Mongabay.co.id

Revisi Tata Ruang Sulteng Belum Rampung, Kelola Sumber Daya Alam Buruk?

 

 

 

 

 

 

Sejak 2017 hingga kini, proses revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8/2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sulawesi Tengah (Sulteng) 2013-2033 belum selesai. Padahal, perda itu merupakan landasan dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang di Sulawesi Tengah.  Kebijakan tata ruang belum tuntas berbuntut pada tata kelola sumber daya alam buruk?

Perda RTRW itu dinilai buruk karena ditemukan ketidaksesuaian antara pemanfaatan ruang di lapangan, dan rencana tata ruang wilayah yang tertuang dalam perda. Penyebabnya antara lain kebijakan nasional setiap kali berubah saat pergantian presiden.

Pada 2019, Walhi Sulteng menilai proses pembahasan revisi RTRW tak memasukkan perspektif bencana khusus rawan gempa bumi, likuifaksi dan tsunami. Misal, Poboya jadi lokasi PT Citra Palu Mineral (CPM), perusahaan tambang yang tergabung dalam Bakrie Group.

Padahal, kata Abdul Haris Lapabira, Direktur Eksekutif Walhi Sulteng kala itu, menurut Perda RTRW Kota Palu dan Surat Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Kelurahan Poboya masuk kawasan rawan bencana longsor. Ia juga berada pada sesar purba yang sangat membahayakan penambang maupun penduduk sekitar.

“Karena dalam presentasi tim ahli konsultan ini kami tidak melihat ada wilayah pertambangan yang masuk wilayah kawasan strategis bencana. Kalau kita lihat di zona rawan bencana yang dibuat pemerintah itu sepanjang wilayah pertambangan di Palu dan Donggala, masuk zona merah,” kata Abdul Haris Lapabira.

Bukan itu saja, dalam pembahasan RTRW, ada usulan perubahan peruntukan suaka alam atau pelestarian alam dan kawasan hutan jadi pertambangan dan perkebunan sawit. Dia contohkan, Taman Hutan Raya (Tahura) Poboya untuk keperluan pertambangan CPM. Padahal, lokasi itu sumber mata air penduduk di Kota Palu.

Pembahasan RTRW juga dinilai tak partisipatif dan kurang transparan. Kelompok masyarakat sipil merasa tak dilibatkan dalam proses pembahasan revisi Perda RTRW sejak awal. Hal itu, katanya,  berbanding terbalik dengan korporasi CPM yang dilibatkan sejak awal hingga pembentukan tim kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).

Keadaan ini memunculkan kesan dominasi CPM hingga menimbulkan kecurigaan mengakomodir kepentingan korporasi, dibanding aspek keselamatan warga. Ketidaktransparanan pembahasan dengan tak menyosialisasikan draf perda, dan sulit terakses publik juga menjadi kritikan Walhi Sulteng saat itu.

Namun, Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura mengklaim, revisi Perda RTRW Sulteng sudah memperhatikan kerentanan bencana dan zona rawan bencana, khusus gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi. Rusdy bilang, dalam menyusun teknis RTRW dibantu Kementerian ATR/BPN sejak 2018, pasca gempa bumi, tsunami dan likuifaksi.

Rusli bilang, revisi RTRW telah disesuaikan dengan pembangunan yang memperhatikan mitigasi bencana, dan mengintegrasikan rencana zonasi pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu, juga tetap memastikan keamanan bagi investor yang mau menanamkan modal di daerahnya.

“Tujuan penataan ruang dalam RTRW Sulawesi Tengah mewujudkan pembangunan wilayah yang bertumpu pada sektor pertanian, sumber daya wilayah pesisir dan kelautan, industri, pertahanan keamanan serta pariwisata yang produktif dan berkelanjutan secara sosial, ekonomi dan lingkungan berbasis mitigasi bencana,” kata Rusdy seperti dikutip di Antaranews.

 

 

 

Tata kelola buruk

Kualitas Perda RTRW sebelumnya dan proses revisi belum tuntas memberikan dampak buruk dalam pemanfaatan ruang di Sulawesi Tengah. Dalam penelitian Auriga Nusantara dan Komisi Pemberantasan Korupsi (2020), Ombudsman Perwakilan Sulawesi Tengah, menemukan ada praktik penyalahgunaan kewenangan izin pemanfaatan ruang dan penyalahgunaan ruang yang terus berlangsung.

Ombudsman menemukan, ada izin keluar oleh lembaga pemerintah yang tidak berwenang. Kasus ini,  ditemukan di Donggala, pada 2015 dokumen IUP produksi keluar oleh Bupati Donggala. Padahal, sebut kajian itu,  berdasarkan aturan, izin seharusnya keluar oleh Gubernur sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Berikutnya, ada maladministrasi perizinan yaitu ada izin tidak sesuai prosedur, seperti izin lingkungan mendahului izin usaha pertambangan, dan aktivitas produksi pertambangan meski belum memiliki IUP produksi. Ada juga IUP tumpang tindih dengan kawasan hutan, perusahaan tambang lain, laut, dan jalan.

Selanjutnya, ada kepemilikan lahan tambang oleh individu dan perusahaan. Penguasaan lahan oleh perusahaan dan individu berdasarkan surat keterangan pendaftaran tanah (SKPT). Praktik ini biasa dengan cara jual beli tanah yang memiliki kandungan tambang, selanjutnya eksplorasi. Lalu, aktivitas tambang merusak lingkungan, dan penambangan di luar IUP.

Temuan permasalahan IUP di Sulteng itu sejalan dengan hasil laporan koordinasi dan supervisi sektor pertambangan minerba. Pada 2014, dari 443 IUP di Sulteng, ada 199 IUP berstatus non clean and clear (non-CNC) atau bermasalah. Masalah administrasi 88%, disusul tumpang tindih kewenangan 11%, tumpang tindih sama komoditas dan beda komoditas masing-masing 0,5%.

Dalam laporan itu ditemukan ada tunggakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp111 miliar dari 353 IUP. Dimana, ada IUP tak menyampaikan SPT pajak penghasilan, ada IUP tidak transparan dalam pengalokasian dana jaminan reklamasi,  maupun IUP tidak menyampaikan data laporan produksi.

Hasil penelitian Auriga Nusantara, dan KPK yang berjudul “Politik Tata Ruang dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Sulawesi Tengah 2022,” menyimpulkan secara gamblang, ada praktik rent seeking birokrasi dan crony capitalism dalam pemanfaatan ruang di Sulteng. Hal ini,  tergambar dari dominasi permasalahan administrasi dalam penerbitan izin.

Laporan itu menyebutkan, rent seeking adalah aksi pengusaha memperoleh hak istimewa dari negara untuk menyediakan barang dan jasa tertentu dengan cara melobi dan suap. Sedang crony capitalism merupakan istilah untuk menyebut ekonomi yang kesuksesan bisnisnya bergantung pada hubungan dekat antara pebisnis dengan pejabat pemerintah.

 

Pencemaran Limbah Sedimen Bekas Tambang di Desa Lafeu, Bungku Pesisir, Morowali, Sulawesi Tengah. Foto: WALHI Sulteng

 

Siapa aktornya?

La Husen Zuada, dosen Ilmu Politik di Universitas Tadulako sekaligus penulis utama dari penelitian Auriga Nusantara, dan KPK mengatakan, aktor utama yang berperan dalam pemanfaatan ruang dan pengelolaan sumber daya alam Sulteng adalah pengusaha-politisi. Mereka bukan sekadar politisi, sekaligus oligarki karena terlibat dalam ruang politik dan ekonomi.

Pengusaha-politisi adalah mereka yang jadi bagian dari partai politik atau memiliki keterkaitan dengan partai politik, dan memiliki sejumlah usaha. Mereka ini, katanya,  meliputi pimpinan dan kader partai politik, anggota legislatif yang diusung partai politik, maupun pimpinan eksekutif yang terpilih berdasarkan rekomendasi partai politik.

La Husen mengatakan, kalangan politisi-pengusaha memiliki peran penting dalam pemanfaatan ruang dan sumber daya alam di Sulteng. Mereka berperan merumuskan kebijakan dan melaksanakan kebijakan. Selain itu, para politisi ini juga jadi pemilik usaha yang memanfaatkan ruang dalam skala besar, seperti pertambangan dan perkebunan.

Kelompok pengusaha-politisi ini memiliki tiga modal kekuasaan sekaligus yaitu modal uang (ekonomi), fisik, dan kewenangan. La Husen bilang, modal kekayaan dan kewenangan para oligarki ini dengan mudah mempengaruhi kelompok lain, baik secara persuasif maupun paksa.

Keberadaan para oligarki yang memanfaatkan ruang di Sulteng ini, katanya, jadi tantangan tersendiri dalam menghasilkan RTRW pro kepentingan publik.

“Pengusaha-politisi adalah kelompok paling kuat dalam mempengaruhi kebijakan negara. Mereka memiliki kepentingan membesarkan partai politik di dalamnya,” kata La Husen kepada Mongabay, Maret lalu.

Selanjutnya, aktor kedua yang berperan dalam pemanfaatan ruang dan sumber alam di Sulteng adalah pengusaha. Kelompok ini adalah mereka yang memiliki sejumlah usaha, namun tak terlibat politik. Kelompok pengusaha hanya memiliki dua modal kekuasaan yaitu kekayaan dan fisik.

Kelompok pengusaha memiliki pengaruh lemah, bila dibandingkan kelompok pertama (pengusaha-politisi). Kekuasaan yang mereka miliki akan pudar, katanya,  kalau tak lagi memiliki kekayaan.

“Eksistensi pengaruh pengusaha bergantung pada harta kekayaan.”

Berbekal kekayaan, katanya, pengusaha memiliki relasi sosial dengan masyarakat yang membutuhkan lapangan pekerjaan, dan masyarakat sekitar yang mendapatkan manfaat atas usaha.

Rony Saputra, Direktur Hukum Auriga Nusantara berpandangan sama. Menurut dia, pengusaha mengerti kebutuhan jangka pendek masyarakat. Tawaran-tawaran perbaikan ekonomi, perubahan nasib, mengurangi pengangguran, dan iming-iming kesejahteraan, tidak luput dari berbagai upaya dalam mendapatkan akses pengelolaan sumber alam.

 

Foto udara pertambangan ilegal di Poboya pada 2017. Foto: Jatam Sulteng/ Mongabay Indonesia

 

Sisi lain, kata Rony, masyarakat lupa, eksploitasi berlebihan terhadap alam akan menimbulkan bencana. Tak sedikit bencana karena keserakahan manusia dalam eksploitasi alam.

La Husen menambahkan, aktor ketiga di balik pemanfaatan ruang dan kekayaan alam adalah birokrasi. Kewenangan yang dimiliki birokrasi kerap disalahgunakan untuk mengeluarkan izin yang tak sesuai prosedur.

Praktik ini, katanya,  selain karena pemahaman administratif lemah, juga ada oknum birokrasi yang menjalankan praktik rent seeking bureaucracy atau mencari uang.  Sedang para pengusaha, katanya,  memanfaatkan kedekatan mereka dengan para pejabat pemerintah.

“Oknum birokrat berwatak mencari untung dalam perizinan didorong gaya hidup, investasi dan tampil dalam pemilu. Juga dipicu belum membaiknya tata kelola perizinan, seperti ketertutupan informasi dalam proses perizinan dan pengawasan.”

Aktor lain yang juga ikut berperan dalam pemanfaatan ruang dan kekayaan alam di Sulteng, katanya,  adalah kepolisian. Kepolisian sebagai aparat negara memiliki peran penting dalam penegakan hukum bagi pelanggar pemanfaatan ruang dan pengelolaan sumber daya alam. Kepolisian juga berperan menjaga keamanan demi terciptanya stabilitas politik dan ekonomi.

Namun, katanya, dalam pengelolaan tambang di Sulteng, kepolisian dihadapkan pada situasi dilematis, yaitu menegakkan hukum dan menjaga stabilitas keamanan. Upaya kepolisian menutup tambang ilegal sebagai langkah penegakan hukum, kerap diperhadapkan penolakan masyarakat yang memiliki ketergantungan tambang.

Sebagai penegak hukum, timpal Rony, seharusnya kepolisian bisa menelusuri dan menginvestigasi aktor utama di belakang tambang-tambang ilegal itu.

Rony bilang, kalau yang disasar hanya penambang lapangan, wajar ada perlawanan dari masyarakat.

Pemerintah, katanya, juga  harus mengeluarkan kebijakan melarang pihak manapun membeli dan menampung hasil tambang-tambang ilegal. Sayangnya, pemerintah baru menyasar penambang, belum menyasar ke pelaku intelektual termasuk menyasar pembeli.

Meski begitu, La Husen juga menemukan, aktor-aktor dalam tiga institusi demokrasi seperti partai politik, eksekutif dan legislatif juga memiliki peranan dominan, seperti dalam pembuatan peraturan daerah. Pasalnya, aktor-aktor itu memiliki kepentingan atas ruang baik sebagai pengusaha pertambangan maupun perkebunan.

 

 

*******

Exit mobile version