Mongabay.co.id

Apakah Program ‘Food Estate’ di Kalteng akan Mengulangi Kegagalan Proyek Pangan Sebelumnya?

 

Ketika Pemerintah Indonesia mencanangkan program food estate pada tahun 2020, pemerintah membayangkan berdirinya perkebunan pertanian skala besar di seluruh negeri. Perkebunan tanaman seperti beras, singkong, dan kentang ini digadang-gadang akan menjadi jawaban atas krisis pangan global yang akan datang.

Upaya ini disebut akan membantu penyediaan pangan bagi negara dengan populasi terbesar keempat di dunia ini. Namun investigasi lapangan di lokasi program food estate di Provinsi Kalimantan Tengah pada Maret 2022 dan Februari 2023 malah menjumpai perkebunan luas yang terbengkalai.

Tiga tahun berjalan, belum ada tanaman padi atau singkong yang siap dipanen, dan belum ada petani yang merawat sawahnya. Sebaliknya, semak-semak liar tumbuh di petak-petak tanah ini, dan ekskavator yang mulai berkarat.

Demikian hasil investigasi yang dilakukan oleh Pantau Gambut, Walhi Kalimantan Tengah, bersama BBC News Indonesia.

Di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, investigasi menemukan 600 hektar perkebunan singkong yang tampak layu. Warga lokal menginformasikan pada para peneliti bahwa tanaman belum dipanen. Dari hasil observasi, -meski telah berumur lebih dari satu tahun, tanaman singkong itu masih tampak kurus dan kecil. Umbinya kecil, seukuran jari manusia.

Di lapangan pun, investigasi menemukan tujuh ekskavator terbengkalai, yang tidak lagi berfungsi.

 

Lahan yang dibuka untuk penanaman singkong sebagai bagian dari program food estate di desa Tewai Baru, kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Dok: Walhi Kalimantan Tengah.

Baca juga: Food Estate Bukan Jawaban Atasi Persoalan Pangan di Indonesia

 

Di desa lain, Mantangai Hulu, Kabupaten Kapuas, 17 hektar lahan disiapkan sebagai lokasi persawahan. Sejak ekskavator bekerja di desa itu pada Juli-Agustus 2021 untuk membersihkan lahan, di lokasi itu sekarang semak belukar telah tumbuh kembali.

Pada Maret 2022, di lokasi itu, pemerintah membagikan benih, kapur, dan pestisida kepada penduduk desa, tetapi mereka tidak menggunakannya.

Daniel Johan, anggota DPR asal Fraksi PKB yang duduk di Komisi IV DPR yang membawahi bidang pertanian, lingkungan hidup dan kehutanan, dan maritim, mengatakan bahwa dia pernah mengunjungi sejumlah food estate di Kalimantan Tengah dan juga menemukan hal yang sama.

“Ketika kami turun ke lapangan, kami juga melihat [beberapa perkebunan telah ditinggalkan],” katanya kepada Mongabay di kantornya di Jakarta. “Kami melihatnya di Kabupaten Kapuas pada 2022. [Tanaman] tidak tumbuh.”

Temuan ini menunjukkan jika program food estate, -yang termasuk dalam daftar proyek strategis nasional, gagal, kata Syahrul Fitra, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia.

Salah satu indikasi yang jelas, Indonesia masih belum memiliki cukup beras untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Pada akhir 2022, Bulog mengimpor 500.000 metrik ton beras dari Vietnam, Thailand, Myanmar, dan Pakistan untuk isi ulang stok yang semakin menipis. Pemerintah pun mempertimbangkan tambahan 500.000 metrik ton lagi dari India, Saat stok Bulog hanya tersisa 300.000 jauh dari ambang 1,2 juta metrik ton.

Dalam skenario besar, tujuan dari program food estate di Kalteng, adalah untuk menjadikan provinsi ini sebagai pusat produksi beras. Namun, data resmi menunjukkan produksi beras Kalteng menurun sejak 2020. Tahun itu, Kalteng memproduksi 457.952 metrik ton beras. Di tahun 2021 dan 2022, turun menjadi 381.189 dan 343.918 metrik ton.

“Artinya, program food estate gagal menyelesaikan masalah [defisit beras],” ungkap Syahrul.

 

Mentan Syahril Yasin Limpo saat meninjau proyek food estate. Dok: Kementrian Pertanian RI

Baca juga:Proyek Food Estate di Kalimantan Tengah, untuk Siapa?

 

Di Bawah Bayangan Kegagalan Mega Rice Project

Di tahun 1990-an, Mega Rice Project (MRP) di Kalimantan Tengah gagal total. Selama proyek ribuan kilometer kanal telah digali untuk mengeringkan tanah gambut, semuanya tanpa penilaian dampak lingkungan. Hasilnya, lahan gambut miskin unsur hara tidak cocok dengan tanaman padi, berbeda dengan yang di tanam di pulau-pulau vulkanis subur seperti Jawa dan Bali.

Setelah berkali-kali gagal panen, proyek itu pun ditinggalkan, menyisakan puluhan ribu lahan kering yang rawan terbakar dalam skala besar. Proyek serupa di Merauke Papua pun menuai kegagalan.

Pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo pernah mengatakan telah belajar dari kesalahan proyek food estate sebelumnya, dan berjanji bahwa inisiatif ini tak akan mengulangi kegagalan sebelumnya. Proyek ini akan mencakup pekerjaan konstruksi seperti jalan dan saluran irigasi.

Namun temuan hasil investigasi menunjukkan hal sebaliknya terjadi, sebut Manajer Riset Pantau Gambut, Agiel Prakoso.

“Meski luas lahan gambut [yang ditanam kali ini] tidak sebesar yang ada di proyek MRP, praktiknya tetap sama,” katanya.

 

Umbi singkong layu di lokasi food estate di desa Tewai Baru, kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Dok: Walhi Kalimantan Tengah.

Baca juga: Salah Kaprah Kedaulatan Pangan lewat Food Estate, Bagaimana Seharusnya?

 

Apa yang salah?

Akar masalahnya adalah perencanaan yang kurang tepat, sebut para aktivis. Pertama, pemerintah hanya melakukan penilaian lingkungan strategis cepat dalam pelaksanaan proyek (rapid assessment), tidak melalui proses penilaian lingkungan strategis yang lebih ketat.

Hal terakhir wajib dilakukan pada proyek skala besar seperti food estate, dan membutuhkan waktu lebih lama dalam penyelesainnya.  “Tidak ada studi mendalam,” sebut Agiel.

Greenpeace Indonesia menduga program penanaman singkong yang membuka lahan hutan di Kabupaten Gunung Mas, Kalteng pada November 2020, dilakukan tanpa penilaian lingkungan. Baru pada Februari 2021 proses konsultasi publik dilakukan sebagai bagian dari proses penilaian dampak lingkungan.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), juga menemukan kejanggalan dalam program food estate. Dikatakan program itu direncanakan tanpa data dan informasi yang valid. Perencanaan itu sendiri tidak sesuai dengan praktik pertanian berkelanjutan. BPK juga menemukan proses penentuan lokasi terbaik program food estate tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.

Agiel juga mengatakan pemerintah tidak melibatkan pengetahuan petani lokal. Tanaman singkong di Tewai Baru, misalnya mati, karena bibit tidak cocok dengan tanah yang berpasir dan dangkal, sebut warga.

“Jadi kalau mau tanam singkong harus lihat kondisi tanahnya, cocok atau tidak? Kami mungkin kurang pendidikan, tapi sebagai warga lokal kami tahu kondisi tanah di tempat kami,” kata Rangkap, warga Desa Tewai Baru.

Untuk tanaman padi di Desa Mantangai Hulu, warga mengaku tidak pernah diberikan pelatihan tentang cara mengolah lahan yang telah disiapkan. Jadi setelah ekskavator selesai membuka lahan pada Agustus 2021, warga pun bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya, kata Sarianto, seorang warga.

“Untuk sawah prosesnya panjang dan butuh banyak pupuk,” kata Sarianto. “Itu makanya penting kami diberi pelatihan [oleh pemerintah].”

Masalah lain adalah kurangnya saluran irigasi. Irigasi yang memadai penting penting untuk jenis lahan rawa di Mantangai Hulu, yang terletak di dekat sungai dan rutin terjadi banjir saat air naik, sebut Sarianto.

Rawa jenis ini dekat sungai dan di pesisir, dipengaruhi naik turun permukaan laut, yang mendominasi bentang alam Kalimantan Tengah.

Janang Firman, Manajer Advokasi Walhi Kalteng, mempertanyakan mengapa proses kajian strategis lingkungan hidup tanpa kajian yang ketat, jika pemerintah benar-benar serius dengan program food estate.

Chay Asdak, guru besar manajemen daerah aliran sungai di Universitas Padjadjaran menyebut  program food estate seharusnya dirancang dengan hati-hati. Ini perlu mempertimbangkan kondisi hidrologi lanskap sehingga dapat menghindari kegagalan Mega Rice Project tahun 1990-an.

“Jadi kalau [pemerintah] ingin menggunakan sains sebagai dasar [program food estate], maka sistem hidrologi organik harusnya diikuti,” jelasnya dalam sebuah diskusi di Jakarta baru-baru ini.

Susilawati, peneliti padi rawa di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan masih terlalu dini bagi program food estate untuk menghasilkan hasil yang sama produktifnya dengan sawah di Jawa.

“Kalau ingin [program food estate] segera berhasil dalam waktu tiga tahun, maka bisa dengan lahan yang optimal, bukan di lahan rawa yang baru dibuka,” sebutnya seperti dikutip dari Tempo.co.

Daniel menyebut DPR telah menyuarakan keprihatinannya atas kurangnya perencanaan dalam program food estate ini. “Kami sudah menentang [program ini dari awal] karena kajiannya belum lengkap,” ujarnya.

“Ternyata lahannya tidak cocok. Pengelola perkebunan tidak ada. Dan kalau ada orang, mereka tidak paham praktik pertanian yang baik.”

 

Lahan yang dibuka untuk program food estate di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Dok: Walhi Kalimantan Tengah.

 

Dugaan Penggelembungan Data

Di sisi lain, Kementerian Pertanian membantah tuduhan bahwa program food estate dirancang dengan buruk dengan penilaian strategis lingkungan yang terburu-buru.

Dikatakan bahwa semua kementerian terkait, telah melakukan beragam peta analisis untuk menentukan daerah yang cocok untuk membangun food estate. Peta ini telah ditumpangkan (overlay) satu sama lain, untuk memastikan kesesuaian kawasan.

Kementan mengatakan implementasi program food estate harus dilakukan secepat mungkin karena ancaman krisis pangan global. Namun, Greenpeace Indonesia menyebut, masalah Indonesia bukan kekurangan pangan, tapi ketidakmerataan distribusi pangan.

“Beberapa daerah memiliki angka stunting anak tinggi, yang lain memiliki angka obesitas tinggi,” sebut Syahrul.

Menurut data resmi tahun 2018, sekitar 20 persen anak usia sekolah dasar dan 14 persen remaja di Indonesia mengalami obesitas atau kelebihan berat badan.

“Ini berarti masalah pangan adalah distribusi yang tidak merata serta tingginya tingkat limbah makanan di perkotaan.”

Solusi untuk masalah ini bukanlah membangun perkebunan skala besar yang akan membuka sebagian besar hutan dan memperparah pemanasan global. Dampaknya, akan merugikan sektor pertanian karena cuaca ekstrem yang bakal lebih sering terjadi dan intens.

Mentan Syahrul Yasin Limpo mengatakan program food estate tidak gagal karena berhasil meningkatkan produktivitas tanaman padi di Kalimantan Tengah yaitu dari kurang 2 metrik ton menjadi 4 metrik ton per hektar.

Namun, dia mengakui kementeriannya belum mencapai target penanaman padi terbaru untuk program food estate di Kalteng. Di daerah Dadahup, Kabupaten Kapuas, pemerintah menargetkan pembangunan 1.020 hektar sawah baru, namun sejauh ini baru terimplementasi 200 hektar.

Laporan kegagalan program food estate telah mendorong DPR turun melakukan penyelidikan. Sudin, Ketua Komisi IV DPR asal PDIP, mengatakan komisi akan membentuk tim khusus, kekhawatiran ada data produksi pertanian Kementerian Pertanian yang digelembungkan.

“Data produksi food estate sudah di-mark up Kementan,” sebut Sudin dalam rapat dengar pendapat parlemen pada 25 Januari.

Menteri Yasin tak menampik tudingan itu, dia mengatakan data produksi pertanian berasal dari Badan Pusat Statistik, bukan kementeriannya.

Terlepas dari laporan lahan sawah yang ditinggalkan dan gagal panen, pemerintah berencana tetap melanjutkan program food estate untuk membangun 10.000 hektar perkebunan jagung di Papua. Pembangunan akan dimulai dengan 500 hektar jagung untuk pakan ternak, diikuti dengan pendirian perkebunan jagung seluas 2.500 hektar tahun depan.

“Kita lihat berapa ton per hektar yang kita dapatkan saat panen pertama di bulan Juni nanti,” tutur Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke food estate di Keerom, Papua.

Tulisan asli bahasa Inggris: Report: Indonesia’s ‘food estate’ program repeating failures of past projects. Artikel ini diterjemahkan oleh Akita Verselita

 

***

Foto utama: Food estate yang dipersiapkan di Kalimantan Tengah. Foto: Dok. Humas Protokol Provinsi Kalimantan Tengah

 

 

Exit mobile version