- LMDH Wana Lestari dan LMDH Gempita telah berproses panjang dalam mengelola hutan lereng selatan Gunung Slamet melalui skema kebijakan PHBM dan kemudian perhutanan sosial
- Pengelolaan Perhutanan Sosial dengan bentuk destinasi wisata alam karena mereka sadar kuncinya adalah menjaga lingkungan agar tetap lestari
- Dengan mengembangkan wisata berkelanjutan, warga memperoleh pendapatan melalui jasa lingkungan
- Tidak hanya mengelola wisata, kini kedua lembaga membentuk Garda Patroli Hutan yang bertugas untuk menjaga keberadaan hutan
Sejak awal terbentuk, Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Wana Lestari, Desa Karangsalam Lor, Kecamatan Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah telah konsen dalam konservasi. Apalagi, wilayah Karangsalam Lor merupakan areal daerah tangkapan air.
Sebagai wilayah tangkapan air, banyak curug atau air terjun yang muncul sejak lama. Hingga kini masih tetap bertahan, bahkan musim kemarau juga tetap mengalir.
Menurut Ketua LMDH Wana Lestari Sisworo kegiatan paling awal setelah LMDH terbentuk adalah konservasi. Sebab, wilayah hutan di Karangsalam Lor merupakan area penangkap air. “Kesadaran itu ditanamkan sejak awal berdirinya LMDH. Bahkan, sebelumnya sudah ada kesadaran,” katanya saat berbincang dengan Mongabay Indonesia pada Sabtu (15/4/2023).
Menurutnya, kesadaran konservasi diwujudkan lewat berbagai macam kegiatan. Di antaranya adalah menjaga hutan. Itu sangat mendesak, karena kalau hutan rusak, maka bisa jadi sumber-sumber mata air yang serta curug bakal menghilang.
“Sumber mata air di sini tidak hanya untuk warga Karangsalam Lor atau Baturraden semata, melainkan juga daerah di bawah seperti Kota Purwokerto. Selain itu juga areal persawahan yang mendapat suplai air dari sumber-sumber mata air di Baturraden,”katanya.
baca : Menjaga Hutan Gunung Slamet Agar Tak Jadi Silent Forest
Setelah berjalannya waktu, ternyata pemerintah memunculkan kebijakan perhutanan sosial (PS). Maka, lanjut Sisworo, pihaknya mengajukan program PS dengan skema pengukuhan dan perlindungan kemitran kehutanan (Kulin KK). Areal yang diajukan luasnya mencapai 52,8 hektare dengan jangka waktu pengelolaan hingga 35 tahun. “Ternyata dalam perjalanannya, muncul adanya kebijakan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK). Makanya, meski sudah ada Kulin KK, pada Desember 2022 mengajukan KHDPK seluas 557 ha,”kata Sisworo.
Sebagian kawasan seluas 557 ha tersebut merupakan hutan lindung. Pihaknya mengajukan KHDPK karena untuk memastikan bahwa hutan setempat yang menjadi kawasan lindung tidak berubah peruntukannya. “Pengajuan KHDPK kami lakukan memiliki tujuan khusus. Yakni mempertahankan kawasan hutan lindung agar tidak mengalami perubahan atau kerusakan. Komitmen kami adalah melakukan pelestarian,”tegasnya.
Menurutnya, sejak awal pihaknya hanya mengelola sekitar 52,5 ha kawasan yang kini sebagian dimanfaatkan untuk wisata Bukit Teng Tung. Bahkan, pada saat serah terima PS Kulin KK tahun 2020 lalu, kondisi areal gundul. Sebab, waktu itu Perhutani baru saja menebang hutan produksi. “Maka, langkah awalnya adalah penghijauan. Prinsipnya, kami hanya memanfaatkan jasa lingkungan. Komitmen kami membangun wisata tanpa merusak bentang alam,”tandasnya.
Sejauh ini pendapatan dari wisata Bukit Teng Tung yang dikelolanya berbagi hasil dengan Perhutani. “Kami membagi dengan proporsi 70% untuk pengelola dan 30% Perhutani. Selama ini, keberadaan Bukit Teng Tung mendatangkan pendapatan bagi warga. Tidak hanya untuk pengelola ada 16 karyawan, melainkan juga para penjual yang berasal dari Desa Karangsalam Lor. Kami terus berikhtiar bahwa menjaga lingkungan justru akan mendatangkan keuntungan,” katanya.
baca juga : Ketika Para Pemburu Burung Pensiun
Wisata Curug Jenggala
PS lainnya yang ada di wilayah lereng selatan Gunung Slamet berada di Dusun Kalipagu, Desa Ketenger, Kecamatan Baturraden. Pengelolanya adalah LMDH Gempita, yang sukses mengelola wisata Curug Jenggala. Awalnya adalah pengajuan PS dengan skema Kulin KK dilaksanakan pada 2019 lalu. Kemudian pada 2020 mendapat SK PS dengan luasan 275,21 ha. Dari luasan itu, ada sejumlah destinasi wisata yang dikelola, yaitu Curug Jenggala, Curug Bayan dan areal hingga perbatasan dengan Kali Gumawang, Baturraden.
Ketua LMDH Gempita Purnomo mengatakan pengelolaannya berbasiskan budaya masyarakat setempat. Bijak mengelola dan melestarikan lingkungan menjadi kunci. Tentu saja, tidak dapat dilepaskan adalah peran serta masyarakat. Karena berbasiskan budaya, PS yang dikelola LMDH Gempita haruslah tetap menjaga kelestarian lingkungan.
“Masyarakat sadar bahwa destinasi wisata yang dikelolanya adalah wisata alam. Kalau alam rusak, maka tidak ada lagi yang dapat dinikmati. Misalnya saja, Curug Jenggala airnya tidak ada, maka tak mungkin menjadi objek wisata. Karena itulah, hanya dengan melestarikan lingkungan, destinasi wisata juga dapat bertahan,”paparnya.
Kawasan hutan di lereng selatan Gunung Slamet tidak hanya mampu menyimpan air yang mengalir melalui air terjun dan kemudian menjadi wisata, tetapi juga aliran airnya digunakan untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sejak zaman Belanda.
Menurutnya, antara kepentingan konservasi dengan ekonomi dapat berjalan beriringan. Apalagi, sejauh ini masyarakat sudah mulai merasakan dampak baik dari pengelolaan wisata berupa pendapatan. “Kami mengelola Curug Bayan dan Curug Jenggala dan telah mendatangkan pendapatan. Untuk Curug Bayan, jumlah pengunjungnya sekitar 7.000 per bulan. Sebelumnya antara 1.500-2.000 pengunjung. Sementara untuk Curug Jenggala mencapai 1.700 pengunjung. Tiket masuk Rp10 ribu, cukup terjangkau,”jelasnya.
menarik dibaca : Menikmati Sejuk Segarnya Curug Cinta Jenggala
Purnomo mengatakan pihaknya berbagi dengan Perhutani. Pengelola 60% sedangkan Perhutani memperoleh 40%. Dengan pengelolaan destinasi wisata, ada 135 KK yang ikut andil karena menjadi anggota LMDH. “Dengan adanya kebijakan baru seperti KHDPK, maka kami membentuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) dan koperasi. Dengan KUPS, ada lima sektor yang digarap. Yakni perikanan, pertanian, wisata, budaya dan agroforestri,”jelasnya.
Dua PS yang ada di lereng selatan Gunung Slamet menjadi contoh bahwa masyarakat mampu mengelola kawasan hutan dengan kearifan lokal yang dimilikinya. Salah satu kunci keberhasilannya ialah adanya modal sosial yang kuat. Sebelum ada kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), warga sekitar hutan telah berproses panjang dalam interaksi mereka dengan lingkungan hutan.
Aktivis pendamping PS di Banyumas, Sungging Septivianto, menyebutkan bahwa modal sosial menjadi faktor penting dalam pengelolaan PS. Modal sosial menjadi pondasi keberhasilan pengelola PS. “Tidak hanya memanfaatkan jasa lingkungan, tetapi lebih dari itu, mereka mampu menjalankan sebagai penjaga kelestarian hutan,”tegasnya.
Dua kelompok pengelola PS di lereng selatan Gunung Slamet bermula dari LMDH yang bermitra dengan Perhutani dalam Pengelolaan Hutan Berbasis Mayarakat (PHBM). Begitu ada kebijakan baru yakni PS, dua kelompok itu mampu menjalankannya dengan baik.
“Sesungguhnya, PS adalah pengelolaan hutan lestari. Jadi dilarang untuk mengubah status dan fungsi kawasan. Contohnya, dalam mengelola kawasan, kedua pengelola tidak mengubah hutan jadi lahan pertanian. Keduanya memanfaatkan jasa lingkungan untuk mengembangkan destinasi wisata,”katanya.
baca juga : Begini Pesan Konservasi dari Lereng Timur Gunung Slamet
Untuk menjaga kelestarian hutan kedua desa telah membentuk Garda Patroli Hutan yang tugasnya seperti Polhut atau Jagawana. “Baik PS di Ketenger maupun Karangsalam Lor telah memiliki legalitas pengelola PS. Kemudian mereka membentuk Garda Patroli Hutan. Sebetulnya normatif, tetapi ini dibentuk dari bawah, sebuah organisasi uang dibangun masyarakat. Kalau sebelumnya sifatnya informal, kini telah diformalkan,”tandasnya.
Tugas dari Garda Patroli Hutan yakni melaksanakan patroli dan menjaga hutan. Sejauh ini sesungguhnya telah dilaksanakan, namun secara informal. “Kalau sekarang ini telah menjadi lembaga formal. Tentu saja, tujuannya adalah agar tidak ada penebangan sehingga hutan tetap lestari,” jelas Sungging.
Mereka menyadari bahwa pengamanan kawasan merupakan bentuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati yang merupakan aset. Aset yang amat berharga, karena dari pelestarian hutan dan keanekaragaman hayati, masyarakat dapat memanfaatkan jasa lingkungannya. (***)