Mongabay.co.id

Raih Goldman Environmental Prize 2023, Delima Silalahi: Hak Tanah Adat Buah Perjuangan

 

 

 

 

Delima Silalahi, Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), organisasi nonpemerintah yang berdedikasi untuk perlindungan hutan adat di Sumatera Utara,  menerima penghargaan  Anugerah Lingkungan Goldman 2023. Tahun ini  Goldman Environmental Foundation mengumumkan enam penerima penghargaan pertama di dunia bagi aktivis lingkungan tingkat akar rumput ini.

Penghargaan ini diberikan setiap tahun kepada pahlawan lingkungan dari enam benua atas pencapaian dan kepemimpinan aktivis lingkungan akar rumput yang memberikan inspirasi untuk beraksi demi melindungi bumi. Delima menerima penghargaan untuk kategori wilayah dan negara kepulauan.

Pada Februari 2022, berkat kampanye khusus Delima bersama komunitas masyarakat adat di Tano Batak, pemerintah menetapkan hak atas 7.213 hektar hutan adat kepada enam kelompok Masyarakat Tano Batak.

“Saya sangat gembira walaupun saya sadar ini bukanlah perjuangan saya sendiri. Ini kemenangan buat gerakan masyarakat adat di Indonesia. Perjuangan hak atas tanah adat, hak atas identitas kita itu tidak turun dari langit. Itu diperjuangkan. Negara tidak akan memberikannya begitu saja. Kita tidak sedang melanggar hukum. Ada konstitusi yang menjamin perjuangan kita,” kata Delima.

Keenam komunitas adat yang mendapatkan pengakuan itu adalah, Pandumaan Sipituhuta, Nagasaribu Onan Harbangan, Bius Huta Ginjang, Janji Maria, Simenak-henak dan Tornauli Aek Godang Adiankoting. Mereka hidup bergantung hutan dan bikin program pemulihan hutan adat dengan mulai menanam kembali spesies hutan asli, termasuk pohon kemenyan.

Delima dan KSPPM mendukung masyarakat menanam kembali dan merestorasi ekosistem, sekaligus meningkatkan tutupan pohon hutan dan ketahanan iklim alami. Meski dihadapkan dengan industri paling berkuasa di Sumatera Utara, PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang mengubah sebagian lahan ini jadi hutan tanaman industri eukaliptus secara monokultur. Delima dan komunitas adat berhasil mendapatkan hak pengelolaan sah atas hutan adat.

“Ini kemenangan bagi ketahanan iklim, keanekaragaman hayati, dan hak masyarakat adat,” katanya.

 

Delima Silalahi (di depan) bersama para pemuda adat. Foto: Edward Tigor/ Mongabay Indonesia

 

Delima,  perempuan kelahiran Siborongborong, Tapanuli 46 tahun silam. Sejak usia sembilan tahun Delima sudah mengenal KSPPM.  “Dulu,  rumah saya dekat dengan kantor KSPPM,” katanya.

Masa  kecil Delima melihat bagaimana orang-orang di lembaga ini mendampingi masyarakat Tano Batak melawan Indorayon, nama lama TPL.

Ketika lulus kuliah dari FISIP Universitas Sumatera Utara pada 1999, Delima memutuskan bergabung dengan KSPPM. Tak ada yang mengajaknya. Namun nama-nama familiar mulai Saur Situmorang hingga Asmara Nababan cukup menjadi alasan baginya memutuskan hidup di jalan pergerakan dan advokasi masyarakat adat di Sumatera Utara.

Dua tahun pertama, Delima bekerja sebagai staf administrasi. Tugasnya mengumpulkan laporan-laporan pendamping dari lapangan. Dari situlah mula-mula Delima mempelajari apa sebetulnya dilakukan KSPPM di desa-desa.

Sebagai pendamping, KSPPM tinggal di desa-desa, bikin diskusi mengenai regulasi terkait hutan adat, bikin riset, melatih masyarakat berani bicara, mendampingi mereka menemui pemangku kebijakan dan menyusun persyaratan untuk mempertahankan atau merebut kembali hutan adat.

Bukan berarti Delima dan KSPPM menjadi guru buat masyarakat adat. “Di KSPPM prinsip belajar dari rakyat itu benar-benar nyata,” kata Delima.

Alih-alih mengajari masyarakat, Delima merasa lebih banyak belajar dari petani dan masyarakat adat di desa. Perempuan ini menemukan pelajaran-pelajaran yang tak dia temui di bangku kuliah.

Dia contohkan, bagaimana memandang ‘kemiskinan struktural’ di masyarakat adat dan petani. Bertahun-tahun berjalan di desa-desa, bertemu dan melakukan banyak diskusi dengan masyarakat adat dan petani, Delima memahami bahwa stigma miskin yang dekat dengan bodoh dan malas yang selama ini dia dengar dari lingkungan akademik, tak benar adanya.

Di kampung-kampung Delima menemukan petani bekerja dari pukul 6.00 pagi hingga 6.00 petang. Masyarakat punya kearifan lokal yang membuat hidup mereka berdaulat di tanah sendiri–hal yang dipandang terbelakang dan ‘miskin’ oleh pemerintah.

Di Tapanuli, dia melihat bagaimana pemerintah dengan pandangan pembangunan ala pertumbuhan ekonomi, menghadirkan PLTA Asahan, Inalum, diikuti Indorayon kemudian jadi TPL, sebagai ‘solusi’ mengatasi kemiskinan.

“Ada kemiskinan struktural yang tidak pernah dibicarakan di kampus. Ada kebijakan-kebijakan yang membuat petani tetap miskin,” katanya.

Delima pun memahami sejak berdirinya, KSPPM, selain membangun dialog dengan masyarakat, juga menguatkan advokasi dengan dasar data-data yang kuat. KSPPM memfasilitasi masyarakat agar bisa menyampaikan pendapat, memberi masukan saat bertemu dengan pembuat kebijakan baik di daerah maupun pusat.

“Dia memang ahli dalam riset. Selalu update dengan temuan atau riset-riset terbaru. Ini bermanfaat untuk kerja bersama KSPPM dan AMAN Tano Batak,” kata Roganda Simanjuntak, Ketua Badan Pengurus Harian AMAN Tano Batak yang sudah kenal dan bekerja sama dengan Delima sejak 2010.


***

Pada 2012, putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan hutan adat bukanlah hutan negara.  Putusan ini menjadi peluang bagi masyarakat adat nusantara untuk menagih wilayah maupun hutan adat mereka.

Putusan ini juga menegaskan, perjuangan KSPPM dan masyarakat adat yang didorong rasa prihatin terhadap perampasan wilayah adat secara besar-besaran untuk jadi industri pulp dan kertas, dengan dampak bagi hutan di Danau Toba, bukanlah tindakan melawan konstitusi.

Delima beserta tim di KSPPM makin termotivasi mengorganisir masyarakat untuk mendapatkan penetapan hutan adat.

Dia kunjungan dari desa ke desa dan mengedukasi masyarakat terkait Undang-undang yang mendukung pengakuan hak masyarakat adat dan klaim hutan adat. Meskipun perempuan di Tano Batak seringkali tidak ikut serta dalam proses pengambilan keputusan, Delima tetap memastikan suara mereka didengar selama proses berlangsung. Dia menyertakan edukasi terkait gender sebagai alat utama pengorganisasian.

Delima menemukan banyak tantangan sebagai perempuan pemimpin di Indonesia dan pernah dikritik karena jauh dari suami dan anak-anaknya selama berminggu-berminggu.

Salah satu tantangan utama buat Delima dan KSPPM dalam perjalanan merebut kembali hutan adat, yakni menghadirkan suara perempuan. Sejak memulai karir di dunia organisasi masyarakat sipil dan advokasi, Delima melihat perkembangan upaya menghadirkan perempuan di ruang publik.

Berbagai strategi dibikin agar perempuan, mula-mula bisa hadir di ruang-ruang rapat desa hingga berani bicara di depan publik.

“Tidak harus frontal ya. Mulai dengan mengubah jam pertemuan agar bisa dihadiri perempuan, lantas bikin pertemuan yang tak jauh dari desa karena sulit bagi perempuan untuk keluar dari desa.”

 

Delima Silalahi. Foto: Edward Tigor/ Mongabay Indonesia

 

Kalau ini sudah terpenuhi, target selanjutnya membangun persepsi kesetaraan gender baik bagi perempuan maupun laki-laki di komunitas. Tak bisa dipungkiri, masyarakat Sumatera Utara hidup dalam sistem patriarkis yang tidak memberikan banyak ruang untuk perempuan.

“Jangan pada saat aksi saja perempuan di depan. Tapi ketika mengeluarkan pendapat menyampaikan melakukan lobi mereka tidak dianggap. Kita mulai membuka ruang itu.”

Delima dan KSPPM juga memfasilitasi pemetaan hutan secara partisipatif dengan masing-masing kelompok masyarakat untuk mendokumentasikan wilayah adatnya.

Mereka mengorganisir protes besar-besaran kepada TPL Pada Juni 2021, Delima dan anggota masyarakat bertemu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mendesak pengakuan terhadap hutan adat.

Dari 7.213 hektar hutan adat yang diberikan kepada enam Komunitas Adat Tano Batak seluas 6.333 hektar antara lain, hasil klaim ulang dari TPL dan 884 hektar dari kawasan hutan negara.

“Kita berterima kasih kepada teman-teman yang memperjuangkan lahirnya MK 35 termasuk AMAN Tano Batak. Bagi saya dan KSPPM itu sebuah cahaya, harapan yang menuntun kita ke jalan yang lebih jelas karena (hutan adat) itu tidak otomatis (didapatkan),” ujar Delima.  Sebelum ada, MK 35 perjuangan mendaparkan hutan adat, meski legal, namun lemah secara hukum.

Delima mengibaratkan perjuangan mendapatkan hutan adat sebagai perjalanan mendaki gunung terjal dan berbukit-bukit.  “Karena dulu suka juga suka mendaki gunung. Sudah sampai di satu bukit ternyata tujuannya masih di bukit yang satu lagi. Kita harus turun lembah lagi lalu tiba-tiba gunung itu tertutup kabut. Aduh, kemana arahnya? Kadang-kadang kita harus istirahat, harus menahan napas, setelah itu baru lihat dengan putusan MK 35 ini kita melihat sinar itu makin jelas.”

Perjuangan Delima dan KSPPM belum selesai. Perjalanan masih Panjang. Bersama AMAN Tano Batak, masih ada 33 komunitas adat lagi yang sedang mengajukan permintaan hutan adat di sekitar Danau Toba SEluas 30.000 hektar baik termasuk konsesi TPL maupun kawasan hutan lindung, food estate dan kawasan pariwisata.

Bagi Delima,  tantangan merebut kembali hutan adat masih terbentur dengan persyaratan berbelit-belit dan niat baik (political will) pemerintah daerah. Dari 33 komunitas yang mengajukan hutan adat, 18 sudah diverifikasi KLHK, dua sudah lolos verifikasi namun belum mendapatkan pengakuan dari bupati.

”Ke depan saya berharap gerakan masyarakat adat, gerakan masyarakat sipil di Tano Batak ini makin kuat untuk mendesak pemerintah segera menyelesaikan konflik-konflik tenurial hutan adat di Tano Batak dan Indonesia secara umum,” kat Delima.

 

Di hutan Adat Tano Batak. Foto: Edward Tigor/ Mongabay Indonesia

 

Selain Delima, beberapa tokoh dari Indonesia pernah mendapat penghargaan ini, yakni,  Loir Botor Dingit (1997),Yosepha Alomang (2001), Yuyun Ismawati (2009), Prigi Arisandi (2011), Aleta Baun (2013), dan Rudi Putra (2014).

Goldman Environmental Prize dirintis di San Francisco pada 1989 oleh pemuka masyarakat dan filantropis Richard dan Rhoda Goldman. Hingga kini, Goldman Environmental Prize telah memberi penghargaan kepada 219 pemenang, termasuk 98 perempuan di 95 negara. Sebagian besar pemenang ini menempati posisi pejabat pemerintah, kepala negara, pemimpin NGO, dan penerima Nobel.

“Kini, ketika dunia menyadari krisis lingkungan akut, seperti perubahan iklim, ekstraksi bahan bakar fosil, dan pencemaran udara dan air, kita makin sadar akan hubungan satu sama lain dan terhadap semua kehidupan di planet,” kata John Goldman, Presiden Goldman Environmental Foundation.

Penyerahan anugerah dalam seremoni langsung di Opera House San Francisco pada 24 April, pukul 05:30 PM PDT atau 25 April, pukul 07.30 WIB. Ini merupakan seremoni tatap muka pertama sejak 2019. Seremoni ini akan dipandu pendiri Outdoor Afro, Rue Mapp, beserta musisi tamu Aloe Blacc. Acara ini akan disiarkan langsung di kanal YouTube Goldman Environmental Prize.

Seremoni kedua akan diselenggarakan di Eisenhower Theater yang berlokasi di John F. Kennedy Center for the Performing Arts, Washington, DC, pada 26 April 2023, pukul 7:00 PM EDT. Seremoni ini akan dipandu oleh jurnalis pemenang Anugerah Pulitzer, dengan sambutan khusus oleh Nancy Pelosi, Mantan Ketua DPR AS.

Penerima penghargaan lain tahun ini yakni Chilekwa Mumba dari Zambia yang menang menggugat Vedanta Resources sebuah perusahaan tambang yang mencemari lingkungan. Lalu,  Zafer Kizilkaya dari Turki yang berhasil memperluas jaringan kawasan konservasi laut (KKL) Turki sepanjang 498,9 km di pesisir Mediterania, Tero Mustonen dari Finlandia yang memimpin restorasi terhadap 62 lokasi bekas tambang gambut industri dan hutan yang terdegradasi parah di seluruh Finlandia.

Ada juga  Diane Wilson dari Amerika Serikat yang melawan Formosa Plastics, salah satu perusahaan petrokimia terbesar di dunia, terkait pembuangan limbah plastik beracun secara ilegal di Pantai Teluk Texas. Kemudian,  Alessandra Korap Munduruku dari Brasil yang menghimpun upaya masyarakat dalam menghentikan pengembangan pertambangan oleh Anglo American, perusahaan tambang Inggris, di hutan hujan Amazon, Brasil.

 

Delima Silalahi (baju biru muda) mendampingi aksi warga. Foto: Edward Tigor/ Mongabay Indonesia

 

******

Exit mobile version