Mongabay.co.id

Pentingnya Tata Kelola Partisipatif di Pesisir dan Laut

 

 

Memanfaatkan sumber daya perikanan menjadi kegiatan yang mutlak dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Warga yang tinggal di kawasan tersebut selama ini menggantungkan kehidupannya kepada semua potensi yang ada di laut.

Ada beragam cara untuk memanfaatkan potensi sumber daya pesisir dan laut oleh masyarakat. Begitu juga, ada begitu banyak sumber daya ikan (SDI) yang dipilih oleh masyarakat untuk dijadikan sumber kehidupan dan penghidupan.

Tingginya ketergantungan masyarakat pesisir kepada laut, berpotensi menimbulkan sejumlah persoalan. Di antaranya, adalah pengelolaan yang tidak terarah, atau belum memenuhi prinsip berkelanjutan yang bisa memicu degradasi SDI.

Salah satu cara agar ancaman dan persoalan bisa dikendalikan, adalah dengan diterapkan tata kelola perikanan yang partisipatif. Cara tersebut bisa dilakukan dalam bentuk pendampingan kepada masyarakat untuk melaksanakan pengelolaan perikanan.

Metode seperti itu sudah diterapkan Yayasan Pesisir Lestari (YPL) dan Yayasan Pemberdayaan Masyarakat dan Pendidikan Konservasi Alam (YAPEKA) saat memberikan pendampingan pengelolaan perikanan gurita skala kecil di Sulawesi

YPL melaksanakan kegiatan tiga desa di Taman Nasional Wakatobi Sulawesi Tenggara, Banggai Sulawesi Tengah, dan Likupang, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Sementara, YAPEKA melaksanakan kegiatan di Desa Bulutui dan Desa Gangga sejak 2017, dan Desa Likupang Dua sejak 2021, semuanya di Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara.

baca : Berani Sukses Kelola Gurita Seperti Nelayan Wakatobi

 

Masyarakat adat Darawa melakukan pengelolaan wilayah tangkap gurita dengan model buka tutup kawasan sementara selama tiga bulan. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Adapun, sasaran yang ingin dicapai YAPEKA dari kegiatan tersebut adalah melaksanakan penutupan sementara yang bertujuan untuk meningkatkan manfaat ekologis dan ekonomi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.

Direktur YAPEKA Agustinus Wijayanto mengatakan, proses melaksanakan kegiatan tersebut mencakup survei sosial ekonomi masyarakat, dan pendataan gurita yang bertujuan untuk mengetahui kondisi tangkapan harian nelayan.

Kemudian, ada juga data feedback season yang dikumpulkan oleh enumerator di Desa untuk disampaikan kepada nelayan terkait jumlah tangkapan, lokasi tangkapan, dan nelayan yang mendapatkan tangkapan terbanyak.

Selain itu, ada juga proses untuk menyepakati lokasi penutupan dengan dilanjutkan pelaksanaan survei ekologi untuk mengetahui kondisi terumbu karang; penyadartahuan yang bertujuan agar masyarakat mengetahui lokasi yang sedang ditutup dan aturannya.

“Serta dukungan kebijakan, dan pertemuan rutin yang bertujuan untuk mengevaluasi setiap proses yang sedang berjalan,” ungkap dia.

Agustinus memaparkan, dalam melaksanakan pengelolaan bersama, ada aturan yang harus dipatuhi oleh semua pihak. Misalnya, larangan penggunaan alat penangkapan ikan (API) yang destruktif, atau larangan menangkap gurita selama lima bulan untuk satu siklus.

Saat melaksanakan pengelolaan, ada sejumlah tantangan yang harus bisa dilewati dan dipecahkan secara bersama. Misalnya, proses pengawasan dan ketidakstabilan cuaca, dan tingkat partisipasi masyarakat yang belum maksimal.

baca juga : Melihat Kesuksesan Sasi Gurita di Minahasa Utara

 

Lamaruli, seorang nelayan Suku Bajo dari Desa Popisi, Banggai Utara, Banggai Laut, Sulawesi Tengah sedang menangkap gurita berukuran besar. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Manajer Advokasi Kebijakan dan Tata Kelola Yayasan Pesisir Lestari (YPL) Rayhan Dudayev menerangkan, pentingnya melaksanakan tata kelola perikanan partisipatif, adalah karena persoalan tata kelola laut dilatarbelakangi dominasi nelayan skala kecil dalam produksi perikanan.

“Sebanyak 9,9 juta produk perikanan dunia berasal dari Indonesia, dan 60 persennya produk perikanan berasal dari nelayan skala kecil,” ungkap dia belum lama ini.

Persoalan lain tata kelola laut yang sering kali muncul, adalah penurunan daya dukung dan SDI yang diakibatkan praktik penangkapan ikan dengan cara ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar regulasi (IUUF).

Dengan demikian, cara paling efektif yang dinilai bisa mengembalikan praktik perikanan menjadi lebih baik, adalah dengan melaksanakan tata kelola yang partisipatif dengan melibatkan para pihak terkait yang kompeten.

Dia menyebut, salah satu pihak yang harus terlibat adalah Pemerintah dan juga masyarakat pesisir, termasuk nelayan skala kecil dan tradisional di dalamnya. Pada proses tersebut, ada banyak kegiatan yang dilakukan untuk mendukung perbaikan tata kelola.

Dari hasil penelitian mengenai perikanan gurita di Minahasa Utara, didapatkan rekomendasi bahwa kebijakan pengelolaan spesies perikanan memberikan peluang penerapan pendekatan partisipatif.

Namun, penerapan pendekatan partisipatif membutuhkan partisipasi aktif dari pemangku kepentingan, misalnya Pemerintah Desa, pembeli, dan pengguna laut lainnya. Selain itu, perlu juga digelar program pemberdayaan masyarakat melalui pendataan partisipatif dan fasilitasi pengambilan keputusan di tingkat lokal.

baca juga : Lewat Program Buka-Tutup Laut, Produktivitas Tangkapan Gurita Nelayan Selayar pun Meningkat

 

Dedy, seorang nelayan tradisional penangkap gurita di perairan Pulau Siau, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Sulut. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Kondisi Suku Laut Indonesia

Ahli Ekologi Budaya dari Universitas Chulalongkorn, Thailand Wengky Ariando memberikan pandangannya tentang tata kelola perikanan yang partisipatif. Dia melihatnya dari sudut pandang masyarakat pesisir Suku Bajau dan suku laut yang banyak ditemukan di Indonesia.

Suku Bajau menyebar di 14 provinsi di Indonesia, terutama yang wilayahnya memiliki lautan. Satu-satunya tempat yang belum ditemukan komunitas suku Bajau, adalah semua provinsi yang ada di kepulauan Papua.

Sementara, suku Laut banyak ditemukan di Provinsi Kepulauan Riau, Riau, Jambi, dan Kepulauan Bangka Belitung. Dengan demikian, hanya empat provinsi di Indonesia yang diketahui menjadi tempat tinggal suku Laut.

Salah satu penelitian yang dilakukan Wengky Ariando adalah suku Bajau yang ada di Wakatobi. Di sana, ada beragam persoalan yang menyelimuti mereka hingga berimplikasi pada penerapan tata kelola perikanan yang mereka jalankan.

Persoalan itu di antaranya adalah identitas budaya yang masih belum jelas dan tegas, kekayaan intelektual dan hak, capacity building, diversifikasi mata pencaharian, dan ruang komunal bersama. Untuk memecahkannya, perlu dukungan dari semua pihak, sehingga mereka bisa melaksanakan tata kelola partisipatif.

perlu dibaca : Suku Bajo, Simbol Eksistensi Warga Pesisir yang Semakin Terpuruk  

 

La Ato, nelayan gurita Desa Darawa, Kecamatan Kaledupa Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, saat melakukan penangkapan gurita di wilayah adat mereka. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Peneliti Bidang Humaniora Pusat Riset Masyarakat dan Budaya Badan Riset dan Inovasi Nasional (PMB BRIN) Dedi Supriadi Adhuri memberikan paparannya lebih spesifik tentang tata kelola perikanan yang partisipatif.

Menurut dia, praktik yang terjadi di kalangan masyarakat pesisir cenderung bervariasi dan dilatarbelakangi kepentingan mengatasnamakan komunitas atau adat. Termasuk, hak ulayat laut atau communal marine tenurial (CMT).

Sebagai penghuni wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, masyarakat di sana juga memiliki aturan sendiri yang diyakini bertujuan untuk melindungi kepentingan mereka atas sumber daya perikanan yang sudah memberikan kehidupan bagi mereka.

Namun sayangnya, berkaitan dengan hal tersebut, ada kecenderungan kalau laut sebenarnya sudah tidak bebas lagi karena ada hak yang diklaim menjadi milik mereka. Utamanya, adalah masyarakat hukum adat (MHA) yang masuk dalam kategori CMT.

Untuk itu, diperlukan kesepahaman yang sama untuk menegaskan kepemilikan laut seperti apa. Hal itu, agar dalam prosesnya tata kelola laut partisipatif bisa dijalankan dengan harapan yang baik. Tentu saja, itu melibatkan Pemerintah dan masyarakat secara langsung.

Kesimpulannya, sangat mungkin untuk melaksanakan tata kelola perikanan partisipatif sejak saat ini hingga masa akan datang. Tetapi, diperlukan pendekatan lebih dalam lagi kepada masyarakat dengan melibatkan para ahli yang berkaitan.

 

 

Exit mobile version