Mongabay.co.id

Penelitian: Wilayah Kepulauan Diperkirakan Lebih Tahan pada Dampak Bencana Global

 

 

April adalah bulan letusan Tambora. Supervulcano yang ada di pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, ini pada 10 April 1815 meletus dan masih dianggap sebagai letusan gunung api terbesar yang pernah tercatat sejarah. Tambora dalam bahasa Sumba berasal dari kata ta yang berarti ajakan, dan mbora berarti hilang.

Faktanya, tiga kerajaan lokal musnah, lebih dari 90 ribu orang meninggal, dan bencana kelaparan melanda hingga Eropa gara-gara letusan gunung yang kini berada dalam kawasan Taman Nasional Tambora ini.

Peneliti dari Selandia Baru, Inggris, dan Swiss belum lama ini mencoba merekonstruksi anomali cuaca yang terjadi akibat letusan Tambora di sejumlah pulau. Hasil penelitian mereka berguna untuk memprediksi dampak terhalangnya sinar matahari, misalnya akibat ledakan nuklir atau letusan gunung api besar di masa datang.

Selain meneliti data cuaca, mereka juga meneliti produksi dan ketahanan pangan 31 pulau besar berpenduduk, baik yang berada di belahan Bumi utara maupun selatan.

Hasil penelitian mereka dimuat dalam jurnal Scientific Reports, berjudul “Impact of the Tambora volcanic eruption of 1815 on islands and relevance to future sunlight-blocking catastrophes, 2023.”

Rekonstruksi menggunakan metode EKF 400v2. Ini adalah versi terbaru dari analisa paleo atmosfer global yang mencakup 400 tahun. EKF singkatan dari Ensemble Kalman Filter, yang merupakan rekonstruksi global 3 dimensi menggunakan perhitungan yang diciptakan Rudolf E Kalman, penemu algoritma untuk mengukur pengamatan dengan data dan variabel besar.

EKV400v2 dianggap berhasil merekonstruksi penyebab kekeringan yang melanda Eropa Tengah pada kurun waktu 1726 hingga 1728, juga Elnino pada abad ke-19.

Baca: Inilah Tujuh Fakta Letusan Tambora dan Dampaknya Bagi Dunia

 

Kaldera Gunung Tambora. Foto: Wikimedia Commons/NASA Expedition/Public Domain

 

Para peneliti menggunakan pulau berpenghuni yang berukuran sekurang-kurangnya 25 ribu km persegi, dengan populasi sekurang-kurangnya 100 ribu jiwa. Meski begitu, peneliti tetap memasukkan Australia yang lebih tepat disebut benua. Juga memasukkan negara yang terpisah, namun masih dalam satu pulau seperti Papua Nugini.

Dari peta yang mereka sertakan dalam laporan penelitian itu, terlihat pulau di kawasan Asia Timur dan sebagian Asia Tenggara masih bisa menjaga produksi dan ketahanan pangannya. Bahkan, tiga pulau di Jepang yang sama sekali tidak terdampak produksi pertaniannya yaitu pulau Hokkaido, Honshu, dan Kyushu. Sementara, untuk Indonesia berdasar data yang tersedia adalah pulau Jawa.

Dari 31 pulau yang diamati semua mengalami anomali suhu pada 1816, atau setahun setelah letusan. Terparah adalah Islandia yang mengalami penurunan suhu minus 1,33 derajat Celsius. Sementara Inggris minus 1,12 derajat Celsius.

“Data rekonstruksi menunjukkan pulau-pulau dalam penelitian ini memiliki sedikit anomali pada periode 1815 hingga 1818 jika dibandingkan dengan kawasan yang berada dalam garis lintang yang sama [100 km hingga 1.000 km] di benua terdekat,” tulis Nick Wilson, peneliti dari jurusan Kesehatan Masyarakat, Universitas Otago, Wellington, Selandia Baru.

Baca juga: Paparan Ultraviolet ke Bumi Meningkat, Akibat Letusan Supervolcano Toba

 

Peta ketebalan abu vulkanik akibat letusan Tambora 1815. Peta: Wikimedia Commons/CC BY-SA 3.0

 

Menurut Wilson dan timnya, pola tersebut tampaknya merupakan cerminan kemampuan lautan dalam menyimpan panas dan mengatur suhu. Mereka menyatakan, anomali suhu terkecil berada di belahan Bumi selatan, khususnya Samudera Hindia dan daerah tropis-subtropis.

Masih menurut mereka, fakta ini menjadi peluang bagi umat manusia dalam mencari perlindungan jika terjadi bencana akibat berkurangnya sinar matahari. Namun, mereka juga memberi catatan masih banyak faktor lain yang perlu dikaji.

Baca: Cicak Jari Lengkung Tambora, Spesies Baru yang Meyakinkan Indonesia Juara Ragam Hayati

 

Langit terlihat gelap dan kuning pada lukisan pada musim panas 1815 sebagai dampak letusan tambora. Sumber: Wikimedia Commons/J. M. W. Turner/Public Domain

 

Menurut skala Volcanic Explosivity Index [VEI] yang mengukur kekuatan letusan gunung berdasar erupsi magma dan tinggi kolom, letusan Tambora berada pada skala tujuh. Dalam peristiwa itu Tambora memuntahkan material vulkanik sebanyak 160 km kubik atau empat kali lebih besar dari letusan Krakatau pada 1883. Menciptakan lubang berdiameter 7 km, sedalam 1,1 km. Nyaris separuh badan gunung juga runtuh. Jika sebelumnya ketinggiannya adalah 4.300 mdpl setelah letusan menjadi 2.851 mdpl.

Asap letusannya membubung setinggi 43 kilometer menembus stratosfer dan membuat warna langit seperti senja hari. Sebagai perbandingan, Gunung Sinabung 2021 lalu menyemburkan asap “hanya” setinggi 3 km namun kerusakan yang ditimbulkannya sudah sangat besar.

Letusan Tambora mengeluarkan sulfur oksida yang menghalangi cahaya matahari/sunlight blocked. Akibatnya, sirkulasi atmosfer dunia berubah dan pola cuaca terganggu selama lebih tiga tahun. Iklim dunia turun dan Eropa serta Amerika Utara mengalami “tahun tanpa musim panas”. Di berbagai penjuru dunia gagal panen terjadi, juga kelaparan, dan wabah penyakit.

Sampai kini, Tambora masih menjadi sumber pengetahuan untuk mengkaji dampak perubahan iklim dan fenomena alam lainnya. [Berbagai sumber]

 

Exit mobile version