Mongabay.co.id

Deforestasi Rawa Singkil Tertinggi di Aceh, Ancaman Serius Habitat Orangutan Sumatera

 

Meski deforestasi yang terkait dengan penanaman sawit telah menurun dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia, tetapi di Provinsi Aceh, hutan ditebangi dengan sangat cepat. Hilangnya hutan ini terpantau dari Citra Satelit Sentinel-2 dan Planet/NICFI, sebuah platform pemantauan hutan TheTreeMap di area Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Aceh Selatan, dimana 700 hektar hutan rawa gambut dibuka pada tahun 2022.

Deforestasi tahun 2022 ini tercatat 12 kali lebih tinggi dari tahun 2021, yang menjadikannya sebagai kehilangan hutan tertinggi yang terjadi sejak tahun 2001. Analisis citra satelit terpisah oleh Yayasan HAkA pun menunjukkan jumlah kehilangan hutan yang hampir sama pada tahun yang sama yaitu 716 hektar.

“Deforestasi tahun 2022 lebih banyak daripada gabungan deforestasi empat tahun sebelumnya,” ungkap Lukmanul Hakim, manajer sistem informasi geografis (GIS) di HAkA, kepada Mongabay.

Trend deforestasi HAkA menyebut Rawa Singkil adalah sebuah ‘perkecualian’ jika dibandingkan dengan kawasan lain di Kawasan Ekosistem Leuser. Pada tahun 2022, TN Gunung Leuser kehilangan 179 hektar hutan, atau yang terendah sejak pantauan HAkA dimulai di tahun 2015.

 

Grafik deforestasi di Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Aceh, Indonesia. Data: TheTreeMap.

 

Habitat Penting Orangutan

SM Rawa Singkil adalah pusat keragaman hayati dan habitat terpadat bagi populasi orangutan sumatera (Pongo abelii), dimana di area ini tercatat 1.500 individu orangutan, atau 10 persen dari total spesiespopulasinya.

Selain itu, SM Rawa Singkil juga menjadi habitat utuh tersisa bagi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) dan gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), dan merupakan salah satu lanskap prioritas utama konservasi di dunia karena gambutnya yang kaya karbon.

Rainforest Action Network (RAN) NGO Internasional yang memantau Ekosistem Leuser, -di mana Rawa Singkil menjadi bagiannya, melakukan investigas rantai pasok minyak sawit ilegal yang berakhir pada pembeli komoditas besar dunia seperti Musim Mas dan Wilmar, serta merek global seperti Procter & Gamble (P&G), Nestlé, PepsiCo, dan Unilever,

Gemma Tillack, Direktur Kebijakan Hutan RAN menyebut peningkatan hilangnya hutan di Rawa Singkil adalah hal yang amat mengkhawatirkan.

“Kehancuran ini menempatkan spesies seperti orangutan sumatera dalam risiko kepunahan di alam liar,” sebutnya kepada Mongabay.

 

Sebuah truk yang membawa tandan buah segar dari perkebunan sawit ilegal di dalam suaka margasatwa Rawa Singkil, Aceh Selatan. Dok: Rainforest Action Network.

Baca juga: Suaka Margasatwa Rawa Singkil Masih Dirambah, Bagaimana Pengawasannya?

 

Sumber Deforestasi

Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Provinsi Aceh, Agus Arianto, sebelumnya mengaitkan deforestasi di Rawa Singkil dengan perambahan dan penebangan liar.

“Dalam beberapa kasus, kami menemukan para perambah ini membakar kawasan yang berstatus non hutan, tetapi mereka juga membakar [lahan] di suaka margasatwa,” katanya pada September lalu.

“Kami sering kesulitan memadamkan api [di dalam kawasan] karena kebakaran terjadi di lahan non-hutan.”

Agus menyatakan bahwa membuka alternatif pendapatan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan suaka alam, dapat mengurangi tekanan kepada SM Rawa Singkil.

Hal sebaliknya dinyatakan oleh Tillack, dia menyebut penggundulan hutan di Rawa Singkil didorong oleh elit lokal, bukan petani kecil. Orang-orang ini berpengaruh secara lokal, mereka memegang kekuasaan dan memiliki akses ke sumber daya yang dibutuhkan untuk membangun perkebunan sawit yang signifikan.

Dalam kasus Rawa Singkil, RAN mengidentifikasi dua pengusaha lokal yang diduga berada di balik kejadian beberapa deforestasi, yaitu Mahmudin dan Nasti. Mahmudin dilaporkan menguasai 4,5 hektar perkebunan ilegal di dalam suaka margasatwa, sementara Nasti diduga menguasai 8 hektar.

Tahun lalu, RAN mengirim investigator ke lapangan, dan mereka menjumpai sejumlah besar pembukaan hutan di sekitar dua perkebunan ilegal tersebut.

“[Deforestasi] dilakukan oleh elit lokal, orang-orang berpengaruh yang berada di balik pembukaan ini,” sebut Tillack.

Dia mengatakan kasus dua perkebunan ini hanyalah puncak dari gunung es, karena diperkirakan ada 300 hektar perkebunan ilegal lainnya di Rawa Singkil.

 

Ekspansi kebun sawit ilegal Mahmudin didokumentasikan pada tahun 2018 di dalam Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Minyak sawit yang diproduksi di lahan-lahan tersebut memasuki rantai pasokan merek-merek multinasional. Dok: Rainforest Action Network.

Baca juga: Perambahan di SM Rawa Singkil untuk Dijadikan Kebun Sawit Masih Terjadi

 

Rantai Pasokan yang Tercemar

Investigasi RAN juga mengungkapkan bahwa minyak sawit dari dua perkebunan ilegal tersebut berakhir di rantai pasokan merek-merek besar seperti P&G, Mondelēz, Nestlé, PepsiCo, Nissin Foods, Unilever, Ferrero, dan Colgate-Palmolive.

Merek-merek ini terpapar minyak sawit ilegal karena bersumber dari pedagang dan pabrik yang membeli buah sawit dari dua perkebunan tersebut.

Misalnya, tandan sawit dari perkebunan Nasti dikumpulkan dan diangkut ke pabrik pengolahan, PT Bangun Sempurna Lestari, yang diketahui memasok Musim Mas — operator kilang besar yang juga menjadi pemasok bagi P&G, Mondelēz, Nissin Foods, Nestlé, PepsiCo dan Unilever.

Merek-merek ternama ini telah mengadopsi kebijakan tanpa deforestasi yang seharusnya melarang mereka membeli minyak sawit yang berasal dari lahan hutan yang dibuka setelah batas waktu tertentu, yang biasanya berakhir pada 31 Desember 2015.

Sebagai anggota Consumer Goods Forum, -sebagian juga anggota Forest Positive Coalition of Action, sebuah inisiatif para suplier dan pembeli yang bertujuan untuk mengakhiri deforestasi dari sektor komoditas, merek-merek internasional ini telah berjanji untuk mengakhiri deforestasi di rantai pasokan mereka pada tahun 2020,

Namun apa yang terjadi. Komitmen keberlanjutan minyak sawit ini tidak sebaik yang ada di dalam peta konsep, jelas Tillack. Deforestasi pun terus terjadi sejak perusahaan mengadopsi batas waktu di tahun 2015.

“Sudah tujuh tahun, [perusahaan] gagal menerapkan kebijakan tanpa deforestasi dan memberlakukan moratorium [pembukaan hutan] di daerah ini, habitat terpenting bagi orangutan sumatera.”

 

Foto udara perkebunan sawit ilegal di dalam suaka margasatwa Rawa Singkil di Aceh. Dok: HAKA.

 

Verifikasi Pihak Perusahaan

RAN pun menyoroti peran pembeli seperti Apical (bagian Royal Golden Eagle/RGE), Golden Agri Resources (GAR), Musim Mas, dan Wilmar, yang disebut mencemari rantai pasokan global dengan minyak sawit ilegal dari Rawa Singkil.

Menurut RAN, perusahaan-perusahaan ini mengoperasikan kilang minyak sawit dari perkebunan ilegal dan mengolahnya menjadi berbagai bentuk minyak sawit yang lalu menjadi barang konsumsi seperti snack, berbagai produk perawatan pribadi, hingga mie instan.

Perusahaan seperti RGE, Musim Mas dan GAR sebelumnya telah membantah tuduhan bahwa rantai pasok mereka tercemar minyak sawit ilegal.

Mereka mengakui saat itu mereka mengambil buah sawit dari Mahmudin, tetapi hanya dari perkebunan resminya yang terletak di luar Suaka Margasatwa Rawa Singkil.

Namun pada bulan Januari, Musim Mas, GAR, dan Wilmar mengonfirmasi mereka secara tidak langsung mengambil dari perkebunan ilegal di dalam suaka margasatwa.  Perubahan ini terjadi setelah tiga pembeli sawit terbesar di Indonesia mengirimkan tim verifikasi lapangan ke suaka margasatwa.

GAR dan Wilmar bersama-sama melakukan verifikasi lapangan pada November 2022. Mereka menemukan bahwa Mahmudin hanya memiliki izin mengoperasikan 29 hektar perkebunan di luar suaka, dan bukan perkebunan seluas 4,5 hektar di dalamnya.

Mahmudin mengatakan kepada tim verifikasi bahwa dia tidak mengetahui batas-batas suaka margasatwa. Tim juga tidak menemukan tanda-tanda batas seperti patok pembatas, parit atau papan nama di sekitar perkebunan ilegal Mahmudin.

Musim Mas mengirimkan tim verifikasinya ke lapangan pada November 2022. Mereka menyebut minyak sawit ilegal dari Rawa Singkil masih dapat berakhir di rantai pasokannya meski ada kebijakan tanpa deforestasi, disebut karena sulitnya melakukan keterlusuran hingga ke hulu sumbernya.

Dalam banyak kasus, modusnya buah sawit dari daerah terlarang dicampur dengan buah dari sumber yang dapat diterima dalam jumlah kecil untuk mengaburkan ilegalitasnya.

“Biasanya, ini dapat ditangkap melalui ketertelusuran ke tingkat pelaksana kebun di tingkat pabrik pemasok, namun tidak ada sistem yang mampu memberi jaminan 100 persen,” sebut Musim Mas kepada Mongabay melalui jawaban email.

“Mempertahankan ketertelusuran secara konstan ke perkebunan sepanjang waktu adalah sebuah tantangan.”

Bahkan ketika sebuah pabrik mengatakan dapat melacak 100 persen buah sawit yang diolah hingga ke tingkat kebun, kenyataannya masih ada masalah di lapangan.

Dalam kasus Mahmudin, ketiga pembeli — GAR, Wilmar, dan Musim Mas — membeli minyak sawit dari pabrik yang lebih kecil seperti PT Runding Putra Persada (RPP), yang membuat klaim ketertelusuran 100 persen dalam laporan tahun 2021.

Namun, setelah memeriksa daftar pemasok buah sawit pabrik, tim verifikasi GAR dan Wilmar menemukan bahwa RPP belum menerapkan sistem ketertelusurannya secara benar.

“Tidak ada mekanisme untuk menilai calon pemasok (due diligence); tidak ada tim khusus yang menjalankan dan memantau proses, dan pengumpulan data pemasok [buah sawit] pun tidak merata dan tidak konsisten,” sebut GAR dan Wilmar menyimpulkan dalam laporan mereka dalam kasus tersebut.

Tillack mengatakan ini menunjukkan bagaimana tidak ada merek atau pedagang yang mampu mencapai ketertelusuran 100 persen. “Ada krisis dalam memantau ketertelusuran,” katanya.

 

Orangutan sumatera dewasa. Ekosistem Leuser adalah rumah bagi sekitar 85 persen populasi orangutan sumatera yang tersisa. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay.

 

Tuntutan Pemulihan

Setelah proses verifikasi, para pembeli mendapatkan komitmen dari Mahmudin untuk melepaskan semua kebun sawit ilegalnya yang ada di dalam suaka margasatwa kepada pihak berwenang.

GAR dan Wilmar mengatakan Mahmudin harus menunjukkan bukti berupa surat serah terima dan kuitansi pelepasan tanah pada akhir Juni tahun ini. Audit itu adalah untuk memastikan bahwa hal itu benar-benar dilakukan. Musim Mas mengatakan pelepasan lahan ini adalah tujuan utama mereka.

“Ini masih merupakan jalan yang sedang kami kerjakan dengan pemasok kami,” sebut perwakilan perusahaan.

Adapun untuk kasus Nasti, Musim Mas dan P&G menyebut mereka telah menghentikan pengadaan dari kebunnya. P&G juga telah berjanji mengambil tindakan karena mengambil minyak sawit dari Musim Mas, dan dengan demikian terpapar minyak sawit ilegal dari Rawa Singkil.

Dikatakan mereka akan bekerja sama dengan Mahmudin untuk mengembalikan lahan yang dibuka secara ilegal kepada pihak berwenang, dan memulihkan kerusakan yang terjadi. RAN mengatakan ini adalah “yang pertama untuk merek global besar”.

Dalam kasus Mahmudin, P&G tidak menangguhkan sawit asal kebunnya, karena dia berkomitmen untuk memulihkan kerugian yang disebabkan oleh kebun ilegalnya. Proses ini menunggu kemajuan lebih lanjut dan masih memungkinkan P&G menangguhkan hasil sawit kebun Mahmudin, jelas perusahaan itu.

Tillack mengkritik keputusan P&G untuk melanjutkan pengadaan dari Mahmudin, dengan mengatakan bahwa hal itu menunjukkan bahwa perusahaan tersebut tidak mematuhi kebijakan pengadaan sumber minyak sawitnya sendiri.

Sebutnya, seharusnya merk seperti P&G dan pembeli seperti Musim Mas, harusnya langsung menghentikan pengadaan dari kebun Mahmudin, hingga terbukti ada rencana aksi untuk memperbaiki kerugian lingkungan, sebutnya.

Menurut Tillack, sistem pemantauan dan penelusuran kolektif, serta sistem kepatuhan untuk melindungi Rawa Singkil dan Ekosistem Leuser, harusnya akan memacu kerjasama kolektif antar pihak, alih-alih upaya individu per perusahaan.

Hal ini sangat penting karena semakin banyak pasar yang menuntut minyak sawit berkelanjutan, dengan Uni Eropa akan mengadopsi undang-undang yang akan melarang perdagangan barang yang berasal dari deforestasi dan sumber ilegal.

Undang-undang tersebut akan mencakup minyak sawit, daging sapi, kedelai, kopi, coklat, karet, arang dan kertas. Regulasi ini akan mengharuskan perusahaan yang bekerja di lokasi-lokasi tinggi deforestasi untuk menyatakan bahwa barang mereka tidak berasal dari pembukaan hutan setelah tanggal batas waktu 31 Desember 2020.

Untuk membuktikannya, perusahaan harus dapat melacak komoditas mereka kembali ke tempat produksinya, hingga ke informasi geografis yang tepat untuk perkebunan tempat tanaman itu ditanam.

“Jadi agar minyak sawit masuk ke UE, harus ada data geo-lokasi,” sebut Tillack. “Tetapi jelas dari laporan kami bahwa tidak ada merek dan pedagang yang dapat mencapainya [saat ini]. Perlu ada investasi agar sistem [penelusuran dan pemantauan] ini cukup memadai.”

Tulisan asli berbahasa Inggris Palm oil deforestation hits record high in Sumatra’s ‘orangutan capital’. Artikel ini diterjemahkan oleh Ridzki R Sigit.

 

***

Foto utama: Orangutan sumatera jantan dengan bibir terkatup. Foto: Rhett A Butler/Mongabay

 

 

Exit mobile version