Mongabay.co.id

Transisi Energi dan Potensi Rasuah Dana JETP

“Sekarang saudara noleh kemana saja ada korupsi, kok,” demikian pernyataan Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polhukam), seperti ditulis sebuah media online, beberapa waktu lalu.

Pernyataan itu seakan memperkuat data memburuknya indeks korupsi di Indonesia. Laporan Transparency Internasional di 2023 menunjukkan, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia menurun 4 poin dari tahun sebelumnya.

Pernyataan Mahfud MD dan laporan Transparency Internasional itu memberikan semacam peringatan bagi kita semua bahwa potensi korupsi bisa terjadi di berbagai sektor di negeri ini, tak terkecuali di sektor energi.

Tahun lalu, Indonesia memperoleh komitmen pendanaan transisi energi melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP). Dalam skema pendanaan ini, Indonesia akan mendapatkan kucuran dana sebesar USD20 juta (setara Rp300-an trilyun). Dalam konteks korupsi, dana sebesar itu tentu rawan korupsi bila tidak dikelola dengan baik.

Setiap korupsi selalu merugikan kepentingan publik, termasuk bila korupsi terjadi di dalam skema JETP. Transisi energi dipastikan gagal dan publik, -sebagai pembayar pajak harus tetap membayar utang luar negeri yang dibuat dari skema proyek JETP ini.

Pertanyaannya di mana saja titik potensi korupsi dana JETP?

 

Kompleks PLTU I Indramayu, Jabar. PLTU  dari operasionalnya dinilai berdampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan warga setempat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Baca juga: Pemerintah Janji Selesaikan Peta Jalan Pensiun Dini PLTU Batubara, JETP Harus Transaparan

 

Salah satu program yang akan dibiayai JETP adalah pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Pemilihan PLTU yang akan dipensiun menjadi titik rawan terjadinya korupsi. Kemungkinan persengkokolan untuk memperkaya korporasi bisa saja terjadi sejak dalam penentuan PLTU yang akan dipensiunkan dini.

Selain pensiun dini PLTU, program yang akan mendapatkan pendanaan JETP adalah pengembangan energi terbarukan. Seperti halnya dalam program pensiun dini PLTU, pemilihan energi terbarukan yang akan dibiayai JETP bisa menjadi titik rawan korupsi.

Singkatnya, dua pilar transisi energi yang akan dibiayai JETP, pensiun dini dan pengembangan energi terbarukan, ternyata menjadi titik rawan korupsi. Jika dua pilar itu nantinya menjadi ajang pesta pora para elite politik dan ekonomi yang korup, dapat dipastikan program transisi energi di Indonesia akan menjadi mimpi yang tak pernah terwujud.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mencegah terjadinya korupsi dana JETP?

Seperti tindak kejahatan lainnya, korupsi terjadi bila kita memberikan kesempatan para elite politik dan ekonomi yang korup di negeri ini berpesta pora dengan menggunakan uang rakyat. Salah satu cara menutup kesempatan itu adalah keterlibatan publik. Dalam konteks JETP, keterlibatan publik harus dimulai sejak dari perencanaan, monitoring hingga evaluasi program-program yang didanai.

Salah satu syarat utama dari adanya keterlinatan publik adalah keterbukaan informasi. Keterbukaan informasi ini adalah pintu masuk bagi publik untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan transisi energi. Tanpa ada keterbukaan informasi, tidak akan ada keterlibatan publik. Sayangnya, keterbukaan informasi ini adalah wajah bopeng sebelah dari skema JETP.

Hingga kini misalnya, komposisi pendanaan JETP masih gelap. Seperti sering diungkapkan pemerintah bahwa pendanaan JETP berasal dari investasi publik dan swasta dalam bentuk hibah dan pinjaman bunga rendah. Celakanya hingga kini, belum jelas prosentase pembiayaan proyek yang akan didanai hibah, investasi dan utang luar negeri.

Publik, -sebagai pembayar pajak, perlu tahu berapa persen proyek JETP yang didanai utang luar negeri, -meski itu berbunga rendah. Bagaimanapun juga, uang pajak publiklah yang akan digunakan untuk membayar setiap rupiah dari utang luar negeri yang dibuat pemerintah, termasuk dalam proyek JETP ini.

Persoalan keterbukaan informasi lainnya dalam JETP juga terkait seputar proyek yang didanai. Kementerian ESDM sering mengungkapkan bahwa proyek JETP, salah satunya akan digunakan untuk membiayai pensiun dini sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.

Namun, hingga kini belum dibuka informasi mengenai kajian tentang PLTU-PLTU yang akan dipensiunkan. Kriteria mengenai PLTU yang akan dipensiunkan juga masih gelap. Padahal kriteria yang tidak jelas dari PLTU yang akan dipensiunkan bisa menjadi ladang pesta pora para elite politik dan ekonomi yang korup.

Bukan hanya terkait dengan PLTU, JETP juga akan membiayai pengembangan energi terbarukan. Namun hingga kini belum dibuka informasinya tentang energi terbarukan yang seperti apa yang akan dikembangkan skema pembiayaan JETP.

Alih-alih membuka informasi terkait energi terbarukan yang akan dibiayai JETP,  Kementerian ESDM yang berencana memasukkan proyek pembangkit gas fosil dalam skema pendanaan JETP.  Padahal gas fosil jelas-jelas bukan energi terbarukan, lantas di mana letak transisi energinya?

 

Energi surya atap, salah satu energi terbarukan yang digadang akan menggantikan energi dari fosil, Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Dari sini publik bisa bertanya lebih jauh lagi, kepentingan kelompok bisnis energi siapa yang akan diuntungkan dengan usulan yang tidak masuk akal ini?

Pada pertengahan Februari lalu, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) secara resmi membentuk Sekretariat JETP. Pertanyaannya adalah, apakah keberadaan Sekretariat JETP akan mampu menghilangkan potensi korupsi? Jawabannya bisa iya dan tidak.

Sekretariat JETP akan mampu menghilangkan potensi rasuah dana JETP bila lembaga itu mulai membuka informasi secara terang benderang terkait JETP. Setelah terang benderang, tugas Sekretariat JETP berikutnya adalah melibatkan publik sejak dari perencanaan program. Bila kemudian perencanaan program hanya melibatkan elit, maka potensi korupsi akan sulit dicegah.

Sebaliknya, Sekretariat JETP bisa juga justru membuka pintu korupsi, bila terus mempertahankan wajah bopeng sebelah skema pendanaan JETP yang tertutup dan elitis, dan miskin pelibatan publik. Bagaimana mungkin dana JETP yang berjumlah ratusan trilyun rupiah justru dikelola dengan cara tertutup dan elitis?

Siapa saja elite politik dan ekonomi yang akan berpesta pora bila dana JETP dikelola secara tertutup? Entahlah, yang jelas proses yang tertutup dan elitis ini terus dipertahankan, publik akan menjadi pencuci piring bekas pesta pora segelintir elite korup negeri ini.

 

*Firdaus Cahyadi, penulis adalah konsultan komunikasi, 350.org Indonesia. Artikel ini adalah opini penulis.

 

***

Foto utama: PLTGU Muara Karang. Foto: Kementrian BUMN RI.

 

Exit mobile version