancurnya mata pencaharian, dan kerusakan lingkungan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mencatat pada 2022 telah terjadi 1.057 cuaca ekstrem serta 26 kali gelombang pasang dan abrasi di pesisir dan laut. Akibatnya, banyak tangkap tradisional tak bisa melaut.

Agar bencana iklim tidak semakin menyulitkan kehidupan dan masa depan nelayan, KORAL meminta Pemerintah untuk segera menjalankan mandat UU No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam. UU ini mewajibkan Pemerintah untuk menyusun skema perlindungan nelayan, yang menghadapi risiko penangkapan ikan, di antaranya yang terkena dampak krisis iklim.

 

 

Exit mobile version