Mongabay.co.id

Cerita Para Petani Pasuruan Tanam Beragam Varietas Alpukat

 

 

 

 

 

Lahan berada di antara Pegunungan Bromo Tengger Semeru dan Arjuno-Welirang, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur,  memiliki alam nan subur. Berbagai jenis buah-buahan ada di sini termasuk alpukat.Di wilayah yang berada di Kecamatan Purwodadi ini, memang  merupakan sentra penghasil alpukat di Pasuruan.

Julianto Effendi, Ketua Yayasan Edukasi Alpukat Pasuruan mengatakan, predikat Purwodadi sebagai sentra penghasil alpukat tak lepas dari peran petani menanam tanaman ini dalam beberapa tahun terakhir. “Kalau dulu mungkin tidak begitu dilirik ya. Sekarang,  hampir semua petani punya pohonnya,” katanya kepada Mongabay.

Dia bilang, alpukat dipilih karena memiliki prospek bagus. Tren permintaan juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Lebih penting lagi, buah ini juga dinilai sangat cocok dengan  tekstur tanah di Purwodadi .

“Harapannya, bisa membantu meningkatkan perekonomian warga yang akhirnya mereka mau dan bangga menjadi petani,” katanya.

Pertengahan April lalu, Mongabay sempat mengunjungi sentra penghasil alpukat di kaki Gunung Arjuno itu. Terlihat jajaran tanaman alpukat di antara tanaman perkebunan lain.

Julianto mengatakan, ada belasan varietas alpukat ditanam di lahan-lahan warga, seperti aligator, markus, yang merupakan varietas hasil introduksi. “Secara spesifik memiliki ukuran buah lebih besar dan kemampuan berbuah sepanjang tahun,” ujar Julianto.

Keunggulan lain, varietas yang juga populer dengan sebutan alpukat mentega itu memiliki harga relatif baik, antara Rp25.000-Rp35.000 perkg. Soal produktivitas, katanya, juga tak mengecewakan.

Untuk setiap pohon, bisa hasilkan panen sampai 50 kilogram, baru masa panen pertama sekitar tahun ketiga setelah bibit ditanam. “Jadi, di panen pertama sudah bisa menghasilkan segitu, luar biasa kan?” kata Julianto.

 

Alpukat dari Pasuruan. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

 

Varietas lokal

Selain mengadopsi varietas yang sudah jamak dikenal, para petani alpukat di Purwodadi juga fokus mengembangkan alpukat lokal dengan kualitas super. Kini sudah ada  tiga varietas lokal yang siap dilempar ke pasaran yakni alpukat Arjuna 1, Cohat dan Dul Bakar.

Khusus varietas Arjuna 1, kata Julianto, banyak keunikan. Ia berdaging tebal dengan warna kuning cerah, biji kecil, dan kulit sangat tipis. Untuk menikmatinya, tak perlu dibelah seperti alpukat kebanyakan., cukup mengupas seperti  pisang.

“Bisa dibayangkan sensasinya,” seloroh Julianto.

Dia punya ambisi besar untuk mengangkat kesejahteraan petani melalui budidaya alpukat. Karena itu, tahun 2020, dia dan beberapa petani lain sepakat membentuk Yayasan Edukasi Alpukat dan Asosiasi Petani Alpukat.

Melalui lembaga ini, Julianto berharap bisa tingkatkan nilai tambah bagi petani. Caranya, melalui edukasi tiada henti tentang alpukat. Selain itu, lembaga ini juga bisa menjadi rujukan bagi yang ingin belajar atau tahu lebih jauh soal buah ini.

“Di yayasan ini, kami juga dapat berdiskusi banyak. Mulai dari bagaimana ketika terjadi serangan penyakit atau penanganan pasca panen. Sekaligus untuk memperkuat branding,” jelas Yulianto.

Usaha mereka memperkuat posisi petani alpukat dengan berorganisasi sedikit membuahkan hasil. Untuk menentukan harga jual alpukat,  misal, mereka tak mau bergantung pada para tengkulak.

 

Alpukat mentega dari Pasuruan. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Dulu, katanya, setiap panen raya, hasil panenan dibawa ke pengepul atau tengkulak dan mereka yang menentukan harga beli. Belakangan,  tidak lagi.

“Dulu,  harga mereka yang tentukan. Tetapi, berkat branding dan upaya penguatan yang kami lakukan, pedagang yang sekarang datang ke kami untuk membeli. Harga ikut kami.”

Dengan begitu, harga bisa lebih stabil. “Tidak mudah dipermainkan.”

Sampai saat ini, katanya,  sudah ada 42 petani alpukat bergabung di yayasan dengan luas lahan 52 hektar. Jumlah pohon yang masuk fase produktif ada 4.100 pohon dengan produksi per tahun sekitar 200 ton. Selain itu, masih ada juga 14 hektar belum ditanami.

Tanaman usia 1-2 tahun ada 12.000 pohon. “Iitu belum pada titik puncak, karena perawatan juga masih ala kadarnya.”

Dengan gambaran itu, Julianto berani mengklaim bila dalam kurun tiga tahun ke depan, Desa Tambaksari bakal menjadi sentra produsen alpukat kelas super. Bukan hanya di Pasuruan juga Jawa Timur.

Julianto sempat menunjukkan salah satu alpukat produk lokal Tambaksari dari hasil introduksi, yakni alpukat Hawai yang mulai dibudidayakan sebagian petani.

Menurut dia, alpukat Hawai ini terbilang istimewa. Berat setiap buah bisa mencapai tiga kilogram. “Dengan harga perkg sekitar Rp35.000, berarti satu buah sudah di atas Rp100.000.”

Tanam alpukat, pada panen pertama, usia tiga atau empat tahun, rata-rata satu pohon menghasilkan 50 kilogram.

Dengan asumsi harga terendah Rp20.000 berarti cuan yang dapat dihasilkan Rp165 juta per tahun. “Itu jika harga segitu. Harga yang berlaku biasa Rp20.000-Rp35.000.”

Dedy Sumanto, petani alpukat mengatakan, sedikitnya ada 56 varietas alpukat dia tanam di kebunnya.

Dia mengatakan, tak semua tanaman hasil introduksi. Ada juga alpukat lokal yang banyak dikembangkan di kebun-kebun warga.

Alpukat lokal, katanya, kendati ukuran buah lebih kecil dari hasil introduksi, tetapi memiliki cita rasa khas.

 

Beragam varietas alpukat yang ditanam petani di Purwodadi, Pasuruan. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Dia mengklasifikasi alpukat jadi tiga kelompok. Pertama, alpukat sebagai buah meja yang ditandai dengan bentuk dan biji kecil, pulen dengan daging berwarna kuning cerah. “Sekali makan habis.”

Kedua, alpukat sebagai buah olahan. Misal, untuk bahan campuran makanan olahan, seperti es krim, puding, bahkan campuran kue. Alpukat kelompok ini berciri ukuran lebih besar.

Menariknya, alpukat tidak hanya bisa dinikmati dagingnya. Biji alpukat, katanya,  juga bisa diracik jadi teh biji alpukat.

Konsumsi teh biji alpukat,  dinilai baik untuk kesehatan karena memiliki kandungan antioksidan tinggi.

Ketiga,  buah alpukat sebagai buah pabrikan. Dengan kata lain, varietas semata untuk memenuhi kebutuhan pabrik atau industri. Salah satu ciri,  kandungan minyak tinggi.

Menurut Dedy, para petani perlu tahu soal ini karena berkaitan dengan varietas yang ingin ditanam dengan target pasar yang ingin dibidik. “Tidak masalah mau mengembangkan yang kecil-kecil. Karena rasanya enak, pasar tradisional oke, modern juga oke. Kalau mau pabrik, berarti kandungan minyak paling yang tinggi.”

Selain sumber ekonomi langsung, manfaat lain yang bisa diambil dari kebun alpukat adalah jasa wisata. Misal, wisata edukasi dan petik alpukat, kini mulai banyak jamak.

Dedy pun memberi tips sederhana bagi para petani budidaya buah ini. Sebelum menanam, petani harus lebih dulu tahu ketinggian lahan. Sebab, varietas alpukat mana yang paling cocok, bergantung pada ketinggian lahan.

Ada alpukat cocok di dataran rendah, dataran menengah, dan dataran tinggi.  “Jadi, harus diketahui dulu mdpl berapa yang cocok. Itu akan berpengaruh terhadap warna dan rasa buah.

Sayangnya, di tengah tinggi permintaan buah ini, produksi alpukat di Pasuruan, justru mengalami penurunan dalam empat tahun terakhir.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Pasuruan 2022, alpukat sempat mencapai 742,3 ton pada 2019, kemudian turun jadi 667,5 ton pada 2020.

Tren penurunan kembali berlanjut di dua tahun berikutnya, 2021 dan 2022. Masing-masing produksi 531,8 ton dan 292,4 ton.

Terkait penurunan ini, kata Dedy, cuaca jadi penyebab. “Kebetulan, beberapa tahun terakhir intensitas hujan sangat tinggi, itu pasti membawa dampak.”

Sudono Fauzan, Ketua DPRD  Pasuruan mengatakan, alpukat Purwodadi memiliki beberapa keunggulan. Daging lebih pulen dengan kadar air lebih rendah.  Dia pun sepakat mendorong Kecamatan Purwodadi sebagai sentra alpukat unggulan di Jawa Timur, bahkan Indonesia.

 

Alpukat dari Kecamatan Purwodadi, Pasuruan, Jawa Timur. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

*******

 

Exit mobile version