Mongabay.co.id

Hadapi Berbagai Ancaman, Upaya Lindungi Ekosistem Semenanjung Kampar-Kerumutan

 

 

 

 

Matahari nyaris tenggelam ketika kapal pompong berkelir merah menempel di geladak kayu Pelabuhan Tanjung Pal, Siak, Riau, medio Maret lalu. Akam Akiat, berulang kali memindahkan tiga karung plastik dengan kapasitas delapan liter ke atas geladak.

Karung yang hampir transparan itu berisi tangkapan Akam dan suami sepanjang hari. Ada kerang-kerangan dan udang batu. Hasil tangkapan ini mereka dapat dari melaut sekitar lima kilometer ke arah utara, tepatnya di Sungai Rawa.

“Ini hanya untuk konsumsi keluarga kami saja,” kata Akam kepada Mongabay.

Perempuan tiga anak ini bilang, hasil tangkapan untuk konsumsi keluarga. Kegiatan terbilang jarang mereka lakukan, biasa setiap tiga bulan sekali.

Salah satu faktor yang memengaruhi, katanya, ikan di pesisir timur laut Riau ini tergolong minim.

Toko, Ketua Badan Permusyawaratan Kampung (Bapekam) Penyengat menyebut,  kampungnya bukan tanpa sumber daya ikan sama sekali. Beberapa jenis ikan biasa ditemui di pasaran seperti ikan terubuk, lome sampai tenggiri bisa dicari di sekitar perairan kampung.

Namun,  ketersediaan sedikit dan tergantung musim. “Maka tidak ada yang jaya dari hasil laut, hanya tukar-tukar makan saja,” kata Toko.

Pesisir Kampung Penyengat berada sekitar 100 km arah timur laut dari kota jantung provinsi ini, Pekanbaru. Perairan di kawasan ini tergolong tenang karena laut pemisah pulau utama Sumatera dengan pulau-pulau kecil seperti Bengkalis, Padang hingga Tebing Tinggi.

Seperti kawasan pesisir lain, di Kampung Penyengat banyak nelayan menggantungkan hidup dari laut. Zulkifli, Ketua Nelayan Tanjung Pal, mengatakan, masih ada 33 nelayan aktif mencari ikan di perairan ini.

Sayangnya, kondisi perairan mereka sedang tidak baik. Sejak dua tahun terakhir, kata Zulkifli, ikan sulit ditangkap.

Dia harus melaut jauh hingga dua jam dengan kapal pompon untuk mencari ikan. Biaya ekstra harus dia keluarkan karena kapal minum 35 liter solar setiap kali melaut.

“Sejak ada limbah dari RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper), ikan jadi susah untuk dicari,” kata Zulkifli.

Serpihan kayu kecil maupun besar diduga jatuh ke laut ketika tebang pohon maupun saat muat ke kapal. Limbah kadang nyangkut di jaring nelayan.

“Perusahaan ada upaya bersihin, tapi kelihatannya kewalahan karena terlalu banyak limbahnya.”

Masih terang dalam ingatannya saat laut ramah pada nelayan. Kala itu, ikan-ikan seperti terubuk dan lome menjadi sumber pendapatan mereka.

Terubuk jadi tangkapan terbesar pria yang baru satu tahun dipercaya mengemban tugas sebagai ketua nelayan ini. Ikan yang dikenal dengan sebutan herring di Eropa itu bisa mencapai bobot lebih dari satu kg dalam ukuran terbesar saat ditangkap.

Sekarang berbeda. Sulitnya tangkap ikan membuat pendapatan Zulkifli ikut menurun dalam dua tahun terakhir. Kalau dulu dia bisa meraup Rp3 juta per bulan, sekarang sering hanya Rp1 juta setiap bulan.

Masalah ini juga keluhan yang anggota perkumpulan nelayan Tanjung Pal. Mereka pun sudah menyuarakan ini pada humas perusahaan RAPP sekitar tiga bulan lalu.

“Katanya mau dibicarakan di perusahaan. Tapi tidak ada kabar lagi setelah itu,” katanya.

 

Akam Akiat dibantu nelayan lokal menaikkan hasil tangkapan melaut. Foto: Richaldo H/ Mongabay Indonesia

 

***

Perairan danau gambut Taman Nasional Zamrud, Siak, Riau, yang gelap membuat saru kapal pompong Samsudin, yang hendak membawa hasil tangkapan ke Desa Dayun, 15 Maret lalu. Di dasar kapal berwarna biru itu, ada ikan nila, toman dan lele yang akan dia jual ke tengkulak.

“Lumayanlah ini dijual untuk makan,” kata Samsudin.

Ayah tiga anak ini menyebut, hasil tangkapan ini didapat dari berburu selama satu jam. Meskipun ada tiga ragam ikan berhasil dia tangkap, Danau Zamrud pun mengalami masalah sama dengan perairan Kampung Penyengat, tangkapan mulai berkurang.

Pria yang jadi nelayan sejak 80’an ini mengatakan, tangkapan nelayan mulai berkurang empat tahun terakhir. Panen raya baru bisa dirasakan ketika masuk musim penghujan.

Bahkan, sudah lebih sebulan nelayan di danau yang jadi Taman Nasional pada 2016 itu kesulitan mencari ikan tapah. Danau Zamrud,  dipercaya salah satu habitat ikan dengan nama ilmiah Wallago watu ini.

International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan tapah dalam kategori vulnerable sejak 2019. Kondisi ini memburuk, karena 2018 status tapah masih near threatened dalam IUCN Red List 2018.

Muhammad Nur, Ketua Kelompok Nelayan Danau Zamrud, mengatakan, musim hujan tidak menjamin ketersediaan ikan di danau gambut ini. Selain tapa ada juga baung mulai sulit ditemukan di Danau Zamrud.

Juli 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sempat melepasliarkan 56 arwana golden red (Scleropages formosus) sebagai upaya menambah populasi ikan endemik perairan gambut ini.  Nelayan jarang menemukan ikan jenis ini.

Para penjala ikan, katanya, lebih banyak menggantungkan hasil tangkapan pada udang. Ratusan jebakan udang tersebar di taman nasional yang memiliki luas 31.480 hektar ini.

Jebakan udang ini mirip jebakan tikus di darat, berbentuk balok dengan dinding transparan dan satu pintu masuk jebakan. Bedanya, dinding perangkap tikus biasa terbuat dari kawat, jebakan udang dari jaring.

Satu rangka sisi yang berbentuk persegi diikat dengan tambang kecil sepanjang lebih dua meter. Ujung lain diikatkan pada botol plastik yang berfungsi sebagai pelampung dan penanda lokasi dari jebakan udang.

Kalau saja Nur tak mengangkat salah satu botol dan menarik jebakan ke atas, botol ini akan dikira sampah yang mengotori danau yang berada sekitar 27 km barat daya Kampung Penyengat.

“Biasanya saya panen dua atau tiga hari sekali,” kata Nur.

 

Sumur Bor PT BSP yang sudah ditinggalkan dan diduga mencemari tanah dan air di sekitar Foto: Richaldo H/ Mongabay Indonesia

 

Udang gambut terlihat unik, jari-jari panjang dan lebih tajam daripada udang air laut. Hewan krustasea ini pun ukurannya hanya sebesar jali kelingking dan warna merah pucat.

Dalam satu kali panen, Nur bisa mendapat 30 kg-50 kg dengan harga jual Rp3.000 per kg. “Biasanya saya jual ke Pekanbaru.”

Nur khawatir,  nasib udang akan sama dengan ikan-ikan lain.

Di bentang ini, ada pertambangan PT Bumi Siak Pusako (BSP), badan usaha milik daerah (BUMD) yang mengelola industri hulu dan hilir migas blok Coastal Plain Pekanbatu (CPP). Ia  diduga jadi salah satu penyebab. Beberapa kali terjadi rembesan minyak dari sumur-sumur bor BSP yang terletak di sekitar danau.

Laman resmi BSP menyebut,  cikal bakal perusahaan ini mulai sebelum kemerdekaan Indonesia, pada 1930. Saat itu, izin pertambangan pertama di Riau diberikan oleh Sultan Siak ke-12, Sultan Syarif Qasim II pada perusahaan minyak asal Amerika, NV Nederlandsche Pacific Petroleum Maatschappij (NPPM).

Perusahaan ini mengalami dua kali perubahan nama, yakni, PT Caltex Pacific Indonesia pada 1970, dan BSP sejak 2002.

BSP resmi jadi pengelola blok CPP, sejak 2022, setelah 20 tahun sebelumnya mengelola bersama Pertamina.

Taman Nasional Zamrud berkeliling pertambangan ini. Jalan masuk ke taman nasional ini harus melewati pintu gerbang BSP yang dijaga dengan ketat. Beberapa sumur bor dan jaringan pipa pengeboran minyak membentang sepanjang jalan menuju danau.

“Ada banyak sumur galian yang tenggelam. Akibatnya air danau tercemar dan beberapa ikan mati mengambang,” kata Nur.

 

Ketua Kelompok Nelayan Danau Zamrud Muhammad Nur memperlihatkan jebakan udang yang dia pasang. Foto: Richaldo H/ Mongabay Indonesia

 

***

Taman Nasional Zamrud dan Kampung Penyengat merupakan bagian kecil dari Ekosistem Semananjung Kampar (SK)-Kerumutan yang diproyeksikan Pemerintah Riau untuk mendukung program forest and other land use (FoLU) net sink 2030. Karena itu, ada pekerjaan besar memastikan perusahaan mendukung niat ini dengan meminimalisasi dampak lingkungan dari aktivitas mereka.

Koalisi Serumpun terdiri dari Perkumpulan Elang, Manka dan EcoNusantara sebagai inisiator restorasi SK-Kerumutan menyebut kalau kawasan ini memiliki hamparan hutan gambut dan mangrove terluas di Indonesia.

“Ini akan jadi kontribusi Riau untuk penanganan perubahan iklim dunia,” kata Janes Sinaga, Direktur Eksekutif Yayasan Elang dalam diskusi di Kantor Yayasan Elang, Pekanbaru, 13 Maret lalu.

Ekosistem SK-Kerumutan lebih 2 juta hektar. Pada periode awal, implementasi FoLU Net Sink di atas area 1.387.423,81 hektar, dengan kawasan hutan mencapai 1.160.296,71 hektar, sisanya 227.127,10 hektar merupakan area penggunaan lain (APL).

Dalam areal implementasi tahap awal ini juga ada ekosistem gambut seluas 1.071.632,46 hektar. Berdasarkan perhitungan koalisi, implementasi FoLu Net Sink di ekosistem gambut akan berkontribusi melindungi 23.516,23 juta ton CO2 ekivalen lewat berbagai upaya perbaikan tata kelola.

Koalisi sadar, ambisi restorasi dan pemulihan ekosistem ini tidak akan berjalan lancar tanpa keterlibatan semua pihak, termasuk perusahaan. Dalam catatan mereka, ada sekitar 36 perusahaan memiliki izin kehutanan di dalam ekosistem SK-Kerumutan, dengan jenis izin mulai dari hutan tanaman industri hingga restorasi ekosistem.

Untuk itu, mereka pun sudah berkoordinasi dengan perusahaan agar bersama bekerja dalam upaya yang didukung Pemerintah Siak dan Pelalawan ini. Koordinasi ini dalam focus group discussion (FGD) di Jakarta, 20 Maret lalu.

Private mendukung dan bersepakat dalam pemulihan Semenanjung Kampar-Kerumutan,” kata Janes saat ditemui selepas acara.

Dia bilang, ada tiga hal akan dilakukan bersama dengan perusahaan pemegang konsesi yakni, mengembangkan platform pencatatan emisi tingkat lanskap, dan membentuk kelembagaan khusus untuk kolaborasi. Juga,  penyampaian progres kegiatan masing-masing di CoP UNFCCC Dubai, 28 November mendatang.

Menurut dia, hal ini akan mendorong transparansi dari perusahaan dalam setiap aktivitas mereka. “Kalau mereka masih BAU (business as usual), akan ada sanksi,” kata Janes.

Sanksi berupa penegakan hukum mengingat upaya restorasi ekosistem SK-Kerumutan akan menjadi kontributor 20% upaya FoLu Net Sink 2030. “Posisinya kuat.”

Husni Merza, Wakil Bupati Siak, saat ditemui mengatakan, ada keterbatasan kewenangan pemerintah daerah dalam menindak perusahaan di sana karena perizinan dari Pusat.

Selama ini, Pemerintah Siak hanya bisa mengingatkan para pemegang izin untuk tidak menimbulkan dampak lingkungan serius dan merusak.

Terkait keluhan nelayan di TN Zamrud dan Kampung Penyengat, dia meminta masyarakat tidak ragu melaporkan hasil temuan mereka. Sekalipun posisi mereka tak cukup kuat memberikan sanksi serius, tetapi bisa mendorong perusahaan memberikan kompensasi pada masyarakat yang terdampak pencemaran aktivitas mereka.

 

Danau Zamrud. Foto: Richaldo H/ Mongabay Indonesia

 

Sekitar setahun lalu, Pemerintah Siak mendorong ganti rugi pipa bocor perusahaan yang membuat nelayan kesulitan melaut.

“Saya lupa perusahaannya siapa, tapi kami minta mereka bantu bersihkan dan bertanggung jawab pada nelayan,” katanya.

Sejauh ini, Pemerintah Siak memiliki komitmen Siak Hijau yang mengikat pemerintah daerah, organisasi masyarakat spil, perusahaan dan masyarakat muda di Siak.

Komitmen ini juga yang JADI modal Koalisi Serumpun untuk mendorong restorasi dan pemulihan SK-Kerumutan.

Dalam Siak Hijau, ada koalisi private sector yang memiliki perizinan di Siak. Koalisi ini memastikan kalau aktivitas perusahaan di Siak secara berkelanjutan.

Komitmen yang diperkuat menjadi Peraturan Daerah (Perda) sejak 2022 ini pun diterjemahkan dalam rencana aksi daerah Siak Hijau.

Meski begitu, belum ada indikator yang mengatur kepatuhan perusahaan. “Indikatornya belum ada. Rancangan RAD ini akan ada konsultasi publik, kami terbuka kalau ada masukan soal kepatuhan private sector,” kata Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Siak Wan M Yunus ditemui terpisah.

Meskipun demikian, indikator kepatuhan perusahaan sebenarnya bisa dilihat dari dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal) atau upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan (UKL/UPL).Ia ada  berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27/2012 tentang izin lingkungan. Dalam Dinas Lingkungan Hidup bisa menjadi pihak yang mengawasi dan memberi sanksi.

“Perusahaan bandel bisa digetok pakai instrumen itu. Tapi yang getok berani atau tidak, itu yang jadi pertanyaan,” kata Yunus.

Desa Dayun di Siak bisa jadi satu contoh baik memastikan perusahaan bekerja dengan standar lingkungan. Sejak berhasil kerjasama antara pemerintah daerah dengan sektor swasta pada 2015, Dayun tidak pernah lagi kebakaran.

Padahal, desa dengan luas dua kali lipat Kota Pekanbaru ini sempat alami kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 2015. Kala itu, api melahap 500 hektar lahan Dayun.

“Kami libatkan private dalam setiap program tata kelola dan pengembangan ekonomi masyarakat,” kata Nasya Nugrik, Kepala Desa Dayun.

 

Nelayan melaut. Foto: Richaldo H/ Mongabay Indonesia

 

******

Exit mobile version