Mongabay.co.id

Masih Fokus ke Darat. LSM: RUU Konservasi Perlu Narasi Kelautan, Perikanan, dan Pulau Kecil

 

Yayasan Konservasi Laut (YKL) menyebut Rancangan Undang-undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) masih berdimensi darat. Mereka menyerukan agar UU ini dapat memperkuat pula sektor kelautan perikanan, yang dinilai selama ini kurang mendapat atensi.

Hal tersebut mereka sampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi IV DPR RI di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta (11/4/2023).

“Kami memberi masukan agar narasi terkait laut, pesisir dan pulau-pulau kecil perlu diperkuat,” ungkap Nirwan Dessibali, Direktur YKL Indonesia, di sebuah diskusi di Makassar (17/4/2023).

Nirwan mencontohkan pada Pasal 5 Ayat 1 di RUU menyebut konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan di dalam dan di luar kawasan konservasi, termasuk terhadap sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang berada di ruang di dalam bumi dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah.

“Rekomendasi kami bahwa frasa ‘di ruang di dalam bumi dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah’ diubah menjadi ‘di ruang darat, laut, udara dari bumi sebagai satu kesatuan wilayah secara terpadu’. Penekanannya bahwa matra atau dimensi konservasi, maka selain darat juga terdapat laut, dan udara secara terpadu,” katanya.

Sorotan lain pada Pasal 43 ayat 2 yang dikatakan ‘Penetapan dan pengukuhan Ekosistem penting di luar Kawasan Konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan setelah mendapat persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan dengan mempertimbangkan rekomendasi dari lembaga pemerintah di bidang penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau perguruan tinggi.

Kritik YKL pada pasal ini karena hanya menekankan pada ‘sektor kehutanan’, tidak memasukkan sektor kelautan dan perikanan.

“Kalimat yang hanya menunjukkan urusan pemerintahan di bidang kehutanan ini harus diluruskan, karena konservasi juga terkait aspek kelautan dan perikanan. Di Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri diatur terkait Kawasan Konservasi Perairan.”

 

Sekelompok nelayan di pantai Depok, Yogyakarta. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Peran Para Pihak

Pasal 4 RUU juga jadi sorotan YKL Indonesia yang menyatakan bahwa ‘KSDAHE merupakan tanggung jawab dan kewajiban pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta masyarakat.’

“Kami menambahkan bahwa tanggung jawab konservasi selain oleh pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat juga menambahkan frasa ‘masyarakat bersama-sama pihak terkait lainnya’.”

Menurutnya tanggung jawab dan program kegiatan konservasi juga berhak dilakukan para pemangku lain. Dia mencontohkan pelaku usaha, pengelola usaha, dunia industri swasta, lembaga swadaya masyarakat/NGO, kelompok pemerhati lingkungan, dan akademisi perguruan tinggi.

“Banyak contoh LSM, KSM, dan perguruan tinggi yang melakukan aksi konservasi baik ekosistem, jenis/spesies, maupun genetik. Mustahil jika mengandalkan pemerintah sebagai aktor pelaku konservasi, tanpa peran serta pihak lain.”

Terkait pemulihan pada kawasan konservasi dan/atau ekosistem penting di luar kawasan konservasi terkait bencana yang diakibatkan oleh peristiwa alami yang pada Pasal 10 Ayat 5 dikatakan menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut Nirwan, usulan mereka terkait pasal ini bahwa ini upaya pemulihan bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah, tetapi ‘bersama-sama pihak terkait lainnya’.

“Penekanannya adalah upaya pemulihan tidak bisa hanya semata-mata mengandalkan pemerintah pusat maupun daerah semata, tapi dengan kolaborasi dengan berbagai pihak. Dengan kolaborasi, kemitraan dan kerja sama para pihak konservasi akan dapat mencapai tujuan yang diharapkan.”

 

Ikan dan terumbu karang yang sehat di perairan Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Foto: Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Perihal Perizinan Berusaha

Hal lain yang disoroti terkait perizinan, khususnya pada Pasal 31 ayat 4, yang menyatakan ‘Perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan selama 35 tahun dapat diperpanjang 1 (satu) kali selama 20 tahun berdasarkan evaluasi’.

Menurut Nirwan, pasal ini memerlukan klarifikasi atau penjelasan lebih jauh atas pemberian perizinan berusaha yang diberikan pada tenggang masa waktu yang tercantum tersebut. Misalnya mengapa 35 tahun dan dapat diperpanjang sekali selama 20 tahun berdasarkan evaluasi.

“Hal ini karena kondisi setiap ekosistem dan sumber daya alam hayati berbeda, daya dukung lingkungannya, daya lentingnya dan daya pulihnya. Tentunya tidak bisa disamaratakan.”

Ekosistem terumbu karang sebutnya, berbeda dengan hutan mangrove, padang lamun dan dengan ekosistem darat. Begitu juga satwa endemik yang ada di dalamnya.

“Ini perlu penjelasan lebih jauh dan kehati-hatian dalam memberikan izin di kawasan pelestarian alam. Apalagi dapat diperpanjang selama 20 tahun berikutnya. Mekanisme evaluasi menyeluruh terpadu dan kehati-hatian (prudent) harus diterapkan dalam hal ini.”

Menurutnya, prinsip-prinsip ini perlu diberlakukan karena jika terjadi kelalaian, kesalahan atau salah kelola pemberian izin berusaha di dalam kawasan pelestarian alam, akan berdampak negatif dalam jangka panjang.

 

Aktivitas di Tempat Pelelangan Ikan Beba Galesong Utara, Takalar, Sulawesi Selatan. Indonesia memiliki jumlah nelayan yang besar. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Pemberdayaan Masyarakat

Terkait kegiatan pemberdayaan masyarakat, dalam Pasal 39 Ayat 3, yang mengatakan bahwa pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui pengembangan desa konservasi, kerjasama dalam pemanfaatan secara terbatas di zona/blok pemanfaatan dan pemanfaatan tradisional, pemberian perizinan berusaha untuk pengusahaan jasa wisata alam dan pemanfaatan sarana wisata alam, pemberian fasilitasi kemitraan pemegang perizinan berusaha pemanfaatan kawasan konservasi dengan masyarakat; dan/atau pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat.

Untuk pasal ini YKL memberi masukan penambahan poin, yaitu: ‘Pemberian hak kelola dan pengakuan atas tata kelola yang telah direncanakan, disusun, dibuat, dirumuskan, disepakati dan dijalankan oleh masyarakat di sekitar kawasan konservasi selama bertujuan untuk meningkatkan kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, kesejahteraan masyarakat tersebut dan keberlanjutan pengelolaan ekosistem secara jangka panjang’.

“Usulan ini kami ajukan karena ada banyak kearifan lokal yang lebih dulu hadir di dalam maupun luar kawasan konservasi yang telah ditetapkan. Sehingga penting untuk memberikan peran pengelolaan kepada masyarakat. Hal yang sama mengenai tata kelola lokal yang diinisiasi oleh masyarakat.”

Hal lain, pada Pasal 36 ayat 2 dikatakan bahwa masyarakat dapat menyampaikan keberatan terhadap rencana pengelolaan Kawasan Konservasi yang disusun oleh Pemerintah Pusat maupun rencana penetapan sebuah Kawasan Konservasi.

“Kami memberi masukan bahwa masyarakat tidak hanya ‘dapat’ tapiberhak’ menyampaikan keberatan terhadap rencana pengelolaan Kawasan Konservasi yang disusun oleh pemerintah pusat maupun rencana penetapan sebuah Kawasan Konservasi.”

Terkait penetapan kawasan konservasi yang diatur dalam Pasal 42 ayat 2, dikatakan bahwa penetapan ini dilakukan dengan mempertimbangkan rekomendasi dari lembaga pemerintah di bidang penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

“Kami memberi masukan agar juga dengan memperhatikan  rekomendasi dan masukan dari pihak terkait lainnya, lembaga swadaya masyarakat yang memiliki perhatian dan kepedulian serta menerima masukan dan saran dari masyarakat setempat.”

 

Exit mobile version